22. KYURARA.

64 13 0
                                    

Ketika tiba di kediaman Contramande situasi dari luar pagar sudah terlihat menegangkan. Aku tiba bersamaan dengan beberapa kendaraan lain. Orang-orang itu berbeda fasial, usia, kesamaan mereka hanya satu. Semuanya laki-laki.

Satu di antara mereka maju, mendekat ke arahku. Lelaki yang nampaknya hanya dua atau tiga tahun lebih muda dari ayahku tersebut lebih terlihat seperti seorang pria ramah penyayang keluarga.

"Anda putri tuan Shitosu bukan? Saya Ray. Dulu ayah anda sudah banyak membantu saya..." kalimatnya terhenti, menoleh, menatap ke arah kerumunan lelaki yang jumlahnya mencapai puluhan mungkin dibelakangnya. "Membantu kami..." kembali menatapku. "Kami segera kemari begitu mendapat telpon dari beliau. Ini saatnya kami membalas budi" ujarnya memakai bahasa Indonesia sedikit kaku, dan aksen Jepangnya masih cukup kental.

"Ada kekacauan di dalam sana, saya butuh bantuan anda untuk menyelamatkan teman saya dan keluarganya" kataku.

Ray mengangguk, memberi isyarat pada teman-temannya dan memintaku mengikutinya tepat di belakangnya.

Kami berlari memasuki halaman depan. Aku agak kaget saat melihat tubuh beberapa penjaga jatuh bergelimpangan di atas tanah. Salah satu orang Ray berjongkok untuk memeriksa mereka, lalu memberi isyarat pada Ray kalau nyawa orang-orang itu sudah tak bisa diselamatkan. Ray pasti melihat shock pada wajahku sehingga berkata.

"Nona, sebaiknya anda menunggu di luar saja. Sepertinya situasinya lebih mengkhawatirkan dari yang kita perkirakan".

Aku menggelengkan kepala. "Polisi juga akan datang sebentar lagi, aku harus ikut masuk" kataku. Bersikeras.

Ray mendesah berat. "Baiklah kalau begitu. Tapi jangan memisahkan diri, oke".

Aku mengangguk. Dan terus melangkah mengikutinya.

Setibanya di dalam rumah, harus kuakui situasinya sangat kacau. Berbagai perabotan pecah belah, jatuh, hancur, berantakan di atas lantai. Ada banyak noda darah di mana-mana. Lalu......banyak tubuh bergelimpangan.

Aku mencoba menatap ke mana saja asal bukan ke arah mayat-mayat itu. Lantas kami mendengar sebuah suara. Datangnya dari sebuah kamar terdekat di ruang tamu. Salah seorang anak buah Ray nekad masuk ke sana sambil mengacungkan senjata, namun rupanya itu hanyalah seorang pelayan yang bekerja di rumah ini.

Ray segera mendekati wanita muda tersebut, wajahnya penuh darah, pupilnya melebar, menatap nyalang dipenuhi rasa takut. Rambutnya berantakan. Banyak noda merah mengotori seragam putih kuningnya.

"Apa yang terjadi? Jangan cemas kami bukan orang jahat" tanya Ray berusaha bersikap lembut.

Aku memandang simpati ke arah gadis pelayan yang menurut tebakanku jauh lebih muda dariku tersebut. Perempuan itu kini terisak sambil menggigit tangannya sendiri. Dia sejak tadi tampaknya bersembunyi di dalam kamar ini. Di sudut sambil menekuk lutut.

"Mereka datang, lalu mulai menembaki orang-orang....lalu Nyonyaa Kania...nyonya dan bayi-bayinya....".

Deg.....

Pelayan tersebut merangsek maju ke arahku, menarik kain lengan bajuku. "Tolong selamatkan nyonya dan para kembar. Mereka bersembunyi di ruang bawah tanah. Saya mohon....beliau orang baik, seperti malaikat....tolong..." pintanya memelas. Lantas mulai menangis.

Aku mencoba menenangkannya, berkata semuanya akan baik-baik saja. Ray lalu meminta salah satu anak buahnya mengeluarkan gadis muda tersebut dari rumah ini. Membawanya ke tempat aman dan menunggu di sana sampai polisi datang. Setelah mematikan si pelayan sudah keluar dengan aman kami melanjutkan pergerakan kami.

Rumah ini lebih cocok disebut kastil, sangat luas dan lebar. Ray menebak-nebak di mana lokasi basement, kemudian dia berhasil menemukan pintu rahasia dekat dapur. Ada tangga kayu melingkar ke dalam. Tepat saat itulah terdengar suara banyak langkah kaki berlarian dari atas lantai dua atau tiga, entahlah.

Ray menyuruhku untuk terus bergerak maju ke dalam ditemani delapan anak buahnya. Sementara dia dan yang lain akan mengecek ke atas. Memintaku agar berhati-hati.

Segala hal dalam tempat ini gelap. Aku terpaksa menyalakan senter ponselku untuk menerangi jalan kami. Tangganya sangat panjang, agak curam dan cukup dalam . Kemudian sebuah ruang bawah tanah berlantai marmer terhampar di bawah kami. Aku mencoba memanggil nama Kania, suaraku bergema dan terpantul ke segala penjuru.

Tempat ini sangat luas, dipenuhi furniture lama dan perabot bekas namun tertata rapi.

Anak buah Ray berpencar, tepat saat itulah aku mendengar suara langkah kaki diseret diikuti isakan tertahan. Arahnya dari balik lemari kayu jati raksasa di pojok kanan ruangan.

Kami segera bergerak ke sana. Lalu aku menemukannya.

Kania dalam balutan dress lengan panjang putih flannel selutut.

Seluruh badannya berlumuran darah. Wajah. Rambut. Matanya menatapku penuh teror. Air bening berlinang. Kemudian sayup-sayup aku mendengar suara tangisan bayi seperti baru bangun tidur, awalnya hanya satu namun lama-lama jadi banyak.

Aku berlari ke arah Kania, dia terjatuh kepadaku, menangis keras. Tak jauh dari sana, tiga sosok bayi setampan malaikat ditidurkan di atas ranjang bekas. Tubuh mereka ditutupi selimut. Ada bekas jejak tangan berdarah mengelilingi kain yang dililitkan di badan mereka.

Bahuku merosot. Tak bisa membayangkan teror macam apa yang baru saja dilalui tiga bayi tak berdosa itu serta ibunya.

Aku segera meminta para anak buah Ray untuk mengamankan ketiga bayi tersebut sementara aku sendiri berusaha menenangkan Kania. Sambil berkata.

"Kita harus pergi dari sini, sebentar lagi polisi akan datang. Kuatlah, kamu pasti bisa" bisik ku lirih. Suaraku sendiri agak parau.

Lantas aku sedikit mendorong bahunya, harus memaksanya agar berjalan.

Kami bergerak secepat mungkin. Dan setibanya di ujung tangga atas, kami bisa mendengar suara kegaduhan dari lantai dua semakin menjadi. Kania sudah tampak ketakutan. Lalu ada banyak bunyi tembakan.

"Polisi datang!" celetuk salah satu orang Ray.

Aku meminta Kania berlari keluar lebih dulu. Ditemani beberapa anak buah Ray. Dia dan anak-anaknya harus menyelamatkan diri lebih dulu. Lalu dengan sisa orang yang ada berlari menaiki lantai dua secepat kami bisa. Nyaris terpeleset dua kali karena menginjak genangan licin. Dan itu bukan air melainkan darah! .

Tepat di saat itulah aku mendengar bunyi tembakan lain. Suara jeritan Ray, lalu bunyi kaca pecah.

Segera melesat cepat menuju ke ruangan sumber suara lalu.....

....pemandangan berikutnya yang kulihat membuat duniaku seakan membeku seketika. Lantai dibawah ku bagai terbelah. Dan aku tertelan hidup-hidup ke dalam lubang gelap tak berdasar.

Rasanya aku menjerit. Berteriak. Lalu berlari menghambur ke arah sosok yang kini tergeletak di atas lantai itu. Bersimbah darah.

"Tidak...tidak...Bryan...bertahanlah...tidak...." Kataku panik, berjongkok, lantas meletakkan kepala Bryan ke atas pangkuanku.

Ray berlari keluar ruangan berteriak keras.

"Di sini! Ada yang tertembak".

Air mataku meledak. Jantungku seakan ditarik paksa dari dalam rongga dada.  Tangis ku menjadi. Kupeluk erat kepalanya dalam dekapanku.

Bryan menjulurkan satu tangannya padaku, sebuah senyum lemah terukir di wajahnya yang kini juga bersimbah darah.

Suaranya sangat lirih. Tapi aku bisa mendengarkannya. "Terima kasih....aku mencintaimu...".

Kemudian saat tangannya terjatuh ke samping badan diikuti sepasang kelopak mata menutup mata perlahan, aku menjerit. Menangis. Berteriak. Memohon padanya agar dia tetap bertahan.

Rasanya jiwaku ikut hancur di detik itu juga.

Padahal aku belum sempat menyatakan isi hatiku padanya.

🌌🌌🌌🌌🌌🌌🌌🌌🌌🌌🌌🌌






[COMPLETED] CONTRAMANDE FIGHT! :#03.CONTRAMANDE SERIES(BRYAN STORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang