21

57 5 0
                                    

Pada siang menjelang sore kali ini, langit tampil lebih teduh dibanding beberapa jam lalu. Semilir angin yang bertiup membuat dahan-dahan pohon beserta dedaunannya melambai-lambai. Sinar mentari yang terik tidak tembus melewati kumpalan awan yang menutupinya tanpa celah. Tidak panas namun tidak hujan, hanya sejuk. Cuaca favorit Cia.

Tak sendiri. Di samping Cia ada Echan, berjalan beriringan dengan gadisnya dengan sebuah tas kecil berisi sepatu futsal digenggaman tangan kanannya. Laki-laki itu hanya berjalan tanpa buka suara sebab Cia tengah sibuk berbincang dengan lawan bicaranya di balik sebuah sambungan panggilan suara yang baru saja ia terima.

Omong-omong, Cia menggunakan ponsel lamanya. Echan menyadari itu. Ia sempat bertanya ada masalah apa dengan ponselnya sampai-sampai harus menggunakan ponsel dengan casing nyaris usang tersebut, tapi Cia menjawab dengan kalimat yang tidak jelas sehingga ia masih tidak tahu apa alasannya.

"Tapi Bu, Echan ada sparing futsal dulu sampe sore," jawab Cia.

Mendengar namanya disebut dalam percakapan Cia dengan ibunya, sontak Echan menoleh, menatap Cia dengan bingung. Cia yang menyadari jika ia tengah ditatap penuh tanya berbalik menatap laki-laki itu namun sekilas, hanya dalam hitungan beberapa detik.

"Kalo kamu mau nungguin Echan sih gak apa-apa, asal jangan kesorean."

Cia tampak bingung. "Boleh?" Tanyanya retoris.

"Kenapa Ibu nyuruh kalo gak boleh?" Balas Ibu tak kalah retoris. "Udah ya, Ibu mau lanjut ngurusin pesenan Bu RT," lanjut sang lawan bicara.

"Berarti Cia bareng Ech—"

Bip.

Ibu memutus sambungan telepon mereka secara sepihak padahal anak gadisnya belum selesai dengan kalimatnya, membuat Cia terpaksa memutus kalimatnya sendiri setelah mendengar bunyi 'bip' menyeruak masuk ke lubang telinganya dari lubang pengeras suara ponselnya.

"Disuruh pulang sama aku?" Echan buka suara tiba-tiba.

Cia menoleh cepat lalu mengangguk kukuh. "Kamu latihannya lama gak?" Tanyanya.

"Dua babak doang sih kayaknya. Gak apa-apa?"

"Ya mau gimana lagi?"

"Terpaksa banget kesannya kalo kamu jawab kayak gitu," kata Echan seraya merengut.

Cia memang merasa sedikit terpaksa, tapi bukan karena harus pulang bersama Echan, melainkan karena ia sudah lelah seharian dibombardir oleh banyak ulangan harian. Ia ingin segera pulang, merebahkan diri di atas kasur lalu tertidur, melupakan semua penyesalan akibat salah menggunakan rumus pada beberapa nomor hingga membuatnya kepikiran. Masih sampai detik ini.

"Kamu mau pulang sekarang emangnya? Aku bisa anter—"

"Enggak, gak apa-apa," potong Cia cepat. "Kebetulan aku tiba-tiba mau liat kamu main futsal. Mau tau kamu sejago apa," sambungnya.

Hal ini bisa membantunya untuk mengalihkan pikirannya yang dipenuhi oleh penyesalan akibat ulangan fisika beberapa jam lalu, kan? Setidaknya, menonton kekasihnya dari pinggir lapangan juga menyemangatinya bisa membuat mood-nya jadi lebih baik. Begitu hasil pemikiran singkatnya. Dan, semoga saja memang bisa.

"Awas loh, nontonin aku nanti terkesima," celetuk Echan, kelewat percaya diri.

"Pede banget kamu," cibir Cia. "Narren lebih jago ketimbang kamu, gak usah sombong."

Echan tiba-tiba mengerucutkan bibirnya, merengut lalu merengek. "Kamu mah, jangan banding-bandingin aku sama Si Nana dong!"

Cia sedikit shock. Ini kali pertama Echan merengek kepadanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Echan berubah menjadi manja secara tiba-tiba?

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang