16

52 8 0
                                    

"Bercandanya jangan kayak gitu dong, Chan.."

"Enggak bercanda, gue serius."

Cia menelan ludah, bingung. "Tanya Ibu deh."

"Oke," jawab laki-laki itu cepat sebelum akhirnya kembali bersuara dengan sedikit lantang. "Tante, anaknya boleh Echan pacarin gak?"

Percakapan singkat itulah yang menjadi awal status baru yang mereka sandang. Dari sebatas teman, berubah menjadi sepasang kekasih—terkesan agak konyol, tapi.. ya, memang begitu.

Ibu rupanya tak main-main dengan kalimatnya. Ia memang mempercayai Echan. Semudah itu sampai-sampai tak keberatan atas permintaan Echan. Dengan perasaan ringan ia bisa memberi izin, tanda betapa ia bisa memberi kepercayaan pada Echan untuk menjaga putrinya tanpa ragu.

Sudah dua hari berlalu semenjak kejadian waktu itu. Itu artinya Cia sudah memasuki hari skorsing yang kelima. Tidak jauh berbeda sebab sejauh ini Echan masih setia main ke rumah Cia sepulang sekolah. Tak pernah absen. Dan tak ada bosan-bosannya—bagaimana bisa bosan kalau tujuan utamanya adalah untuk bertemu sang pujaan hati?

Kekenyangan akibat mukbang fast food beberapa saat lalu membuat mereka sama-sama menyandarkan punggung pada sofa. Meski begitu, Echan masih mengambil dan mengunyah kentang goreng milik Cia yang tidak habis—ia sudah kenyang sebetulnya, hanya saja masih ingin mengunyah.

"Sebentar lagi lo bisa sekolah lagi, gimana rasanya?" Tanya Echan disela-selanya mengunyah.

"Euhm.." Cia menimang pendapatnya sejenak. "Seneng sebenernya, cuma... jadi harus ketemu Eric lagi kan? Bagian itunya gak seneng."

Echan menoleh. "Kata Sonia, masa skorsing Eric diperpanjang, jadi sebulan. Jadi, lo punya tiga minggu bersekolah dengan damai."

"Yang bener?!"

"Beneran. Ya kali Sonia nyebar hoax."

Cia memerjapkan kelopak matanya beberapa kali, agak terkejut oleh kabar itu. Pasalnya ia tidak tahu sama sekali. Dan beberapa detik setelahnya, kedua sudutnya terangkat naik. Meski hanya tiga minggu, menjalani hidup dengan tentram tanpa ganggungan orang gila itu adalah hal yang selalu Cia harapkan. Karena terkabul, tentulah ia senang.

"Nanti, pas lo udah masuk, main bareng sama temen-temen gue, ya? Lo masih canggung ke Rendi sama Jeno kan? Biar akrab," kata Echan lagi.

Cia mengangguk antusias, "boleh."

Senang, tentu saja. Echan selalu membawa aura positif untuk Cia. Kekuatan untuk menularkan keceriaan pada siapapun yang ada di dekatnya membuat Cia merasa beruntung mengenal laki-laki itu. Hari-harinya jadi lebih menyenangkan. Bahkan kerap kali lupa akan rasa takut karena Echan mampu menciptakan dunia yang nyaman untuk mereka berdua.

"Ayah pulang!"

Baik Cia maupun Echan, keduanya sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Namun, tak sampai sedetik, Echan menampik pandangannya, menatap angka yang ditunjuk oleh jarum pada jam dinding.

Agak berbeda. Biasanya Echan pamit pulang setengah jam lagi, dan ayah Cia belum kembali dari kerja. Tapi kali ini, entah mengapa ia pulang lebih awal. Ini akan jadi kali kedua Echan bertemu dengan ayah Cia setelah insiden seblak dan martabak tempo hari.

"Udah pulang, Om?" Tegur Echan, basa-basi.

"Eh, ada kamu," ucap ayah Cia, membalas. "Iya nih. Jarang-jarang bisa pulang cepat."

"Jarang-jarang juga saya bisa liat Om," sahut Echan disusul kekehan.

Ayah Cia mendengus geli. "Kamu ini," katanya menanggapi gurauan Echan. "Om masuk dulu ya, mau mandi. Abis itu kita ngobrol, jadi kamu jangan pulang dulu."

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang