05

75 12 0
                                    

Semilir angin membawa gumpalan awan berarak dilangit, membuat suasana sejuk dan teduh menjadi peneman pada siang menjelang sore ini. Tapi, di tengah suasana tenang dan damai seperti ini, Cia justru gelisah.

Sejak tadi, ia tak ada henti-hentinya menoleh ke kanan kiri. Ibu yang sudah berjanji akan menjemputnya tepat saat bel pulang berbunyi kini masih belum tampak kehadirannya. Ponsel Cia mati total sebab baterainya habis. Alhasil, ia hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas.

Hari semakin sore, tapi ia tidak bisa nekat untuk pulang sendiri menggunakan transportasi umum. Ia tahu jika Ibu tidak akan pernah membiarkan putri semata wayangnya pulang sendirian. Tapi, wanita itu belum juga datang untuk menjemput anak perempuannya dan membiarkan Cia menunggu cukup lama. Sudah hampir setengah jam.

"Belom balik?"

Kalimat tanya singkat itu membuat Cia sontak menoleh ke sumber suara kala mendengarnya.

Itu Echan, berjalan--entah dari mana--menghampiri motornya yang terparkir di depan gedung sekolah, kurang lebih radius dua meter di kanan Cia.

Heran. Apa Echan tidak khawatir meninggalkan kendaraan miliknya terparkir asal-asalan seperti ini? Apa tidak takut hilang?

"Belum," jawab Cia singkat.

"Kenapa?"

"Belum dijemput."

"Ohh.."

Echan bergumam sembari menganggukkan kepalanya beberapa kali. Laki-laki itu mengeluarkan kunci dari balik sakunya lalu menaiki sebuah vespa matic warna kuning miliknya.

"Bareng aja yok," ujarnya lagi, mengajak.

"Enggak usah Erza, makasih."

"Oh, ya udah."

Sama sekali tidak ada paksaan. Laki-laki itu bertingkah sangat santai waktu Cia menolak ajakannya. Sesuai dengan prinsipnya, 'kalo mau hayuk, kalo enggak ya udah'. Tidak ada kalimat bujukan dalam kamus hidupnya.

"Kalo gitu gue duluan ya," ujar Echan setelah menaiki motornya juga selesai memakai helm dikepalanya. Cia hanya mengangguk. "Oh iya, katanya anak sekolah sebelah ada yang mau nyerang ke sini. Lo hati-hati ya," timpalnya lagi.

Kedua bola mata Cia sontak melebar, "bakal ada tawuran?!"

"Katanya sih gitu, makanya gue buru-buru balik."

Cia refleks menggigit kuku jari telunjuknya, merasa panik, takut, sekaligus bingung. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Gue balik ya, lo hat--"

"Erza! G-gue.. nebeng dong," potong Cia pelan. "Sampe halte bus depan aja, ya? Please, gue takut soalnya."

Echan tersenyum kecil, "ya hayuk, naik aja."

Tanpa pikir panjang, Cia langsung buru-buru naik ke jok belakang. Melihat raut wajah Cia yang campur aduk tidak jelas, Echan menahan kedua sudut bibirnya agar tidak naik terlalu tinggi.

"Jalan nih ya?"

Cia mengangguk, "iya."

"Sekarang banget nih?" Goda laki-laki itu.

"Ih cepet Erza, nanti tawurannya keburu mulai!"

Echan tertawa kecil sebelum akhirnya menyalakan mesin motornya.

"Pegangan, Valentino Echan Rossi mau ngebut."

Laki-laki itu berujar asal, sedangkan Cia hanya manut--isi kepalanya sudah blank, tidak bisa dipakai untuk berpikir jernih. Gadis itu langsung meremat bagian punggung jaket denim yang Echan kenakan.

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang