17. Rasa yang dipertanyakan

2.1K 153 8
                                    

'Adakalanya keikhlasan diuji, melihat sampai mana kesabaran menerima apa yang telah dimiliki.'
________

Lembaran data berisi nama-nama pegawai bagian keuangan perusahaan diteliti Kamal satu persatu, membelalakkan mata kala menangkap satu nama yang sangat familiar.

"Dani, kamu tidak salah dengan data ini?" Mata Kamal menatap tajam lembaran kertas yang dipegang. "Bagaimana mungkin dia berkhianat?" Anggukan di dapatkan Kamal, membuatnya meremas lembaran data pegawai yang berada dibalik kerugian perusahaan cabang tempatnya saat ini. Melempar remasan lembaran itu sembarangan.

"Dari hasil penyelidikan orang kepercayaan kita, memang dia juga ikut serta, Bos."

Kamal menghela napas panjang, gusar dengan kenyataan yang baru saja didapat. Orang yang sangat dipercaya malah berkhianat, turut andil dalam masalah keuangan yang menimpanya. Membuat masalah semakin rumit.

"Terus pantau mereka tanpa mengundang curiga, mereka harus menerima akibatnya setelah proyek kita selesai." Dani mengangguk, bersiap keluar ruangan namun urung, mengingat sesuatu yang mengganggu pikiran harus segera disampaikan.

"Bos, ada hal lain yang ingin saya sampaikan."

Kamal mengambil posisi lebih dekat dengan Dani, berhadapan dengan sekretarisnya itu. "Katakan, Dani."

"Sepertinya ada sosok lain juga dibalik kerugian yang menimpa kita. Bukan hanya kondisi keuangan perusahaan saja, Bos. Dari luar ada pesaing yang turut menyorot kinerja kita, mencari titik lemah dengan menggunakan orang dalam," terang Dani lirih.  Menunjukkan bukti berupa gambar di gawainya pada Kamal.

Cepat Kamal meraihnya, menggulir gambar di gawai Dani. Dengan napas memburu memejamkan mata, meredam emosi yang membara usai kembali memperoleh kebenaran baru.

Tanpa memberikan balasan, Kamal meraih gawainya  menghubungi orang kepercayaannya. Berharap masalah yang dihadapi segera mendapat titik terang, mengetahui siapa dalang dari masalah keuangan perusahaan yang kini tengah bermain-main dengannya. Bersiap memberi perhitungan serupa.

Cukup lama berkutat dengan layar laptop hingga tanpa terasa guliran jam menunjukkan pukul dua belas siang waktu istirahat. Usai menunaikan shalat Kamal memilih makan siang di sebuah restoran seberang kantor, duduk pada meja di samping dinding kaca yang menampakkan jalanan.

Memainkan gawai menunggu pesanannya datang. Melayangkan pandangan pada sekitar hingga berakhir pada sosok pria dengan balutan kemeja batik duduk cukup jauh dari tempatnya. Bukan sendiri, dengan sosok lain yang memunggunginya. Senyuman tampak darinya, berusaha meraih tangan sosok di depannya namun di tolak. Tak berhenti, kini tangan pria itu mengusap rambut milik sosok di depannya yang tak lain seorang wanita dengan rambut panjang.

Senyum miring Kamal berikan, tau pasti pria itu tengah berusaha mendekati wanita dengan rambut panjang itu namun tak berbalas, tangan milik pria itu malah diturunkan oleh wanita di depannya. Kamal mengetik sesuatu lalu mengirimkannya pada seseorang. Tersenyum puas, mengetahui benang merah masalahnya sudah diperoleh.

****
Guyuran hujan menghentikan langkah Ira, mencari tempat berteduh. Berdiri di bawah atap sebuah bank, berjarak tipis dari sosok pria berkemeja yang tak asing.

Tak ada perbincangan hingga Anin datang dengan payungnya. Menghampiri Ira yang mengangguk sekilas pada sosok pria dengan kemeja tadi, menguluk salam sebelum pamit meninggalkan sosok itu sendirian.

Laju langkah Ira dan Anin berubah jadi pelan, berhenti pada warung dimana mereka biasa membeli gudeg, duduk pada jajaran kursi. Anin memberi jeda, menghela napas sebelum bertanya. "Ra, semua baik-baik saja?"

Memberi Anin anggukan pelan. "Iya, semua baik-baik saja. Kenapa kita berhenti disini?"

Anin mengulas senyum, memesan dua porsi gudeg. "Membeli makan siang untukku dan untukmu." Tau, Ira menyembunyikan sesuatu namun enggan dibaginya. Berlaku saja layaknya tak tau apa-apa, karena mungkin sebuah kenyataan harus disimpan tertata.

Dering ponsel menghentikan kunyahan Ira, merogoh gawai dari tas miliknya. Melihat nama yang tertera, menarik sudut bibir sembari sigap menjawab panggilan di ujung sana.

"Wa'alaikumussalam, Mas. Aku bersama Anin di luar," balas Ira pada sosok yang namanya tertera di gawai.

Anggukan lemah Ira berikan meski tidak dapat dilihat oleh lawan bicaranya. Mendesah pelan, memasukkan gawai pada tempat semula setelah menerima kabar dari Kamal. Harus berpisah kembali usai beberapa hari merajut kasih. Melepas Kamal menginap di kota kembang.

Setelah guyuran hujan reda, dua wanita berhijab itu meninggal warung makan. Menepi pada bibir jalan, menanti taxi untuk sampai tujuan masing-masing.

Pelan Ira mengayun langkah menuju istana kecilnya dan Kamal. Berulang menghirup udara dengan aroma khas tanah usai terkena hujan. Sebelumnya memilih berhenti pada ujung jalan, membiarkan taxi yang ditumpanginya dan Anin mengantar cukup di sana.

Tak terasa tubuhnya sampai di depan rumah, mematung sesaat sebelum tangannya mendorong gerbang untuk masuk, bersiap menutup usai berada di balik gerbang namun batal sebab melihat sosok wanita berhijab berjalan melintas di depannya. Sosok yang tadi bertanya padanya dimana posisi Pak Hafidz. Berhenti di rumah seberangnya. Mengetuk pintu kayu di depannya sembari mengucap salam  beberapa kali namun tak kunjung bersambut. Memutar tubuhnya, berjalan meninggalkan rumah itu.

Masih pada posisi tadi, Ira berniat memanggilnya namun malah wanita itu yang lebih dulu memanggil.

"Assalamualaikum, Mbak." Ira menjawab salam, mengulas senyum tipis. Sedikit berbincang usai bertanya siapa namanya.

"Pemilik rumah itu sudah satu minggu meninggalkan rumah, Laila. Mungkin kamu bisa datang besok," jelas Ira. Pelan helaan napas panjang terdengar, dari Laila tentunya. Mungkin merasa sedikit kecewa karena tak berjumpa dengan pemilik rumah.

"Maaf sebelumnya, Mbak Ira. Bisa mengabari saya jika pemilik rumah itu sudah pulang?" Sempat terdiam namun Ira akhirnya mengangguk. Memberikan nomor miliknya pada Wanita yang baru saja dikenalnya itu.

Kembali berbicang mengenai banyak hal dengan sesekali tersenyum. Tidak menyangka sosok Laila ternyata menyenangkan diajak bicara. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, pertanyaan mengenai alasan pertemuan Laila dengan Pak Hafidz akhirnya terlontar. Jika boleh jujur ada sedikit penasaran dalam pikirannya mengenai hal itu.

Bukannya langsung menjawab, Laila memilih terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan Ira. "Saya calon istri Gus Hafidz, Mbak Ira."

Dengan lirih kembali Ira memastikan, "kamu calon istri Pak Hafidz?" usai anggukan pelan diberikan Laila, mendadak membuatnya membeku.

Masihkah sedikit rasa yang dulu itu tersisa pada kalbu Ira? Mengundang penasaran?

****

Meminta kilat, maaf saya Ndak bisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meminta kilat, maaf saya Ndak bisa. Sudah mulai sibuk dengan dunia nyata. Kuliah online sudah mulai.

Kalau kepo kelanjutannya, bisa cek Ig saya karena saya biasa memberikan sedikit bocoran disana.

Semarang
14 September 2020

Dua Akad [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang