08

66 12 1
                                    

Entah bagaimana caranya--Cia tidak tahu sebab asyik makan martabak pemberian Echan bersama Ayah--tapi semalam Echan berhasil meminta izin Ibu untuk mengajak Cia menonton pertandingan futsal dirinya. Berakhirlah laki-laki itu di depan pintu utama rumah Cia pagi ini.

Suara ketukan pintu menggema ke seluruh penjuru rumah. Cia--dengan rambutnya yang masih setengah kering sebab baru saja selesai mandi--langsung buru-buru bergerak menuju pintu.

Cklek!

Cia membuka salah satu pintu kayu tersebut. Kini ia bisa melihat perawakan laki-laki dihadapannya dengan jelas. Kaus putih dengan logo Adidas, jaket kulit hitam, juga celana jeans kebiruan. Jika dilihat-lihat, Echan lebih tampak seperti ingin mengajak kencan ketimbang mau tanding futsal.

"Pagi banget sih, baru jam delapan lewat," gumam Cia.

"Tadi disuruh motong rumput dihalaman rumah dulu. Karena gak mau, ya udah, gue kabur aja ke sini."

Cia mendengus geli. Ia merasa ragu atas kalimat Echan barusan. Sebab... Mana ada orang kabur tampilannya rapi gini? Wangi banget lagi, kayak abis mandi parfum. Batin Cia berkomentar.

"Ayo masuk."

Setelah membuka lebar pintu utama, Cia mempersilahkan Echan untuk masuk. Menyusuri lantai marmer yang dingin, Cia mengekor pada Echan menuju ruang tamu.

"Lo kok gak bawa apa-apa sih?" Tanya Cia saat bokongnya mendarat pada sofa.

"Bilang dong kalo mau bawain makanan. Kan bisa sekalian gue beliin bihun gulung diperempatan jalan depan."

"Bukan bawa makanan Chan, barang-barang buat futsal. Lo jadi tanding gak sih?"

"Ohh, jadi lah!" Echan membalas cepat. "Waktu itu jersey gue dipinjem Narren, nanti dibalikin sekalian. Sepatu juga gue minjem punya dia aja, dia punya dua. Gue males bawa apa-apa."

"Ish, gak niat banget!" Desis Cia.

Echan hanya menanggapi dengan dengusan geli.

"Baru mandi lo ya? Masih basah tuh rambut." Echan kembali berujar.

Cia mengangguk kukuh, "iya."

"Masa baru mandi sih?"

"Mana ada orang mandi subuh-subuh hari libur, Chan?"

"Ada."

"Siapa?"

"Gue."

"Gak percaya! Paling juga lo gak mandi kalo libur."

"Dih?!"

"Apa?"

"Kok bener?!"

Cia tidak pernah menyadari sudah sejauh apa interaksinya dengan Echan dalam waktu sesingkat ini--padahal tidak setiap hari mereka berinteraksi. Tahu-tahu sudah seakrab ini saja. Bisa saling melempar gurau dan candaan tanpa kaku seperti dulu, sudah selayaknya orang yang kenal sejak lama.

Tidak terlalu mengherankan sebenarnya. Perlu disebut kembali kalau-kalau lupa. Echan itu social butterfly.

"Kita gak harus berangkat sekarang kan?" Tanya Cia.

"Enggak, santai aja. Masih lama kok, di rundown gue tanding jam setengah sepuluh."

"Oh, bagus deh. Gue juga harus nunggu Ibu pulang dari toko kue di perempatan depan dulu."

"Ohh."

Selama sepersekian detik hening sampai akhirnya Cia memutuskan untuk berujar.

"Gue ke kamar dulu ya. Mau ngeringin rambut sekalian siap-siap." Cia kembali buka suara bersamaan dengan tubuhnya yang bangkit dari sofa.

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang