بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA****
'Anggap saja semua kerumitan adalah sebuah jalan untuk menjadikan kita hamba yang sabar'
~Zahira Safitri~
.
.
Tubuh pria berbalut kemeja hitam itu berdiri tepat di depanku. Tak ada senyuman hangat, tak ada kecupan lembut. Bahkan tanganku yang akan meraih tangannya pun diacuhkan. Dalam hati aku terus beristighfar. Jika ditanya apakah sakit, tentu. Husnudzon, hanya itu yang terus kutanamkan dalam hati.Gurat lelah tercetak jelas pada wajahnya, sontak saja segara kupersilakan masuk. Mengabaikan sikapnya barusan. Bagaimana pun juga, rumah sederhana ini adalah rumahnya.
"Mas, aku buatkan teh hangat dulu, ya." Tak butuh balasannya, aku segera menuju dapur meninggalkannya yang berbaring pada sofa ruang tamu dengan perasaan entah berantahku.
Ingatan bagaimana aku melewati hari tanpa kabar darinya, ditambah sikapnya barusan, sudah cukup membuatku sadar jika pernikahan kami tak bermakna baginya.
Ini kali pertama Mas Kamal pulang setelah satu bulan penuh tinggal di rumah Mbak Ayu. Jangan tanya kenapa, karena alasannya adalah ingin berlaku adil. Benarkah yang dilakukan itu keadilan?
Terbersit keraguan kian menggunung, benarkah dulu dia sungguh-sungguh berniat menikah denganku. Ataukah ada hal lain yang tersembunyi. Ya, lagi-lagi pikiran buruk menggelayut. Berulangkali kembali kurapalkan istighfar dalam hati dan pikiran.
Sebisa mungkin meredam perasaan tak keruan dalam hati.Tugasku sebagai seorang istri adalah patuh, berbakti pada suami. Surga istri ada pada suaminya, dan ridho suami juga ridho Allah. Kulakukan yang terbaik, bukan hanya sekedar perbuatan tak berarti, tapi lebih dari itu. Perbuatan yang kulakukan dengan ikhlas, mengharap ridho Allah semata.
"Mas, ini teh hangatnya." Kuletakkan secangkir teh itu pada meja kecil di hadapannya.
Tak ada balasan, setelah meminum teh buatanku ia lantas bangkit, menuju kamar kami. Aku hanya diam menunggunya masih dengan posisi yang sama. Takut bertanya atau berbuat sesuatu padanya saat keadaan seperti ini.
Sekitar sepuluh menit ia keluar dari kamar kami, menarik sebuah koper dan membawanya menuju kamar lain di sampingnya. Melihat itu sudut hatiku tiba-tiba nyeri. Yang baru saja kusadari, ternyata semudah itu hatiku menjatuhkan rasa, hanya dengan akad, semuanya bisa berubah seketika.
Dia berjalan mendekat, matanya menatapku tajam. Alih-alih berucap suatu hal baik atau menanyakan kabarku, nyatanya malah kalimat tak mengenakkan keluar darinya.
"Jangan perlakukan saya seperti tadi. Saya tidak suka. Karena sampai kapan pun, hati saya tetap memilih Ayu. Ingat itu, Ira."
Bagai dihantam batu, ucapannya barusan membuat setitik rasa baru dihatiku layu. Dadaku sesak ketika mengulang kembali ucapan Mas Kamal tadi. Genangan di pelupuk mata kian penuh, hingga tanpa sadar butir bening itu tumpah bertepatan dengan Mas Kamal menutup pintu kamarnya. Ragaku luruh, membekap mulutku untuk menahan isakan yang kian menjadi.
Zahira, kenapa kau menangisi keadaan. Bukan ini yang harus kau lakukan. Permulaan ini telah dimulai, berilah kekuatan pada hatimu untuk bertahan.
Ya Allah, serumit inikah kehidupan yang akan kujalani. Jika benar, aku hanya berharap semoga Engkau selalu berikanku kesabaran tiada berbatas.
****
"Tidak akan ada cinta untuk Ira." Gumam pria itu berulangkali, memandang langit-langit kamar tempatnya berbaring saat ini.
Tujuannya bukan membagi rata cinta antara Ayu dan Ira. Karena sampai kapan pun, Ayu tetaplah pilihannya. Ia hanya ingin melakukan hal yang seharusnya dilakukan dengan mudah sejak dulu tapi menjadi rumit karena sebuah kejadian baru ini.
🍁🍁🍁
Malam Jum'at
Semarang, 16 Januari 2020Hanya sekelumit dulu, berikan bintang untuk lanjut part selanjutnya njih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Akad [On Going]
EspiritualFollow sebelum baca Sebuah keadaan membuatku terjerat ikatan pernikahan yang tak kuinginkan. Ketika perlahan hati mulai ikhlas dengan takdir, dia tega menyisihkanku. Membangun kebahagiaan sendiri dengan wanitanya tanpa peduli lukaku. Haruskah aku...