14. Benarkah?

2.8K 218 47
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد

Masih semangat puasanya? Kurang beberapa hari lagi nih. Jangan kasih kendor

Happy reading, 70 vote untuk lanjut.

_________________

Hembusan angin dari kipas menerbangkan rambutku. Hijabku sudah teronggok di kursi ruang tamu, menampakkan mahkota yang selama ini kujaga. Bahkan Mas Kamal pun belum pernah melihatnya. Karena ada ragu, dan enggan sebab semua yang telah menimpa rumah tanggaku.

Tanganku masih sibuk membereskan sisa bahan membuat puding cokelat, berhenti ketika mendengar suara uluk salam dari luar. Segara kusambar hijabku, menggunakan sekenanya lalu berjalan menuju pintu depan.

Tubuhku mematung, mataku memanas, meraih tangan kanan sosok yang ada di hadapanku, mencium punggung tangannya. Menjawab salamnya lirih. "Wa'alaikumussalam, Mas Faruq. Adek rindu."

Mendengar balasanku lirih, sosok di depanku langsung menarikku dalam pelukan. Aku menangis tersedu-sedu, semua rasa yang menyiksa seakan tumpah karena usapan pada punggung. "Kok jadi cengeng sekarang, ndak malu sama status?" Tidak peduli apa yang diucapkan, semakin kuat pelukanku padanya, berbagi sedikit beban rasa yang menghimpit dada.
Tidak ingin pria sedarahku ini pergi, hanya dialah satu-satunya keluargaku setelah ayah dan ibu tiada.

Tak ada penolakan, kurasakan sosok dalam dekapanku mengecup puncak kepalaku. Mengeratkan pelukannya.

"Dimana Kamal?" Aku tersentak, mendadak cemas. Kuurai pelukan hangat kami.

"Dek, dimana Kamal? Kalian baik-baik saja, kan." Kembali Mas Faruq bertanya. Ada ketakutan tersendiri jika Mas Faruq tahu yang sebenarnya. Tidak ingin ada campur tangan orang lain dalam masalah rumah tanggaku.

"Mas Kamal keluar," ujarku. Kuselipkan tanganku pada lengannya, mengait tangan Mas Faruq lantas menuntunnya masuk ke dalam rumah.

"Tadi Ira baru buat puding cokelat, Ira ambilkan sebentar di dapur, ya." Sebisa mungkin ku alihkan pembicaraan. Bukan bermaksud apa-apa, hanya ingin memberikan ketenangan pada Mas Faruq saat meninggalkanku sendiri di sini sedang dia berada di negeri orang.

Langkahku terhenti sesaat, mataku kembali memanas menatap bingkai foto yang tergantung di ruang tengah. Disana senyumku simpul, berdiri antara dua pria halalku. Mas Kamal dan Mas Faruq tampak tampan dengan jas hitam dan kemeja putih, berdiri dengan gagah dan senyum tanpa dusta. Hari itu semua baik-baik saja, semua bahagia hingga sore tiba. Namun, semua sirna saat malam menyapa. Kupikir hanya aku ratu satu-satunya, kukira hanya cintaku yang nantinya dia bawa, kuangankan kami berdua bahagia dalam mahligai rumah tangga, tapi semua tidak seperti pikiran, perkiraan dan anganku.
Mas Kamal menduakanku, mengabaikanku, bahkan tidak menganggap kehadiranku. Mungkin aku yang terlalu banyak berharap.

Suara panggilan Mas Kamal dari ruang tamu membuatku sadar jika ada orang lain dalam rumah ini. Menghapus cepat butir bening di pelupuk mata. Menyahut panggilan Mas Faruq dengan membalas bahwa aku tak akan lama.

Lima cup kecil puding kusajikan di atas meja. Memberikan senyum puas atas karyaku kali ini. "Silahkan Kang Masku seng paling bagus, ini enak banget lho. Jangan bilang ndak enak." Selorohku dengan sedikit ancaman, mengendurkan rahang Mas Faruq yang sedari tadi mengeras seakan memikirkan sesuatu.

Mas Faruq menggeleng pelan, tersenyum tipis. "Adek Mas ini sudah pinter masak ya, ternyata. Dulu cuma suka makan, sampek pipi gembul semua." Aku tertawa. Rasanya baru kali ini tawaku benar-benar lepas sejak menyandang status sebagai istri Mas Kamal.

Tidak ada yang berbeda, Mas Faruq tetaplah pribadi yang hangat dengan keluarga. Tapi entah sampai kapan dia terus membujang di umur yang hampir kepala tiga.

Malam ini kami hanya menghabiskan waktu dengan mengenang masa kecil, bercanda hingga kurasa malam ini sangat sempurna. Ternyata Mas Faruq datang juga membawa oleh-oleh untukku, sebuah gamis hitam yang dibelinya di tempatnya mengais rezeki. Saat itu juga dia memintaku mengenakannya, memuji dan kembali memeluk dan mencium puncak kepalaku. Aku sangat menyayanginya, aku ingin dia selalu ada dalam jangkauanku.

"Mas, kapan kontrak kerjanya selesai?"

Mas Faruq tersenyum, mengusap puncak kepalaku. "Mungkin lima bulan, setelah itu Mas ingin mengajar di sini saja. Menjadi dosen di negeri orang memang membanggakan, tapi membuat Mas selalu kepikiran adik satu-satunya Mas Ini."

Aku mendesah kecewa. Kukira kepulangannya sekarang untuk mengurus surat kerja di kampus yang baru disini.

"Insyaallah, setelah kontrak itu habis Mas akan bekerja di sini saja. Cinta tanah air Mas mu ini. Cari pasangan juga yang lokal saja lah. Disini wanita yang punya hidung mancung juga banyak. Malah Made in Indonesia, kok." Awalnya aku terenyuh di awal kalimatnya, namun kalimat akhirnya terdengar absurd. Selalu ada saja caranya membuatku tertawa.

Tepat pukul delapan malam Mas Faruq pamit pulang ke rumah. Kututup pintu kayu usai memastikannya telah duduk di atas motor bersiap pulang. Ada lega setelah bertemu dengannya, bebanku terasa sirna. Tapi ada rasa kasihan melihat kakak semata wayangku itu masih melakukan apapun seorang diri. Semoga Mas Faruq segera mendapatkan pasangan.

*****

Senyumku kembali tersungging, meraih gamis pemberian Mas Faruq tadi. Mencobanya sekali lagi. Didepan cermin berukuran cukup besar dalam kamar terdapat pantulan diriku disana. Gamis dengan bordir hitam dengan sedikit manik berwarna hitam pula tampak cantik melekat pada tubuhku.

Suara ketukan pintu depan terdengar. Apa Mas Faruq meninggalkan sesuatu? Segera ku lepas gamis yang saat ini kucoba lalu bergegas menuju pintu depan.

Kuraih gagang pintu warna emas, membukanya perlahan. "Assalamualaikum," suara salam dari pria yang kupikir Mas Faruq. Kakinya tanpa permisi masuk ke dalam rumah karena memang ini juga rumahnya.

Mendadak aku membeku, kehilangan kata. Ketika pria itu menengok ke belakang mendapatiku yang masih diam di posisi semula. Dia berjalan pelan menghampiriku, tiba-tiba menarikku dalam dekapan hangat yang baru kali ini kurasa.
Pelukan layaknya sepasang kekasih yang dirundung kerinduan. Rasa hangat ini berbeda, seakan terselip keyakinan bahwa aku aman disana.

Pria itu perlahan mengurai pelukan, mencium keningku cukup lama. Jantungku berdebar hebat, kesadaranku seakan raib karena sentuhannya. Semukah dirimu, Mas? Masih abu kah anganku? Atau ini memang hanya khayalanku saja? Ya Allah bila ini hanya khayalan, tolong biarkan aku dalam khayal ini saja.

"Ira, maafkan saya. Saya sayang kamu. Jangan tinggalkan saya." Ucapnya dengan sendu dan tatapan berbeda dari biasanya, kalimat akhirnya membuatku membisu. Pengakuannya yang membuatku seakan merasa harapanku tidak lagi kelabu.

Mataku menggenang, menatap tak percaya sosok yang berdiri di hadapanku. "Mas Kamal, benarkah ini kamu, Mas?" Mas Kamal mengangguk, menggenggam kuat jemariku.

Bolehkah sekarang aku merasa lega dan bahagia?

****

Apa yang terjadi dengan Kamal?

Semarang
٢٦ رمضان ١٤٤١ ه
19 Mei 2020

Dua Akad [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang