11. BRYAN.

55 12 0
                                    

Reaksi pertama Rara ketika kami tiba di salah satu kediama Contramande adalah. Tertegun. Cukup lama dia mengangkat kepala untuk menatap lurus pada bangunan megah di depannya. Aku tahu apa yang ada di pikirannya saat ini, alih-alih gembira karena bisa berada di sebuah rumah mewah sebagai sebuah tempat persembunyian, dia pasti merasa tertekan juga kesepian.

"Kita tidak akan lama di sini, lusa kita sudah terbang ke tempat lain" kataku padanya.

Menolehkan lehernya sedikit, Rara bertanya. "Mau ke mana lagi?".

Aku tidak langsung menjawab, hanya melemparkan senyum penuh arti padanya. "Ayo" kataku . Mempersilahkannya berjalan lebih dulu.

"Kamu dulu bilang, kalau tinggal bersama saudara-saudara sepupu mu bukan?" tanyanya. Menoleh padaku sambil menaiki undakan tangga.

"Kadang-kadang. Tapi aku membeli rumah ini dua tahun lalu, sekarang aku lebih sering tinggal disini, sebab rasanya kurang nyaman masih berkumpul bersama William mengingat dia sudah berkeluarga" jawabku. Mengekori langkahnya.

"Dan Britania?" kini Rara membalikkan badan setibanya di ujung tangga hingga kami bisa berhadapan.

"Soal Bree...yah dia bekerja di sana dan disini jadi bisa dibilang dia jarang berada di rumah juga" tukas ku sambil menggaruk tengkuk.

Aku selalu kesulitan jika ada orang yang menanyakan soal  pekerjaan 'tetap' Britania. Mana mungkin aku bilang ke seluruh dunia kalau dia Agen rahasia dan pekerjaannya menantang maut.

Kakiku melangkah lebih dulu, melewati bahu Rara lantas membuka pintu ganda besi di depan kami. "Selamat datang di gubuk ku" tukas ku. Jujur saja tak bisa menahan diri untuk sedikit sombong.

Rara mendengus, tapi dia kesulitan menutupi kenyataan kalau dia sendiri memang terpukau.

Rumahku berbeda dari tempat tinggal Will, yang cenderung bergaya mediteranian dan sedikit punya sentuhan tradisional. Rumahku murni bergaya modern dengan sedikit gaya kolonial. Tidak terlalu banyak barang sehingga membuat dalamnya terlihat lapang.

Beberapa Pelayan segera mendatangi kami begitu melihatku.

"Bryan. Kupikir kamu tak akan pernah pulang lagi" seorang wanita separuh baya dalam balutan seragam Pelayan menghambur ke depan. Lalu tanpa ragu memeluk ku. Aku balas pelukannya.

Beliau adalah ibu Asmi, yang telah bersamaku sejak aku masih remaja. Diantara para anak Contramande, beliau paling dekat denganku secara emosional. Itu sebabnya ketika aku memutuskan pindah dari kediaman William, beliau juga memilih untuk ikut bersamaku.

Bagiku, beliau sudah seperti layaknya seorang ibu kandung. Dan kebetulan beliau sendiri memutuskan tak pernah mau menikah lagi setelah sebuah kecelakaan bus merenggut nyawa suami serta anaknya yang masih balita.

"Ah siapa gadis cantik ini?" tanya ibu Asmi. Melepaskan pelukan kami sembari melirik Rara.

Rara bergerak gelisah di tempatnya. Menyelipkan sejumput rambut ke balik telinga dia berkata sambil sedikit merendahkan suaranya. "Saya Rara. Bik".

"Dan anda adalah?" melirikku serta Rara bergantian dengan sorot curiga.

"Calon istri, Bik" jawabku sambil tersenyum miring. Yang langsung mendapat pelototan dari Rara.

"Bik, kamar yang aku minta sudah disiapkan?" tanyaku. Berjalan masuk ke dalam ruang tamu diikuti ibu Asmi.

Para Pelayan segera menawarkan diri untuk membawakan tas Rara, tapi gadis itu menolak. Sesuai tebakanku.

Kemudian kami melakukan tur singkat dalam rumah sembari ibu Asmi menyuruh para Pelayan lain untuk menyiapkan air hangat bagi kami.

"Nah ini kamarmu" tukas ku. Menunjukkan pada Rara sebuah kamar di lantai dua yang memiliki balkon dan langsung berhadapan dengan halaman belakang sebagai latar pemandangan.

Rara memasuki ruangan itu dalam diam. Sepasang netranya berotasi ketika sorotnya menyapu pandang seluruh isi kamar.

Tempat ini tadinya kamar tamu namun sudah disulap menjadi kamar khusus untuk Rara sesuai permintaanku pada ibu Asmi. Dekorasinya diubah menjadi nuansa klasik romantis, perpaduan warna putih serta pink lembut mendominasi. Aroma khas bunga frangipani memenuhi udara, mampu membuat rileks.

"Semua barang mu akan dikirim ke sini sebentar lagi. Terserah kamu mau mengaturnya sendiri atau kalau kesulitan bisa minta tolong Pelayan. Jangan ragu untuk meminta tolong pada Bik Asmi, beliau adalah Kepala Pelayan di sini".

Rara berjalan ke arah pintu geser yang menuju balkon, membukanya sedikit dan membiarkan angin semilir hangat menerpa wajahnya. Membuat rambutnya beterbangan di depan muka. Sedikit pantulan matahari membuatnya tampak makin bercahaya.

Rara lantas menoleh padaku sambil menyandarkan tubuh depannya di pegangan balkon, bibir tipis merah mudanya menyunggingkan seulas senyum tipis.

"Tahu tidak, rupanya kamu nggak buruk-buruk amat ya?" .

Aku tertegun. "Maksudnya?".

"Yah, awalnya aku pikir kamu bocah kaya manja, playboy menyebalkan yang cuma bisa bergantung pada nama besar keluarga serta super egois. Namun melihatmu membantuku menghadapi masalah di Jepang kemarin, lalu caramu memperlakukan para pegawai mu barusan. Tuan Bryan, kurasa kamu memiliki hati yang sangat hangat".

Ucapan jujur Rara membuat hatiku berdebar. Jujur saja.

Aku berdeham, menatap lurus pemandangan di depan. "Akhirnya kamu tahu. Percayalah, aslinya aku lebih keren dari ini". Sambil meluruskan kedua lengan di atas susuran balkon.

Aku bisa merasakan Rara memutar bola matanya namun dia ikut tertawa bersamaku.

Ada keheningan damai yang sempat mengisi diantara kami. Kemudian.

"Soal ayahmu, aku berjanji untuk membantu mencarinya dan aku serius soal itu".

Situasi tiba-tiba berubah tegang. Rara menghela nafas berat.

"Hari ini kita bisa beristirahat, tapi besok ada beberapa hal harus kamu lakukan untuk membantu pencarian. Salah satunya, tes dna" suaraku berubah berat.

Aku benci mengatakan ini padanya tapi situasi yang akan dia hadapi, bahkan kami, ke depannya akan cukup sulit.

Rara membasahi bibir bawahnya. "Dan kenapa aku harus melakukan tes itu?". Ia terlihat takut saat mengajukan pertanyaan itu.

"Sebab..." jeda sejenak. "Bibi mu berkata padaku saat kita masih di Bandara. Mobil yang dipakai untuk menculik ayahmu sudah ditemukan, di dasar jurang. Terbakar. Dan ada dua jenasah di dalamnya dalam kondisi...." aku tidak bisa melanjutkan lagi.

Bahu Rara merosot, tangannya gemetaran namun dia berusaha berpegangan pada susuran balkon. Pandangannya kini tidak lagi tertuju padaku.

Mencondongkan tubuh ke depan, netraku menyapu intens pada kedua retinanya. "Kamu harus tegar, mulai sekarang. Bibi mu juga menyuruhku untuk menyampaikan ini. Jangan percaya pada siapapun. Dia juga minta maaf karena harus menyampaikan semua ini melalui diriku, dia sengaja memintaku mengatakannya sekarang sebab beliau takut kalau-kalau kamu membatalkan penerbangan dan nekad terlibat di sana".

Rara menurunkan pandangannya ke bawah lantai. "Dan kenapa dia begitu mempercayaimu?" tanyanya lirih.

Menghela nafas lambat, aku menjawab. "Entahlah. Mungkin karena dia bisa melihatnya di mataku. Aku akan menjadi orang terakhir yang bakal menyakitimu".

Rara mendongak, setetes air bening muncul di sudut netranya dan dia buru-buru mengusapnya.  Padahal aku sudah ingin melakukan itu untuk dirinya.

Kemudian Rara mengusirku secara sopan dari kamar ini. Dia bilang ingin beristirahat. Aku cukup sadar kalau dirinya membutuhkan ruang untuk bisa mencerna segala hal juga menenangkan diri. Jadi aku menuruti permintaannya.

Namun tepat ketika pintu kamarnya menjeblam tertutup dibelakangku, aku bisa mendengar isakan kerasnya lolos.

Menatap daun kayu persegi yang menjadi pembatas di antara kami, saat itulah aku bersumpah. Apapun yang terjadi kelak di antara kami, akan ku penuhi janjiku pada Bibi Arisa untuk menjaga sekaligus melindungi gadis itu.

############

[COMPLETED] CONTRAMANDE FIGHT! :#03.CONTRAMANDE SERIES(BRYAN STORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang