07

71 10 1
                                    

Sudah genap sepuluh hari sejak hari pertama Cia menjadi siswi SMA Taruna. Tapi ini jadi kali pertamanya ke kantin sekolah--Ibu bangun kesiangan, jangankan untuk menyiapkan bekal, memanggang roti untuk sarapan saja tidak sempat. Ditemani Lia juga semangkuk bakso sapi yang masih mengepul, ia menikmati suasana baru setelah biasanya hanya menghabiskan diri di ruang kelas kala jam istirahat.

Suasana gaduh, riuh, juga bising dari sekelilingnya tidak membuat Cia merasa terusik. Justru ia senang, sebab ia tahu, seperti ini lah euforia putih abu yang sesungguhnya.

Perasaan ini.. sudah cukup lama ia tidak merasakannya. Yang lalu-lalu, ia terlalu sering menahan takut. Setiap saat sibuk cemas juga gemetaran.

Jadi, saat dirinya kembali bebas menjadi siswi pada umumnya yang tidak memiliki kekhawatiran berarti, rasanya sangat menyenangkan. Untuk setiap detiknya, Cia selalu bersyukur.

"Serius Sonia sama Karin gak ngapa-ngapain lo?" Lia bertanya kembali, skeptis.

Topik obrolan kali ini adalah Sonia dan Karin. Perkara dua sejoli itu mengikuti Cia saat bilang ingin ke toilet beberapa jam yang lalu, Lia penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Sebetulnya Cia sudah berulang kali menjawab,

"Mereka gak ngapa-ngapain gue, Lia. Ngikutin gue aja enggak."

Itu jawaban Cia. Jelas bohong, namun ia masih konsisten atas kebohongannya.

"Enggak Lia, gue aja gak tau kalo mereka keluar kelas juga setelah gue keluar," jawab Cia kali ini.

"Masa sih?" Gumam lawan bicaranya, masih tidak bisa percaya.

Ada alasan kenapa Cia tidak ingin berkata jujur pada Lia. Pertama, ia tidak ingin Lia terbawa emosi lalu jadi kesal pada Sonia dan Karin juga. Sebab ada satu prinsip yang selalu Cia pegang teguh, 'Jangan ajak orang lain untuk mencinta apa yang kita suka, atau membenci apa yang kita benci.'

Kedua. Cia pikir, Lia tidak pernah punya masalah apapun dengan Sonia dan Karin. Justru, Cia yakin kalau ketiganya pernah berteman cukup dekat. Ya... walau kalimat keduanya kemarin terdengar sarkastik--seperti tengah mengejek atau bahkan mem-bully--tidak ada tanda-tanda ketidaksukaan yang Lia lontarkan kepada mereka. Air mukanya biasa saja, tidak menunjukan raut wajah masam penuh kebencian atau bahkan perasaan takut selayaknya korban bully.

"Gue gak percaya sebenernya, tapi.. ya udah deh, anggep aja emang bener kata lo." Pada akhirnya Lia menyerah atas ketidakpercayaannya. "Tapi, kalo misal sewaktu-waktu mereka ngapa-ngapain lo, bilang gue ya? Sonia suka aneh soalnya, childish banget." Gadis itu kembali berujar.

Cia hanya mengangguk kukuh sembari menyesap es teh miliknya sebelum akhirnya berujar singkat. "Siap!"

"Seru banget nih kayaknya topik ghibah kalian kali ini." Kalimat itu sontak membuat kedua gadis tersebut menoleh ke sumber suara. "Ikutan dong! Lagi pada ngomongin siapa sih?" Timpal laki-laki itu.

Si sumber suara yang baru saja datang tak lain dan tak bukan adalah Echan. Khas dengan gaya slengekan bak pentolan preman, Echan sembarang duduk di sebelah Cia tanpa permisi lalu melempar raut penasaran pada mereka.

Sumpah, melihat Echan yang mendadak nimbrung, Cia jadi kesal. Bukan karena rasa penasaran apalagi tingkah tengilnya. Cia gemas sendiri mendengar decap bunyi kunyahan permen karet yang sudah berwarna putih dan nyaris hambar di mulut laki-laki itu. Rasanya Cia ingin menyentil gigi depan Echan agar laki-laki itu berhenti mengunyah.

*Nimbrung = ikut kumpul

"Dih, kok malah pada diem? Tadi lagi ngomongin gue nih berarti," ujar Echan lagi.

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang