10

59 12 0
                                    

Senin pagi selalu punya euforia khas yang tidak dimiliki oleh hari-hari yang lain. Selalu ada celetukan, 'Sekarang udah Senin aja!' yang kerap kali diucap oleh banyak orang untuk menyambut hari yang satu ini. Entah dengan rasa suka cita atau bahkan merana. Semua beragam sebab Senin punya stigma unik bagi tiap-tiap kepala.

Di Senin pagi kali ini, dengan susu kotak ditangannya, Cia melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah. Suasana hatinya? Untuk saat ini campur aduk--walau lebih cenderung ke arah cemas.

Seperti diberi jalan untuk melancarkan niatannya, tepat saat Cia melewati kelas Echan, laki-laki itu keluar bersama Rendi--sembari memperdebatkan sesuatu yang entah apa.

Belum sempat Cia buka kata, menyapa laki-laki itu, justru Echan lebih dulu mengeluarkan kata kala tidak sengaja menatap Cia yang sedang lewat di depan kelasnya dengan langkah yang semakin lamban.

"Eh, Cia. Udah dateng?"

Harusnya gadis itu yang melontarkan kalimat tanya serupa. Pagi-pagi seperti ini--dihari Senin pula--Echan sudah tiba di sekolah saja.

Cia mengangguk kukuh dengan seulas senyum simpul melengkapi ekspresi wajahnya. "Iya. Lo udah baik-baik aja?"

"Gue gak pernah kenapa-napa."

Cia mendengus, "serius Chan, Sabtu kemarin kan lo--"

"Udah sehat sentosa dia, lo tenang aja." Rendi menyahut, memotong kalimat Cia. "Bahkan dia udah bisa loncat. Coba Chan, kasih unjuk!" Timpalnya iseng.

"Anjing!" Desis Echan tertahan. "Bisa lumpuh kaki gua kalo loncat sekarang!"

"Ish, kalo ngomong sembarangan aja!" Cecar Cia tidak suka.

Echan justru malah terkekeh menanggapi kalimat Cia barusan. Ia selalu ingat, 'Cia itu gak asik, hidupnya terlalu serius. Untung cakep!' Jadi melihat respon Cia yang seperti tadi, Echan tidak kaget. Ia sudah menduganya.

Cia menelisik tiap bagian tubuh Echan. Sepertinya benar kalau laki-laki itu sudah jadi lebih baik. Luka lecet juga memar dikulitnya sudah samar, nyaris tak terlihat. Cara jalannya tadi juga sudah tampak normal--walau kalau dilihat dengan saksama masih terlihat sedikit pincang. Sepertinya kakinya yang dua hari lalu terkilir sekarang sudah sembuh. Semoga.

Cia menyodorkan susu kotak di tangannya, "nih, buat lo."

Melihat hal itu, Echan mengulum bibir, menyungging seulas senyum penuh arti sembari mengambil alih susu kotak rasa cokelat pemberian Cia.

"Perhatian banget sih, udah kayak pacar," gumam Echan asal.

Masih di tempatnya berdiri, Rendi mendecak. "Kenapa sih gue harus selalu jadi saksi hidup tiap kali lo lagi kasmaran, Chan?!"

"Iri gak lo?" Cibir si pemilik nama.

Di saat yang sama, seorang gadis berseragam sama datang menghampiri mereka--masih dengan tas dipunggungnya. Tanpa buka suara sama sekali, ia langsung merampas susu kotak di tangan Echan. Sontak, Echan langsung tersentak dan menatap gadis itu sembari memicing mata.

"Lo apa-apaan sih, Son? Balikin sini!" Titah Echan, tertahan.

"Chan, jangan sembarangan terima sesuatu dari orang, apalagi dari dia. Kalo ada peletnya gimana?"

"Ya terus kenapa kalo emang ada peletnya? Gak ngerugiin lo juga kan? Aneh banget sih lo!"

Sonia mendecak, tidak menggubris kalimat Echan. Ia justru kembali menggerakkan kakinya secara bergantian, berjalan menuju tempat sampah lalu membuang susu kotak pemberian Cia untuk Echan yang sudah ia ambil alih sebelumnya kemudian berjalan memasuki kelas tanpa merasa berdosa.

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang