Follow sebelum baca
Sebuah keadaan membuatku terjerat ikatan pernikahan yang tak kuinginkan. Ketika perlahan hati mulai ikhlas dengan takdir, dia tega menyisihkanku. Membangun kebahagiaan sendiri dengan wanitanya tanpa peduli lukaku.
Haruskah aku...
اَلْخـَبِيـْثــاَتُ لِلْخَبِيْثـِيْنَ وَ اْلخَبِيْثُــوْنَ لِلْخَبِيْثاَتِ وَ الطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَ الطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبَاتِ. " Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. (Qs. An Nur:26) ______________________
Langkah mantap seorang pria mendadak meragu. Jantungnya berpacu tak biasa ketika mendengar sebuah pertanyaan lolos dari bibir tipis wanita di belakangnya.
"Apa sedikit saja tidak ada kesempatan untukku hadir di ruang terkecil hatimu, Mas?" Kalimat Ira itu terus saja berputar.
Pikiran dan hati Kamal tidak bisa beriringan. Segera dia menampik, meyakinkan bahwa semua ucapan wanita itu tidak berarti.
Usai mengantar istrinya Ayu, dia kembali memacu kuda besinya menuju tempat mengais rupiah. Sampai di sana bukan ketenangan yang didapat, fokusnya pecah. Pikirannya tertuju pada satu nama, Zahira. Wajah wanita itu mengganggu ruang sunyi di sudut kalbu, merobohkan dinding penghalang.
"Kenapa denganmu, Kamal? Dia tidak lebih hanya seorang penghalang antara kamu dengan Ayu." Kamal mengusap wajahnya kasar, mengacak rambutnya frustasi.
Perhatian, tatapan serta tangisan Ira bagai kaset yang berputar dalam pikiran. Terus mengulang setiap kejadian lalu antara dirinya dengan Ira. Malah sekarang kilasan wajah dosen Ira ikut hadir dan begitu menganggu. Apakah dia mulai menaruh rasa pada Ira? Apa dia cemburu? Kamal menggeleng kuat. Berusaha terus menghalau.
Tepat pukul delapan malam semua pekerjaannya baru selesai. Sempat bergelut dengan perasaan dan pikiran membuatnya mengundur semua jadwal meeting hingga berimbas pada jam kerjanya menjadi lebih larut.
Suara raungan dari gawai yang teronggok di sofa ruang kerja menghentikan tangan Kamal yang hendak meraih map. Dahinya mengernyit, bingung. Tidak biasanya kontak tersebut menelpon. Menimang antara mengangkat atau mengabaikan. Karena rasa penasaran, tangan Kamal menekan tombol warna hijau.
"Assalamualaikum, Mas temui kamu di kantor sekarang juga. Ada hal yang ingin mas bicarakan." Ucap pria diseberang sana dengan nada kurang bersahabat.
"Wa'alaikumussalam. Iya mas." Sedikit terkejut, Kakak dari Ira itu ingin bertemu. Bukannya Mas Faruq bekerja di Mesir dan masih disana?
Firasat Kamal mengatakan ada hal buruk akan terjadi. "Apa yang kamu perbuat, Ira?" Desis Kamal dengan rahang mengeras. Merasa semua hal yang akan terjadi karena Ira.
****
Tidak ada sapaan hangat. Pria di depannya mengatup bibir rapat. Menarik kursi yang ada di depan meja kerjanya lantas duduk.
"Mas Faruq kapan sampai di Indonesia? Kenapa tidak mengabari dulu?" Buka Kamal mengawali percapakan, bergerak meraih tangan Faruq menjabat tangan kakak iparnya.
Faruq menatap Kamal, tak berniat menjawab pertanyaan pria yang merupakan suami Ira.
"Mas Faruq sudah bertemu Ira?" Faruq hanya mengangguk sekilas. Suasana yang memang kurang bersahabat membuat Kamal yang sejak tadi gusar semakin gusar.
"Apakah amanah yang Mas titipkan tidak berarti apapun bagimu?" Faruq memejamkan mata, menarik napas mengatur amarah yang bergejolak dalam dada. Bersikap setenang mungkin.
Kamal tersentak dengan pertanyaan Faruq. "Mas, Saya---"
"Wanita yang baik untuk lelaki yang baik, begitupun sebaliknya. Dan Ira adalah wanita yang baik, tapi Mas tidak yakin dengan lelaki yang menjadi pendampingnya." Kalimat Faruq menohok hati Kamal. Semua yang diucapkan Faruq memang benar. Kamal hanya menyakiti hati Ira selama ini.
"Mas Faruq meragukan saya?" Tanya Kamal lirih. Ada rasa sakit melihat keyakinan dalam tatapan Faruq memudar. Teduh wajahnya sirna untuk Kamal.
"Hanya mengkhawatirkan adikku. Kesempatan untukmu hanya sekali lagi, Kamal. Setelah ini jangan harap Mas diam saja jika kamu masih tidak adil padanya. Allah tahu semua yang kamu perbuat dan akan membalas buah dari perbuatan hambaNya." Faruq beranjak dari posisinya, meninggalkan ruangan luas milik Kamal.
****
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Le, masih betah di luar? Angin malamnya kencang." Pria paruh baya dengan tatapan teduh mendekat. Menepuk beberapa kali punggung sosok yang berdiri dengan tatapan menyiratkan beban.
"Eyang Kung belum sare?" Pria paruh baya itu tersenyum simpul, membuat kerutan pada wajahnya terlihat jelas.
Pria paruh baya itu kembali tersenyum, memandang sang cucu yang tengah bingung. "Mikir apa sampai jam sebelas belum mapan? Masih mikir ucapan ibumu, Fidz?"
Hafidz yang awalnya menatap para santri yang hilir mudik dari tempatnya berdiri saat ini, merubah posisi menjadi berhadapan dengan lawan bicaranya. "Pangestune Eyang, kalau pekan depan Hafidz melamar salah seorang santri disini boleh?"
Setelah dipikir masak-masak Hafidz perlu mempertimbangkan keinginan Uminya. Bukankah membahagian orang tuanya merupakan impian seorang anak. Dia tidak ingin menjadi perusak hubungan Ira dan Kamal. Cukup cintanya untuk Ira dipendam tak perlu diungkapkan.
"Boleh, tapi jangan karena Umimu keputusan itu diambil. Tidak baik mengambil suatu keputusan dengan terburu-buru. Sesuatu yang dilakukan terburu-buru hasilnya kurang baik." Balas pria yang dipanggil Eyang Kung.
"Ingat, santri Eyang anak baik-baik jangan dibuat pelarian, kasihan. Urusan Umi mu biar Eyang Kung yang bicara. Putri Eyang yang satu itu jadi bagian Eyang." Sambungnya dengan tawa kecil.
Hafidz mengangguk. "Kertas apa itu Eyang?" Hafidz menautkan alis memperhatikan selembar kertas dalam genggaman Eyang Kung nya.
"Jadwal ngisi kajian kitab di pondok. Eyang sudah sepuh, butuh kertas ini kalau-kalau pikun e tambah." Balas Eyang Kung dengan kekehan pelan. Pria paruh baya itu memang selalu menyikap sesuatu dengan tenang.
Berlalu, meninggalkan Hafidz yang masih setia berdiri di teras.