بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***
Adakah yang masih menunggu dan menyimpan cerita ini? Bisa dibaca ulang kalo lupa alurnya...
Bom waktu dari kisah mereka sebentar lagi meledak
.
.
.Apa sikap baik dan perhatiannya kemarin hanya untuk sementara?
~Ira~
______________Sepekan berlalu terasa lama, sosok yang kunanti tak kunjung pulang juga. Beberapa kali mencoba menghubungi lewat pesan dan panggilan, tapi balasan darinya masih belum ada. Berakhir pasrah saja.
"Apa masalah Mas Kamal sangat serius? Sampai-sampai belum sempat membalas pesanku."
Kenapa rasanya sama persis ketika Mas Kamal belum bersikap baik dan perhatian padaku? Rasanya serupa sendiri tanpa pasangan.
Baru sebentar aku mampu merasakan perhatian darinya, tapi pada akhirnya tetap harus kembali akrab dengan sepi. Ingin menghubungi Mbak Ayu untuk bertanya kabar Mas Kamal karena keduanya begitu dekat yang bisa jadi keduanya bertukar pesan, tapi tidak mungkin. Atau Mas Kamal menginap di tempatnya Mbak Ayu? Tapi pekan ini adalah jatah Mas Kamal berada di rumah tempatku tinggal.
Lamunanku buyar, langsung berjingkat ketika mendengar ketukan keras dari pintu. Seolah sang pelaku tak sabaran untuk masuk. Aku berjalan tergesa lantas membuka kunci lalu pintu yang terbuka langsung menampakkan dua orang pria. Tampak pria berkemeja marun memapah sosok tak berdaya yang ku kenali, Mas Kamal.
"Assalamualaikum, Bu. Maaf, Pak Kamal sejak kemarin sakit tapi tidak mau diantar ke rumah sakit. Minta langsung diantar pulang ke sini saja."
Langsung saja kuminta pria yang memperkenalkan diri bernama Dani yang bekerja sebagai asisten Mas Kamal itu membawa Mas Kamal ke kamarnya.
"Bagaimana bisa begini, Dan? Apa Mas Kamal tidak sempat istirahat? "
Dani berdiri di depanku usai membaringkan Mas Kamal lalu keluar dari kamarnya, menunduk singkat sebelum menjawab. "Pak Kamal memang sempat bekerja hampir full time dan tidur cuma tiga jam."
Apa seberat itu masalahnya? sampai mangbaikan istirahat. Bahkan ketika tumbang pun masih tak mau periksa ke dokter.
Aku menghela napas panjang, mengangguk usai Dani pamit pulang. Masuk ke kamar Mas Kamal. Menatap sosok yang tengah mendengkur halus.
Tanganku menyentuh keningnya untuk mengecek suhu tubuhnya yang ternyata sesuai dugaanku, panas. "Seberat apapun masalahnya, semoga tubuhmu tidak sakit seperti ini lagi, Mas."
Usai melepas sepatu dan jas Mas Kamal aku keluar dari kamarnya, mengambil air hangat untuk mengompresnya lalu turun menuju dapur untuk memasak bubur dan mengambil obat penurunan panas.
Kegiatanku memasak selesai tepat ketika suara adzan maghrib terdengar. Menyiapkan semangkok bubur dan air minum serta obat lalu membawanya ke kamar Mas Kamal.
Langkahku terhenti ketika mendengar suara Mas Kamal menelpon seseorang dari dalam, satu tanganku yang akan mengetuk pintu akhirnya kuturunkan. Memilih tetap berdiri di depan pintu, menunggu percakapan Mas Kamal dengan seseorang itu selesai.
Samar Mas Kamal mengeram, sesekali bersuara keras sambil membentak lawan bicaranya lalu suara benda terjatuh sampai pecah menghentikannya. Mengundang rasa khawatirku, takut terjadi sesuatu pada Mas Kamal. Cepat aku membuka pintu tanpa mengetuk.
Mataku membola ketika melihat guci kecil yang ada di dekat pintu keluar menuju balkon pecah, darah segar juga tampak di sampingnya yang berasal dari kaki Mas Kamal.
"Ya Allah, Mas. Kenapa bisa begini? "
Mas Kamal memberi isyarat padaku dengan tangannya untuk tidak mendekat, ia berjalan dengan pelan dan hati-hati menuju ranjang.
"Tolong ambilkan obat di kotak P3K dekat rak itu, Ira." Mas Kamal menunjuk kotak warna putih yang menempel di dinding sebelah rak kayu. Aku mengambil obat merah dan lainnya yang digunakan untuk mengobati luka.
Tanganku langsung menahan tangannya ketika ingin mengobati lukanya sendiri. Akhirnya ia memilih pasrah saat aku membersihkan luka di kakinya. Sesekali ia merintih menahan sakit ketika kapas yang dicampur alkohol mengenai lukanya. Helaan napas darinya terdengar usai lukanya selesai kuberi obat merah dan kubalut dengan perban.
Ia menerima ketika mangkok berisi bubur kuserahkan padanya. Makan tanpa bersuara.
"Tolong bersihkan pecahan guci itu, Ra. Saya mau salat dulu." Mas Kamal mengatakan itu usai rampung menghabiskan bubur dan minum obat. Ia sempat menawarkan padaku berjamaah tapi aku menggeleng sebab tamu bulananku. Hal yang memang sejak lama kuinginkan, salat berjamaah dengannya tapi sekarang belum saatnya, mungkin lain kali.
Usai rampung membersihkan pecahan guci, dalam diam aku menunggunya selesai salat, mengamati semua gerak-gerik Mas Kamal. Ia tak langsung beranjak, dalam simpuhan ia menunduk dengan kedua tangan tengadah. Ya Allah, bahkan wajah dalam tundukan itu menyiratkan beban berat yang ditanggung.
"Kenapa bisa sampai sakit begini, Mas?" pertanyaanku akhirnya terucap usai Mas Kamal duduk di atas ranjang menghadapku yang duduk di sofa panjang di depannya.
"Saya hanya kurang istirahat," jawabnya singkat.
"Tapi masalah apa yang membuat Mas sampai mengorbankan waktu istirahat?"
"Kamu tidak akan paham jika saya jelaskan, Ra. Terimakasih atas pertolongannya dan kamu bisa keluar sekarang," balasnya yang terdengar kurang bersahabat. Apa semua masalah yang menimpanya juga membuat tutur katanya padaku pun kembali berubah?
"Tapi, jika Mas butuh bantuan dan teman berbagi cerita aku mau membantu dan mendengarkan."
Mas Kamal berdecak, mendengus kasar. "Sudah saya katakan, kamu tidak akan paham. Hanya Ayu yang mengerti masalah ini. Jadi sekarang keluar! Saya ingin istirahat."
Usiran darinya memaksaku keluar, membawa goresan luka baru. Kenapa rasa sakitnya diperlakukan begini kembali berhasil melayukan hatiku? Apa sikap baik dan perhatiannya kemarin hanya untuk sementara?
***
Suara dering dari ponsel menghentikan tangan Hafidz mengetik materi kuliah di laptop. Meraih benda pipih tersebut lantas tersenyum ketika panggilan itu datang dari Uminya."Assalamualaikum, Fidz. Apa besok kamu bisa pulang? " suara sosok dari ponselnya terdengar bergetar.
Kening Hafidz berkerut, tangannya seketika menutup laptop. "Waalaikumsalam, Umi baik-baik saja? "
Rasa khawatiranya muncul ketika Uminya tak kunjung merespon. "Umi masih mendengar Hafidz?"
"Eyang kakung sakit dan ingin kamu pulang. Besok pulang, ya. Ajak Radit juga."
Panggilan itu dipaksa berakhir oleh sang Umi sebelum Hafidz membalas, Hafidz yang ingin bertanya banyak pada Uminya pun tak bisa sebab usai panggilan itu berakhir sedang ia ingin menelpon kembali untuk bertanya maksud sang Umi tapi nomor uminya mendadak tidak aktif.
Hafidz langsung bangkit dari posisinya, membawa laptop dan buku tebal miliknya ke kamar. Ia berhenti sebentar di ruang tengah tempat Radit mengerjakan tugasnya.
"Dit, kemas beberapa pakaianmu. Kita akan pulang ke Jombang besok." Radit pun yang mendengar perintah itu langsung masuk ke kamarnya tanpa bertanya. Sebab jika Cak Hafidz sudah menyuruhnya ikut pulang, tandanya ada hal penting yang mengharuskan mereka pulang.
"Insyaallah semua baik-baik saja," ucap Hafidz menenangkan dirinya sendiri. Berharap tidak ada hal buruk yang menimpa keluarganya.
***
Semarang
16 September 2024
12 Rabiul Awal 1446
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Akad [On Going]
EspiritualFollow sebelum baca Sebuah keadaan membuatku terjerat ikatan pernikahan yang tak kuinginkan. Ketika perlahan hati mulai ikhlas dengan takdir, dia tega menyisihkanku. Membangun kebahagiaan sendiri dengan wanitanya tanpa peduli lukaku. Haruskah aku...