19

51 6 0
                                    

Cia berdiri di depan sebuah standing mirror di dalam kamarnya. Hanya dengan balutan tank top dan celana pendek, ia memandangi pantulan tubuhnya di cermin. Tangannya bergerak menuju tulang selangka, menyentuh dua buah memar merah keunguan di bahu juga di atas tulang selangkanya. Ia menatap dirinya di cermin dengan kedua bola mata sembab dan lagi-lagi berair.

Tapi bukan dua buah memar itu yang menjadi fokus pandangnya. Tangannya kembali bergerak, turun sedikit di bawah tulang selangka, menyentuh bekas luka sayatan yang sudah cukup lama mengering. Itu.. hasil ukiran silet membentuk setangkai bunga mawar merah penuh duri.

Kala dirasa sepasang netranya semakin memanas, Cia menggigit bibir bawahnya, berupaya menahan air itu agar tidak jatuh lagi. Namun, sekelibat memori lama yang tiba-tiba terngiang dibenaknya membuatnya semakin sulit mengontrol diri. Beberapa bulir air mata jatuh dari pelupuk, Cia menangis tanpa suara. Lagi.



































Semua teman sekelasnya sudah pergi, menyisakan Cia seorang diri yang masih setia berjongkok di depan kelas dengan tong sampah yang jatuh, membuat isinya berantakan tepat di depan matanya.

Bukan. Cia bukan tengah merapikannya, justru ia yang mengacak-acak. Pasalnya, berkat kecerobohannya yang berada di atas rata-rata orang normal, dengan bodohnya Cia membuang selembar uang miliknya berbarengan dengan sampah bekas minuman waktu istirahat tadi. Dan sialnya, ia baru mengingatnya saat bel pulang sudah berbunyi.

Saat merogoh saku kemejanya, ia bergumam, "Kok uang gue gak ada ya?"

Dan dari situlah ia baru sadar dan ingat kalau selembar uang yang ia punya itu telah masuk ke dalam tempat sampah. Kertas berwarna ungu itu satu-satunya milik Cia, ia tidak punya cadangan uang lagi. Kalau tidak menemukannya, masa iya dirinya harus pulang dengan berjalan kaki?

"Lagi ngapain? Kok ngubek-ngubek sampah?"

Refleks Cia mendongak, "a-ah, ini... nyari uang, tadi gak sengaja kebuang."

Cia merasa bodoh sekali sekarang.

Laki-laki itu langsung berjongkok di hadapan Cia. Ia juga ikut mengacak-acak sampah, membantu gadis itu tanpa diminta.

"Kenapa bisa kebuang?" Tanyanya tanpa melihat sang lawan bicara, masih fokus pada sampah-sampah di atas lantai.

Cia memerjapkan kedua kelopak matanya beberapakali. Masih heran kenapa laki-laki ini tiba-tiba mau berinisiatif untuk membantunya. Namun dengan cepat ia menggeleng, menepis tanda tanya dalam benaknya.

Harusnya lo bersyukur, Cia. Gumamnya dalam hati.

"Tadi, pas mau buang sampah, gak sadar kalo uangnya masih kepegang, jadi ikut kebuang." Cia menjawab seadanya sembari kembali merunduk, melanjutkan kegiatannya.

"Gak ada uang lagi, ya? Itu buat ongkos pulang?" Tebak laki-laki itu.

Cia mengangguk kukuh, "iya."

Laki-laki itu berhenti pada aktivitasnya. Ia mendongak, menatap Cia beberapa saat sebelum akhirnya berujar.

"Pake uangku dulu aja, mau?"

"Enggak kak, gak usah." Cia mendongak seraya menggeleng cepat. "Dikit lagi ketemu kok.. kayaknya," ucapnya lagi, agak ragu diujung kalimatnya.

"Tapi, kalo ternyata gak ketemu, gimana?"

Kalimat itu semakin mematahkan semangat Cia, ia jadi makin putus asa. Benar, jika tidak akan ketemu, ia harus bagaimana? Cia belum mencari solusi hingga ke sana.

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang