19. Membuka hati

2K 135 21
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Suasana hatiku yang semula kurang baik setelah memikirkan ucapan Mbak Ayu, sekarang jauh lebih baik usai pergi keluar bersama Anin tadi. Sederhana saja, beban hatiku akan sedikit berkurang ketika keluar rumah lalu melakukan hal yang sekiranya mampu menghiburku meski hanya dengan jajan makanan di pinggir jalan.

Aku menatap gawai, menanti Mas Kamal mengirim pesan. Cukup lama hingga akhirnya rasa bosan datang. Memutuskan menyimpan gawai dalam laci nakas. Menghela napas panjang. Harapanku mendapatkan kabar darinya sirna. Mungkin sosok itu masih sibuk hingga belum sempat  memberikan kabar lagi padaku.

Belum lama aku menutup laci, terdengar raungan panggilan dari gawaiku. Dua sudut bibirku tertarik ke atas ketika merasa yakin jika sosok dalam pikiranku lah yang menelpon. Segera aku membuka laci lalu mengambil benda pipih itu kemudian menggeser tombol warna hijau.

"Assalamualaikum, Mas."

Hening. Sosok itu tak kunjung membalas. Hanya hembusan napas berat yang terdengar.

"Wa'alaikumussalam. Aku masih di Bandung, Ra. Mungkin beberapa hari lagi baru bisa pulang," ujarnya dengan bariton berat dan serak seolah-oleh tengah dilanda lelah yang teramat.

Mendadak rasa khawatirku padanya muncul usai mendengar suaranya barusan. "Ehm, Mas sehat? Apa urusannya di sana belum selesai, Mas?" tanyaku lirih.

"Alhamdulillaah, sehat. Urusannya belum usai, Ra. Jangan khawatir, nanti kalau semua urusanku disini sudah selesai aku akan pulang. Kamu takut di rumah sendirian, ya? " balasnya disertai kelakar.

Aku tersenyum tipis meski sosok itu tidak bisa melihatnya. "Bukan begitu, Mas," balasku lirih. Mungkin dia lupa jika beberapa waktu yang lalu sebelum sikapnya hangat padaku, aku sudah berkawan baik dengan sepi. Tak mengenal rasa takut jika hanya senyap yang mengisi. Bahkan harus berpuas hati menerima ketika ia lebih kerap bermalam di rumah Mbak Ayu ketimbang aku.

Percakapan kami lewat sambungan telepon tidak berlangsung lama karena Mas Kamal ingin mencari makan setelah itu langsung istirahat. Dia juga mengatakan akan secepat mungkin menyelesaikan masalah kantor agar bisa segera pulang.

Aku kembali tersenyum, merasa hubungan kami kian menghangat. Mungkin sikap dinginnya padaku sudah menguap hingga tak lagi membekas. Ya Allah, aku bahagia.

****
"Cak, besok gak jadi pulang?"
Tak kunjung jawaban yang  didapatkan, sosok pria yang diberikan pertanyaan masih sibuk dengan laptop dan lembaran kertas di tangannya.

"Cak, njenengan mboten kundur besok?" Kembali sosok pria yang mengenakan kaos warna hitam itu melayangkan pertanyaan yang sama. Posisinya yang semula duduk di kursi sudut ruangan berpindah ke sebelah pria yang ia panggil 'Cak'.

"Mungkin belum untuk besok, Dit. Tugas koreksi kerjaan adik tingkatmu belum selesai, ditambah dua hari lagi ada jadwal ngisi seminar," jelasnya sambil menghela napas berat. Tampak jelas wajahnya menunjukkan bahwa ia begitu lelah. Tangannya yang semula memijit pelipisnya tampak bergerak menutup laptop lalu menata lembaran kertas di depannya sebelum disimpan dalam map. Berakhir membiarkan laptop dan map itu tetap di meja. Meraih remot di sudut sofa lalu menyalakan televisi.

"Cak Hafidz mau kopi? Tak buatin sekalian nyemil klanting punya njenengan ya, Cak?" Hafidz menoleh, melihat cengiran dari Radit sebelum beranjak menuju dapur.

Hafidz terkekeh geli, tau betul sikap manis Radit ini sebab ingin mengincipi jajanan yang mahasiswa bimbingannya berikan tadi. Sebenarnya tanpa meminta ijin padanya pun jika Radit ingin, tak apa langsung dimakan.

"Jangan kayak orang asing, Dit. Semua jajanan, minuman, dan lainnya yang ada di rumah ini halalan toyyiban buat siapapun. Kalau mau ambil saja, aku juga kurang suka," ujar Hafidz cukup keras agar Radit yang sedang di dapur dapat mendengar suaranya.

Hafidz anak tunggal yang kerap merasa kesepian. Wajar dia senang ketika mengetahui santri Eyang kakung nya kuliah di tempatnya mengajar. Malah meminta santri itu tinggal bersamanya, mengingat santri itu juga belum begitu paham lingkungan sekitar kampus. Jujur saja selain karena hal itu, ia juga sudah menganggap Radit layaknya adik kandung sejak lama.

"Cak, ini kopinya sama jajannya," ucap Radit sambil meletakkan nampan berisi dua cangkir kopi dan satu toples klanting.

"Aku kopi saja, Klantingnya kamu yang makan." Radit tersenyum lebar menanggapi perkataan Hafidz.

"Cak, njenengan sudah menghubungi Laila lagi?" Hafidz menyeruput kopinya lalu meletakkan kembali di atas meja. Menolehkan kepalanya ke arah meja sudut ruangan lantas berjalan ke sana. Tangannya terlihat meraih sebuah ponsel lalu kembali duduk di samping Radit.

"Dia tadi pamit pulang ke pondok. Hanya itu." Hafidz menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan roomchatnya dengan Laila.

Radit tersenyum, cukup senang. Hafidz benar-benar sudah berusaha lebih dekat dengan Laila. Sudah saatnya Hafidz memulai hubungan serius, tidak lagi terus berpikir keras tentang kondisi Ira yang jelas sudah bersuami.

"Aku sudah memutuskan untuk membuka hati pada sosok baru, Dit. Jangan khawatir, konsisten bisa kujaga."

***
Sebuah kiriman file dari Dani membuat Kamal mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras seiring deru napasnya terdengar jelas. Perkiraannya jika bisa segera merebahkan tubuh usai mengecek beberapa data kantor cabang, salah. Dia malah meraih gawai di atas meja lantas  menghubungi Dani untuk menghadapnya sekarang juga.

Jelas, bukti yang baru Dani kirimkan bukan sekedar berhubungan dengan hal sederhana. Tapi, sudah menyangkut perusahaan pusat yang susah payah dia kelola dari nol. Ternyata sang lawan ingin menjatuhkannya perlahan melalui karyawannya sendiri.

"Siapakah dia? Kenapa begitu ingin menghancurkanku?" gumam Kamal. Begitu penasaran dengan sosok lawan yang dihadapi.

***
Maaf hanya sedikit..
Semoga mengobati rindu kalian.

Semarang
11 Juni 2021
30 Syawal 1442

Dua Akad [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang