“Jika kita disuruh memilih antara hak dan kewajiban, bolehkan menempatkan rasa keegoisan? Hak adalah memenuhi hasrat, sedangkan kewajiban membutuhkan pengorbanan. Bagaimana jalan tengahnya?”
@Listya12
***
“Kenapa kau terlihat begitu gelisah, Suf?” Kang Dzikri menghampiri Yusuf yang termenung di depan kamar pesantren.
“Nih ... ngopi dulu ...,” sambung kang Dzikri dengan menyodorkan kopi yang dibawanya. Batang rokok yang semula berada di tangan kiri, sekarang berpindah ke tangan kanannya, kemudian dihisap penuh kenikmatan. Asap mengepul dari mulut dan hidungnya, memberikan sensasi tersendiri agar menghilangkan beban pikiran. Dia menyodorkan satu bungkus rokok yang sudah berkurang beberapa batang kepada Yusuf, namun lelaki itu menolak dan menyesap kopinya.
“Aku mau tobat ngerokok, Kang,” kata Yusuf kemudian.
“Wahhh ... ada acara seperti itu juga, tho? Kukira rokok menjadi pelarian terakhir saat rasa galau menyelubungi hati.” Kang Dzikri menghembuskan asap berkali-kali.
“Tobatlah, Kang, sebelum rokok membunuhmu,” cetus Yusuf mengingatkan lelaki yang telah dianggap sebagai saudara sendiri itu, namun kang Dzikri malah tertawa mendengar ucapan adik pondoknya itu.
“Ngerokok mati ... nggak ngerokok pun mati. Dengar ... yang nentuin kematian seorang hamba hanya Allah, bukan putungan rokok,” elak kang Dzikri yang memang tidak bisa lepas dengan rokok.
“Ck ... nikotin telah menjadi candumu, dan meracuni pikiranmu,” kata Yusuf sebal.
“Dan si Aisyah-mu itu ... juga telah mencuri kewarasanmu,” balas kang Dzikri dengan menghembuskan asap ke arah Yusuf. Dengan geram Yusuf mencabut batang rokok yang tinggal setengah itu, dan membuangnya ke lantai dengan asal. Tidak merasa marah, kang Dzikri malah terkekeh dan mengambilnya lagi.
“Ini aku beli dengan uang, lho, Suf, mubadzir kalau dibuang gitu aja.”
“Nah maka dari itu, Kang, mending digunakan untuk sesuatu yang lebih berguna. Percuma juga, ‘kan, kalau Cuma disebal-sebul kayak gitu? Mubadzir uang plus merusak paru-paru. Dan juga ... lebih berbahaya lagi untuk perokok pasif,” terang Yusuf dengan menceramahi kang Dzikri.
“Sendiko dawuh, Pak Kyai ...,” kata kang Dzikri dengan menangkupkan kedua tangannya, serta berlagak membungkukkan badan seperti sedang bertemu pak Kyai atau abahnya. Yusuf berdecak sebal melihat kang pondoknya seperti itu, kemudian kembali menyesap kopi. Mendengar kata ‘Pak Kyai’, seketika dia teringat sesuatu yang tidak bisa dia putuskan dengan jangka waktu dekat.
“Suf ... menikahlah dengan Zula,” dawuh abah pagi itu setelah Yusuf menyelesaikan ngaji Quran-nya. Tanpa ada angin ataupun hujan, kabar ini mengejutkan hatinya. Ada rasa sesak, sakit, pilu, dan masih banyak lagi hingga tak dapat didefinisikan. Untung saja hanya dia seorang yang masih di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Aisyah [END✔️]
Romans"Cinta memang rumit. Serumit itu aku menafsirkan perasaan terhadap dirimu. Karena aku bukan diriku yang kau kenal." *** Yusuf jatuh cinta pada sosok bermata cokelat yang ditemuinya saat hari pertama orientasi mahasiswa baru. Dia berusaha untuk dekat...