20

50 7 0
                                    

Dengan rambut setengah basah juga hanya mengenakan setelan piyama, Cia datang menghampiri Echan di teras depan rumahnya. Derap langkah yang ia cipta membuat sang tamu menoleh dengan cepat lalu melayangkan seulas senyum manis.

"Idih, malem-malem baru mandi. Nanti rematik loh," kata Echan, menakut-takuti.

"Baru sempet mandi sekarang, daripada gak mandi sama sekali." Cia menjawab sembari duduk di kursi lain yang masih kosong.

"Emang tadi sore sibuk ngapain?"

Cia terhenyak. Sesaat ia menyesal menjawab Echan. Seharusnya ia tidak perlu menanggapi kalimat pembuka laki-laki itu karena kini pembahasannya jadi semakin dalam.

"I-itu.. t-tadi ada kerja kelompok dulu. I-ini baru banget pulang."

Skenario yang Eric buat kini tak hanya berlaku untuk Ibu.

Cia menjawab pelan dengan arah pandang yang sengaja ia tampik ke sembarang. Ia tidak mau melakukan kontak mata dengan Echan ketika berbohong.

"Kok gak bilang?"

Bagaimana mau bilang, ponselnya saja mati total akibat dibanting ke dashboard mobil oleh Eric.

"S-soalnya... dadakan, tadi."

"Ohh.." gumam Echan seraya mengangguk paham. "Pantes pas tadi balik ke gerbang udah gak ada."

Entah kenapa, dari sekian banyak kebohongan yang pernah Cia perbuat, kali ini rasanya sangat perih. Semilir rasa sesak menjalar di permukaan dadanya kala mendengar respon dari lawan bicaranya.

"Cia," panggil Echan tiba-tiba.

Gadis pemilik nama dengan cepat menoleh, "hm?"

Echan tidak langsung mengeluarkan kata kembali. Laki-laki itu justru menatap tiap inci wajah gadisnya. Tampak begitu murung dengan mata sembabnya, membuat Echan jadi penasaran bahkan sampai berpikir macam-macam.

Setelah tak kunjung mendapatkan respon apapun, dengan kening berkerut Cia kembali bertanya singkat.

"Kenapa sih, Chan? Jangan ngeliatin kayak gitu, ah!"

Sedetik setelah pertanyaan Cia mengudara, Echan langsung menarik kedua sudut bibirnya, mengulum seulas senyum lebar lalu mencubit hidung gadis di hadapannya dengan gemas.

"Ih, sakit Chan!"

Rengekan Cia membuat Echan cepat-cepat melepas cubitannya. Namun, bukannya merasa bersalah, ia justru tertawa puas melihat hidung Cia yang berubah menjadi merah, mirip stroberi yang sudah masak pohon.

"Ambil jaket gih."

Titahan Echan yang terlalu tiba-tiba membuat Cia mendadak diam dan terhenyak sejenak. Dengan kening yang berkerut, ia bertanya.

"Mau ngapain?"

"Jalan-jalan."

"Tapi kan, Ibu--"

"Tadi aku udah bilang, untung diizinin."

Mendengar kalimat itu, sontak pupil mata Cia melebar. Ia benar-benar dikejutkan oleh dua hal.

Pertama, ini adalah kali pertama Ibu mengizinkannya keluar rumah diwaktu yang lain dengan saat sekolah. Semenjak kejadian buruk yang menimpanya kala itu, Ibu tidak mau putri semata wayangnya lepas dari pengelihatannya. Tapi kali ini... bahkan ia memberi izin meski tahu jika mentari sudah tenggelam beberapa waktu lalu —bersama laki-laki lagi.

Kedua, ia yakin jika dirinya tidak salah dengar. Echan mengganti gaya bicaranya. Mengubah kata ganti orang pertama yang semula 'gue' menjadi 'aku'.

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang