13

40 10 0
                                    

Cia tidak pernah jadi sosok yang benar-benar tangguh sejak awal. Sekuat apapun usahanya untuk menahan diri, pada akhirnya sia-sia. Dalam diam, air matanya terus mengalir. Bersamaan dengan itu, ia juga terus menyeka cairan tersebut sebelum jatuh membasahi seluruh pipinya.

Ia tidak mau Eric tahu kalau ia menangis.

Tepat di depan pintu toilet siswi, pria itu berhenti melangkah bersamaan dengan cengkeramannya dipergelangan tangan Cia yang mulai mengendur. Eric berbalik, menghadap Cia. Hal itu membuat sang gadis mengusap wajahnya dengan kasar agar seluruh jejak air matanya hilang sekaligus.

"Kamu nangis?"

Hei Eric, apa itu masih perlu dipertanyakan?

"Aku minta maaf kalo tadi bikin kamu takut. Tapi aku kayak gini karena gak mau ada orang yang ganggu kamu."

Tidak akan pernah ada yang berubah dari pola pikir laki-laki itu. Kesalahan apapun yang ia perbuat, itu tidak akan pernah salah menurutnya. Seperti kejadian soal Sonia di kantin baru saja. Apapun tindakannya akan selalu benar. Harus.

"Udah, jangan nangis."

Laki-laki itu berujar sembari mengulurkan tangannya, berniat ikut menyeka jejak-jejak air mata di wajah Cia yang masih tersisa, namun secepat kilat Cia menepis tangannya.

Ia tidak sudi membiarkan Eric menyentuh wajahnya.

Eric menghela napas pendek. Untunglah kali ini ia tidak marah atas penolakan yang Cia lakukan. Setelahnya, laki-laki itu kembali berbicara pada gadis di hadapannya yang enggan menatapnya balik.

"Kamu bersihin bajumu dulu, aku mau ambil hoodie, nanti aku ke sini lagi. Ya?"

Tidak ada sahutan. Yang lawan bicaranya lakukan hanya berdehem samar lalu buru-buru membuka pintu toilet kemudian tubuhnya menghilang di balik pintu yang langsung tertutup rapat.

Cia tidak tahu kalau Eric diam-diam mendecak sebelum beranjak dari tempatnya menuju kelas.

Bersamaan dengan mengambil napas dalam-dalam, Cia berjalan menuju wastafel. Berusaha mengalihkan rasa sesak di dadanya, ia memilih untuk buru-buru membuka keran air lalu membasuh pakaiannya yang bernoda, berharap jika warna merah muda dikemejanya bisa hilang setelah dibasuh dengan air.

Satu detik...

Dua detik...

Lima detik...

Sepuluh detik...

Bukannya merasa lebih tenang, rasa sesak kian menjalar hingga membuat tubuh Cia melemas. Tanpa peduli pada keran air yang masih terbuka, tubuh Cia merosot hingga terduduk di atas lantai. Tangisnya kembali pecah.

Kali ini tidak hening. Suara isaknya mulai menyeruak dan menggema ke seluruh sudut. Ia terus menangis sampai-sampai tubuhnya gemetar hebat.

Bayang-bayang masa lalunya yang menyakitkan kembali menghantuinya, membuat kepalanya dipenuhi memori tersebut hingga tak ada lagi ruang baginya untuk memikirkan hal lain--mencari cara bagaimana menghentikan tangisnya saja tidak bisa.

Cklek!

Suara pintu terbuka membuat Cia mendongak. Suara tangisnya iuga menghilang sejenak. Namun, kala melihat siapa yang membuka pintu, air matanya kembali mengalir bersamaan dengan suara isak tangisnya yang terdengar memilukan.

"Cia, lo kenapa? Eric ngapain? Gue denger tadi Sonia--"

"L-lia..."

Suara lirih Cia memutus kalimat gadis--yang sudah berjongkok--di hadapannya. Melihat Cia yang tampak sangat ketakutan, Lia jadi khawatir setengah mati.

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang