09

61 10 1
                                    

Cia berlari kencang menuju unit kesehatan tempat Echan berada saat ini. Namun, saat sudah di ambang pintu, ia langsung menghentikan langkah kakinya. Yang dirinya lakukan hanyalah melihat Echan yang terus meringis kala beberapa petugas medis memberikan pertolongan pertama pada laki-laki itu.

Cia berdiam diri cukup lama, sampai semua orang pergi meninggalkan Echan dan berhenti mengerubungi laki-laki itu. Di saat itulah Cia kembali memberanikan diri untuk mengambil langkah.

"Chan..?" Gadis itu memanggil dengan pelan. Lirih bahkan suaranya nyaris hilang.

Sang pemilik nama dengan cepat menoleh ke sumber suara, setelah sebelumnya masih menggerutu juga meringis di atas bangsal dalam posisi duduk. Air mukanya yang semula tampak merasa kesakitan kini justru berganti dengan seulas senyum kecil, seolah berkata kalau dirinya sekarang baik-baik saja.

"Eh, dari kapan di situ?" Tanya Echan.

"Lumayan lama."

"Yah, ketauan dong kalo tadi gue ngejerit-jerit?" Cia hanya mengangguk kukuh. "Ya elah, langsung ilang dah aura manly gue!" Timpalnya lagi, meruntuk diri sendiri.

Cia hanya mengulum bibir, tersenyum masam. Bagaimana bisa laki-laki itu bercanda disituasi seperti ini? Saat keadaannya seperti ini.

"Kalo gitu gue keluar ya? Mau lanjut nonton Narren," ujar laki-laki yang sejak tadi duduk di sebuah kursi di sebelah bangsal Echan.

Itu Rendi.

"Bagus, sadar diri kalo bakal jadi nyamuk."

Rendi mendesis sebelum akhirnya dengan sengaja mendorong kaki Echan yang baru saja berujar. Tidak terlalu kasar sebenarnya, tapi mengingat kaki laki-laki itu keseleo, alhasil ia meringis dan mati-matian menahan jeritan.

"Aish, setan lo!" Desis Echan kesal.

Rendi malah menjulurkan lidahnya, mengejek Echan--bersikap tidak acuh--sembari bangkit dari duduknya.

"Gue keluar ya? Kalo ada apa-apa samperin aja, gue sama Jeno di tempat tadi."

Cia hanya merespon dengan sebuah anggukan kepala. Setelahnya, Rendi benar-bemar beranjak pergi. Ia akan kembali menonton Narren yang masih melanjutkan pertandingannya--bersama Jeno yang sudah kembali berdiri di tepi lapangan sejak beberapa saat lalu.

"Tiduran aja Chan," ujar Cia sembari duduk di kursi yang semula ditempati oleh Rendi.

Echan meringis, "punggung gue nyeri, bakal sakit kalo dibawa tiduran."

Ah, benar. Cia bahkan lupa kalau Echan juga mendapat sebuah tendangan kencang di punggungnya beberapa saat lalu.

"Sakit banget ya?" Tanya Cia hati-hati.

"Kalo gak diapa-apain mah gak sakit."

"Serius?"

"Iya, gak terlalu sakit kok."

"Tapi tadi lo teriak--"

"Ya iyalah! Gimana gue gak teriak, orang kaki gue main ditarik-tarik aja. Bilangnya diurut biar tulangnya bener lagi, tapi masih tetep aja bengkak. Mana lagi keselo, rasanya udah kayak mau copot nih kaki." Echan berujar panjang, memotong kalimat Cia.

Gadis itu menghela napas samar. Salah tidak kalau Cia saat ini merasa bersalah atas apa yang Echan dapat hingga menyebabkannya seperti ini? Melihat beberapa luka baret hingga lebam keunguan dipermukaan kulit tangan juga kaki laki-laki itu membuat Cia ikut merasakan kesakitannya.

"Ke rumah sakit aja ya Chan?"

"Ya elah, kayak gini doang. Gak usah!"

"Tapi--"

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang