15

47 7 0
                                    

Hari kedua. Tidak jauh berbeda dengan kemarin, Echan datang kembali untuk menepis semua rasa bosan yang menerpa Cia. Kali ini sedikit lebih prepare karena laki-laki itu sempat pulang untuk mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Bahkan ia sempat untuk membawa beberapa mainan seperti jenga, kartu uno, leggo, dan monopoli—semua hasil merampok di rumah Narren.

Setelah menyerah menyusun leggo sampai jengah bermain monopoli yang tak ada habisnya, keduanya kali ini beralih pada jenga. Masing-masing fokus untuk memilih dan menarik salah satu di antara balok kayu tersebut. Saking seriusnya, mereka sampai menahan napas, bermaksud agar susunan balok-balok kecil itu tidak jatuh kala diterpa karbondioksida sisa hasil pernapasan mereka.

"Kalo gue gak ke sini, berarti lo sendirian terus dong di rumah? Nyokap lo kan di toko kue."

Pertanyaan dari Echan tak bisa langsung Cia jawab. Gadis itu masih pada fokus utamanya, menarik sebuah balok kecil dengan perlahan juga hati-hati agar tak merobohkan seluruh susunannya.

"Yesss!" Seru gadis itu tertahan kala berhasil sebelum akhirnya mendongak, menatap lawan bicaranya polos. "Kenapa Chan?"

"Kalo gue gak ke sini, lo di rumah sendirian?" Ulang Echan, meski tak sama persis dengan kalimatnya yang lalu.

Cia mengangguk kukuh. "Makanya gue seneng lo mau main ke sini. Kalo lo gak ada mungkin gue mati kebosenan soalnya gak ngapa-ngapain di rumah seminggu penuh."

"Kenapa gak jalan-jalan? Refreshing ke mana kek gitu." Echan berujar sembari menjalankan gilirannya untuk mengambil balok jenga yang tersisa.

Cia diam sejenak. Ia perlu berpikir, kalimat apa yang pas untuk ia jadikan sebagai tanggapan agar Echan mengerti situasi yang dihadapinya.

"Buat gue, ada diluar rumah sendirian itu sama aja kayak cari penyakit. Lo inget gak waktu lo nanya apa alasan gue pindah sekolah? Hari itu gue jawab kalo gue diteror sama jelmaan iblis. Dan asal lo tau, mahkluk gila itu masih neror gue sampe sekarang. Bahkan dia udah berani neror terang-terangan sampe ke rumah ini. Satu-satunya tempat ter-aman gue udah gak aman lagi sek—"

Bruk!

Bersamaan dengan akhir kalimat Cia, Echan gagal menjalankan permainannya. Susunan balok jenga yang tersisa setengah itu ambruk, berantakan di atas meja. Alih-alih mendesah kecewa karena kekalahannya, Echan justru termangu dalam lamunannya. Kalimat Cia itu membuat Echan mulai berspekulasi.

Echan menarik dirinya ke dalam ingatan-ingatan lalunya kembali. Kala Cia menjerit keras saat melihat buket mawar merah tergeletak di atas keset rumah juga waktu ia tak sengaja mendengar percakapan gadis itu dengan Eric ditangga sekolah soal mawar merah pemberian Eric.

Dugaannya kuat mengarah pada laki-laki aneh bernama Eric itu. Tapi ia masih belum sepenuhnya mengerti, sebenarnya benang merah apa yang mengikat ketiganya? Antara Cia, Eric, dan mawar merah.

Ia ingin bertanya langsung namun ia tahu itu lancang dan sangat tidak sopan. Ia tak punya hak apapun untuk mengetahui permasalahan Cia. Jadi, pada akhirnya ia memilih untuk diam.

Tapi, belum sempat hening menerjang, Cia lebih dulu berujar dengan riang.

"Yeay, kalah! Nunduk sini cepetan!" Serunya mentitah.

Echan menyerit kening, "mau ngapain?"

"Mau nyentil jidat lo."

Ini diluar kesepakatan awal, tapi Echan tetap menuruti perintah Cia—secara tidak sepenuhnya sadar sebab pikirannya tengah bercabang. Ia merundukkan kepalanya perlahan sembari berujar.

"Jangan kenceng-kenceng loh ya!"

Cia tidak membalas. Gadis itu hanya tertawa samar penuh arti sebelum akhirnya...

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang