22 - end.

105 7 1
                                    

Setelah keluar dari bilik toilet, Cia berjalan santai menyusuri koridor yang benar-benar kosong —mungkin karena jam pulang sekolah sudah berlalu sejak cukup lama. Tak ada yang Cia lakukan selain berjalan sembari memandang ke samping, menatap lapangan fustal dengan orang-orang yang satu per satu mulai kembali memasukinya setelah sebelumnya menghabiskan waktu jeda istirahat dengan duduk di tepiannya.

"Patricia!"

Mendengar suara seseorang menyerukan namanya dari belakang, Cia refleks menghentikan langkah kakinya lalu membalik tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Sesosok gadis yang menjadi sumber suara berjalan mendekat dengan langkah cepat.

"Echan mana?" Tanya gadis itu, bersuara lagi.

"Di lapangan, lagi futsal. Kenapa?"

Cia tidak mengenal gadis yang berdiri dihadapannya, tapi ia tahu kalau dia adalah teman satu kelas Echan. Cia sempat melihat perempuan itu berdebat dengan Echan, mempermasalahkan persoalan uang kas beberapa waktu lalu. Sepertinya ia bendahara kelas XI IPS 3.

Untuk apa ia mencari Echan? Apa ia ingin menagih tunggakan kas yang masih belum juga dibayar?

Tapi rupanya spekulasi Cia salah besar. Gadis itu justru menyodorkan sebuah buket bunga berisi sebuah bunga matahari dengan beberapa bunga kecil sebagai pendamping hingga membuat buket itu tampak jauh lebih cantik.

"Tolong kasihin ke Echan ya?"

Cia tidak merespon. Ia mematung di tempat sembari memerjapkan kedua kelopak matanya lalu memandang buket bunga matahari itu dan sang pemberinya secara bergiliran.

Dia mau nitipin bunga buat Echan ke gue? Yang bener aja. Apa dia gak tau kalo gue pacarnya? Cia membatin, separuh kesal.

"Kasih aja langsung ke orangnya, tuh di lapangan. Kenapa harus nitipin ke gue?" Ujar Cia agak ketus.

"Karena gue buru-buru. Ini udah sore, jemputan gue udah dateng," jawab sang lawan bicara. "Ini Patricia, tolong ya?"

"Tapi gue—"

Sepertinya memang benar jika gadis itu sangat lah terburu-buru. Pasalnya, tanpa membiarkan Cia mengeluarkan kalimatnya yang lain, ia lebih dulu menarik tangan Cia lalu meletakan buketnya ke dalam genggaman Cia.

"Thank you, Patricia! Sekalian tolong bilangin ke Echan, bayarnya besok aja! Sama uang kas yang udah nunggak dua bulan juga jangan lupa!"

Gadis itu berteriak sembari berlari, beranjak pergi. Cia yang mendengar hal itu semakin mematung di tempatnya. Sebisa mungkin ia memaknai situasi yang baru saja terjadi. Tapi, karena masih tetap bingung, ada akhirnya Cia memandang buket bunga yang kini sudah berada di genggaman tangannya. Ada sebuah amplop kecil berisi lembaran surat yang dilipat rapi yang menempel pada buketnya.

Apa dengan membacanya, ia bisa mengerti dan menemukan jawaban dari kebingungannya?

Dengan sangat berhati-hati, Cia mengambil isi suratnya tanpa mencopot amplop tersebut dari buket. Lalu ia membaca tiap kalimat yang tertera di dalamnya dalam hati.

Teruntuk eneng cantiknya Echan,

Kata Narren, biar punya kesan yang bagus ke cewek supaya terus-terusan diingat dan dipikirin, cowok itu harus ngasih bunga seenggak sekali.

Awalnya aku ragu buat nurutin omongan dia, soalnya suka sesat. Tapi, setelah aku pikir-pikir sekali lagi, kayaknya dia ada benernya juga. Kayaknya emang harus. Seenggaknya sekali seumur hidup.

Aku gak tau kamu suka bunga apa, jadi aku beliin bunga favoritku, bunga matahari. Gimana? Suka nggak? Semoga suka deh.

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang