بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA****
'Harus ada salah satu yang berkorban, jika mau sebuah hubungan tetap bertahan.'~Zahira Safitri~
____________________
Semua yang terlihat tidak memperhatikan ternyata sebenarnya begitu perhatian. Seperti halnya tindakan Pak Hafidz barusan, aku tidak mau terlalu berlebihan menganggap perlakuannya tadi. Tapi sorot matanya tadi begitu dalam dan sarat akan rahasia. Membuatku menghadirkan sejuta tanya yang menggantung dalam benak.
Tanpa berpikir panjang, aku segera berjalan menuju tempat peminjaman buku. Dan alangkah tidak percaya diriku, ternyata buku yang Pak Hafidz serahkan tadi sudah dia pinjam atas namanya dua jam yang lalu. Itu tandanya sebelum dia mengajar kelasku.
Ya Allah, apa ini. Kenapa dia berbuat seperti itu, tidak bisakah dia menjauh atau pergi dan tidak perlu melakukan semua ini. Karena aku takut, takut akan jatuh pada dosa. Mencintai pria yang tidak seharusnya. Kenapa aku diombang-ambing rasa pada dua pria.
Dengan langkah pelan kutinggalkan perpustakaan. Mencari Anin yang katanya sudah menungguku di taman.
"Ira, kaki kamu kenapa?" ujarnya dengan wajah khawatir melihatku berjalan sedikit terseok.
Aku menggeleng, harusnya aku menyembunyikan keadaan kakiku yang sakit ini. "Tidak apa-apa, jangan khawatir."
Anin berdecak, menarikku dan memintaku duduk pada kursi kayu panjang di samping kolam ikan. Alisnya menukik tajam, membuatku diam tak berkutik.
Perlahan dia menyingkap rok hitam yang kukenakan, menggeleng pelan sembari memberi wajah masam ketika melihat darah yang menembus kaos kakiku.
"Kenapa bisa begini, Ira?" Tangan Anin terlepas dari rokku, lantas sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya.
"Aku tidak apa-apa, Anin. Begitu sampai rumah pasti akan kuobati." Kenapa diriku hari ini terkesan menyedihkan. Menyusahkan orang lain.
Anin menghentikan pencariannya tadi. "Kali ini tidak ada bantahan. Kamu menganggapku sahabat, bukan. Jadi, biarkan sahabatmu ini membantu. Jangan berpikir kamu menyusahkanku, sama sekali tidak." Helaan napas disusul sebuah senyuman darinya membuatku menitihkan air mata. Memeluk erat tubuh Anin. Sungguh, aku butuh dirinya untuk membagi beban, tapi bukan sekarang.
Tak ada ucapan terdengar, Anin membalas pelukanku tak kalah erat. Seakan tahu bahwa aku butuh waktu membagi bebanku padanya.
Suara berat seseorang tiba-tiba membuat kami melepas pelukan.
"Ra, ada apa dengan kakimu?" tanya Radit, memandang kaos kakiku yang terdapat bercak darah. Radit adalah teman satu angkatan yang lumayan dekat dengan kami. Bisa dibilang teman akrab.
"Ndak apa-apa, hanya tadi aku jatuh. Nanti sampai rumah akan aku obati," balasku.
Radit memposisikan diri duduk pada kursi kecil yang berhadapan dengan kami. "Kenapa tidak sekarang, kebetulan aku bawa kotak P3K milik temanku yang diberikan padaku tadi." Radit mengangkat kotak itu, menyerahkannya pada Anin.
"Tolong obati, Nin. Takut infeksi nantinya. Aku udah dikasih ijin pakai sama yang punya kalau ada orang yang butuh." Anin mengangguk, tapi dahinya mengernyit. Bingung.
"Memang kemana temanmu, lalu untuk apa juga dia bawa P3K ke Kampus?" tanya Anin sembari mengobati kakiku dengan menutupkan kain sebagai penghalang agar tidak terlihat Radit.
Radit mengedikkan bahu, "Ya mana aku tahu, tapi Alhamdulillah bermanfaat juga 'kan."
"Kenapa kamu bisa sampai jatuh, Ra. Apa tadi waktu jalan sambil mikirin gaji siaran bulan ini yang mau keluar sampai ndak fokus?" sambung Radit. Inilah hal yang aku dan Anin sendiri sukai dari Radit, dia tipe orang yang mampu mengundang tawa dengan guyonannya.
Anin terkekeh, mengangguk seakan membenarkan ucapan Radit. Aku yang menjadi bahan candaan mereka pun ikut terkekeh pula. Ada-ada saja Radit.
"Tadi waktu jalan tiba-tiba ada orang yang nabrak dari belakang, sampai aku oleng dan berakhir duduk manis di trotoar," balasku. Kembali mengingat kejadian tadi pagi.
Waktu itu jalanan masih sepi, aku berjalan di trotoar yang berada di pinggir jalan raya persis. Entah, tiba-tiba saja ada pria yang berlari dari arah belakangku yang seakan menarikku hingga membuatku terjatuh. Saat itu bahkan aku tidak sadar jika kakiku terluka, rasa sakitnya baru terasa saat aku sampai di kampus.
"Lain kali hati-hati. Kalau perlu kamu berangkat sama aku aja, Ira. Sekalian habis dari kampus kita langsung siaran," sahut Anin sembari menekan lukaku dengan kapas yang telah diberi obat merah.
****
Semua masakan untuk makan malam sudah siap. Sebelum Mas Kamal pulang aku lebih dulu mandi dan berpakaian secantik mungkin. Menyambut Mas Kamal dengan penampilan terbaik.Jam menunjukkan pukul tujuh malam tapi Mas Kamal belum juga pulang. Kata almarhumah Mama, Mas Kamal biasa pulang dari kantor sebelum maghrib. Namun sekarang dia belum juga datang. Aku resah, pikiranku selalu pada Mas Kamal. Bahkan sampai azan isya' berkumandang pun, Mas Kamal belum juga pulang.
Kusempatkan menunaikan shalat isya' dulu, kemudian kembali menunggu Mas Kamal di meja makan. Hingga larut malam Mas Kamal belum juga pulang. Akhirnya jam sepuluh malam kuputuskan makan, sendiri lagi.
Mengingat malam kian larut, semua masakan yang ada di meja makan segera kurapikan. Menyimpannya ke dalam kulkas. Kalau nanti Mas Kamal pulang, akan aku panaskan lagi. Ketika semuanya sudah rapi, suara dering ponsel membuatku berlari menuju kamar.
Panggilan masuk dari Mas Kamal. Segera kuangkat. "Assalamualaikum, Mas. Mas Kamal kenapa belum pulang?"
"Wa'alaikumussalam. Saya tidak pulang ke kamu, saya pulang ke rumah Ayu." Hanya kalimat itu yang terucap, setelahnya sambungan telepon diputus sepihak oleh Mas Kamal. Seperti tertusuk jarum, hatiku kembali merasa nyeri.
Setelah panggilan dari Mas Kamal terputus tangisku pecah lagi. Semua jerih payahku tidak bernilai baginya. Kuatkan hati hamba Ya Allah, agar hamba bisa benar-benar ikhlas menjalani semua ketentuan ini. Aku kuat, aku pasti bisa menghadapi semua ini.
Harus ada salah satu yang berkorban jika mau sebuah hubungan tetap bertahan. Dan sekarang aku yang harus berkorban untuk tetap mempertahankan hubungan ini.
Hubungan ini suci, karena Allah lah yang menjadi saksi. Entah pada akhirnya seperti apa, biarlah Allah yang menilai dan menentukan mana yang terbaik.🍂🍂🍂🍂
Mau masuk konflik berat, nikmati saja gimana alurnya.
Semarang, 1 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Akad [On Going]
SpiritualFollow sebelum baca Sebuah keadaan membuatku terjerat ikatan pernikahan yang tak kuinginkan. Ketika perlahan hati mulai ikhlas dengan takdir, dia tega menyisihkanku. Membangun kebahagiaan sendiri dengan wanitanya tanpa peduli lukaku. Haruskah aku...