18. Pudarnya sebuah rasa

3.1K 170 35
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Siang ini terasa lebih sepi dari biasanya. Jalanan rumah bahkan tak banyak kendaraan berlalu lalang. Sekedar suara kenalpot dari jalan raya yang terdengar pelan. Entah, sejak Mas Kamal mengatakan jika tidak pulang membuatku cukup sedih. Baru saja merasakan kehangatan rumah tangga yang begitu menyenangkan. Harus menerima sebab itu tugasnya. Memang, yang dilakukan itu karena tanggung jawab perusahaan tapi entahlah, sisi hatiku tidak menerima. Mungkin kurang rela melepas saat kebersamaan baru saja terjalin.

Kembali aku bertemu dengan sosok wanita yang tadi kujumpai di kampus. Kami berjumpa di kawasan perumahan tempat tinggalku. Melihat Laila berdiri di depan rumah yang pemiliknya beberapa hari ini tengah pergi.

Belum sempat saat aku memanggilnya, Laila lebih dulu menyapaku. Berbincang cukup lama hingga berakhir mengatakan jika ia adalah calon istri Pak Hafidz. Membuatku sedikit terkejut namun berusaha menutupi.

Sempat bertanya pada diriku sendiri mengenai rasa yang dulu pernah ada, ternyata sudah pudar. Begitu senang mengetahui berita ini. Semakin yakin saat sekelebat bayangan Mas Kamal hadir, membuatku mengulum senyum. Mungkin rasa penasaran tadi hanya memastikan jika Pak Hafidz bersama sosok yang tepat. Mengembangkan senyum di bibirku melihat tubuh Laila perlahan menghilang dari hadapan.

Melanjutkan langkah menuju rumah setelah sebelumnya sempat berdiri di balik gerbang saat berbincang dengan Laila tadi. Memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci, membukanya yang bertepatan dengan mbak ayu berjalan menghampiriku dari arah dapur dengan senyum merekah. Tepat sampai di depanku ia itu mengulurkan sebuah kotak makanan. "Alhamdulillaah tadi Mbak sempat masak banyak, sekalian nganterin ini buat kamu juga." Aku hanya mengangguk, mempersilakan duduk di sofa ruang tamu.

"Maaf tadi Mbak langsung masuk, mau langsung meletakkan makanan ini di dapur. Tidak jadi karena keburu dengar suara derit pintu dari ruang tamu." Katanya sambil menunjuk kotak yang sekarang dalam pangkuanku. Tidak perlu heran, jarak antara dapur dengan ruang tamu hanya di sekat ruang tengah berukuran minimalis dengan hamparan karpet. Pantas bila suara pelan dapat di tangkap hingga dapur karena rumah juga sedang sepi.

"Terima kasih, malah merepotkan jadinya." Mbak ayu tersenyum, mengusap tanganku. Hanya sampai disitu percakapan kami, suasana hening terus melanda hingga mbak ayu membuka perbincangan dengan topik masakannya. Mengatakan jika itu kali ketiga dia berkecimpung dengan alat dapur. Berharap masakannya tidak mengecewakan bila sampai di lidahku. Mengetahui hal itu membuat hatiku menghangat.

Menjadi pendengar yang baik, itu yang kulakukan sekarang. Karena memang aku tidak ingin menyela, hanya sedikit membalas singkat.

"Masakan Mbak pasti enak. Aku yakin itu," ucapku menyenangkan mbak ayu.

"Ira, aku pulang. Maaf mengganggu waktumu. Titip salam juga untuk Kamal."

"Nanti aku sampaikan. Mbak tidak menganggu, Mbak boleh datang kapan saja. Kita saudara bukan?" Dia lantas mengucap terima kasih mendengar perkataanku. Menggenggam tanganku erat.

"Maaf, Ira. Sungguh, aku sangat bersalah padamu. Atas semua yang telah terjadi dan mungkin yang akan terjadi." Aku hanya bisa tersenyum. Meredam penasaran yang mendadak muncul atas akhir kalimat yang diucapkan barusan.

Tubuhku masih mematung di depan pintu usai mengantar Mbak ayu pulang. Memikirkan kembali ucapannya tadi. Membuat sebuah kerancuan dari perkataan itu. Menghilang saat dering ponsel mengakhiri pikiran itu. Segera masuk ke dalam rumah, mengambil ponsel yang disana tertera nama kontak Anin. Menekan tombol warna hijau hingga terdengar suara Anin dari seberang.

***
Kamal merogoh ponsel dalam saku celana memastikan sesuatu. Menautkan kedua alisnya usai melihat sebuah pesan masuk dari orang suruhannya. Membuatnya memijat pelipis mengetahui ternyata usahanya melacak sebuah persekongkolan belum membuahkan hasil.

"Bos, bagaimana hasilnya? Apa sudah tertangkap target yang menjadi pelaku?" Dani berjalan mendekati Kamal melihat perubahan raut wajah usai melihat layar ponselnya.

Helaan napas berat terdengar. Mendaratkam punggung di kursi dengan wajahnya tengadah dan mata terpejam. Membuat Dani menggeleng pelan melihat layar ponsel Kamal yang masih dalam genggaman. 

"Semua tidak semudah yang kita kira, Dani. Dia begitu cerdik berkelit." Kamal duduk di kursinya, mengambil lembaran data keuangan yang baru saja di print. Mencoret bagian pengeluaran perusahaan cabang yang dirasa memang tidak masuk akal.

"Harusnya pelaku itu sudah terlacak, bos. Bukannya bos baru saja memergoki kaki tangannya berkeliaran." Kamal mengangguk, membenarkan ucapan Dani.

"Bukan dia yang harusnya kita curigai, harusnya wanita yang bersamanya itulah fokus kita. Kita sudah terkecoh dengan permainannya." Dani menarik kursi yang ada di depan Kamal lalu duduk disana. Mengamati kembali foto yang tadi menjadi objek pandang mereka dengan seksama. Membelalakkan matanya kala menyadari di gambar itu sebuah lembaran kertas yang tanpa disadari diserahkan kembali wanita itu pada sosok pria di depannya.

"Mereka pandai mengecoh pak bos, fokus kita memang sedang di pecah dengan hal kecil seperti ini."

Kamal mengerutkan keningnya. "Maksudmu?"

Dani menyerahkan ponsel itu pada Kamal. "Wanita itu menyerahkan kembali lembaran kertas yang tadi diserahkan pada pria itu lagi. Kertas yang kita anggap hanya sebuah lembaran berisi puisi cinta atau apalah itu, ternyata bukan. Coba kita perbesar gambarnya, kita bisa lihat hanya ada satu baris kalimat disana yang tidak terlihat jelas." Dani menunjukkan gambar yang dimaksud. Membuat Kamal menatap tajam gambar dalam ponselnya sembari satu sisi tangannya mengepal kuat.

"Kita akhiri permainan mereka dengan cerdik pula." Kamal menyungging senyum separuh.

***
Hafidz mengangguk pelan mendengar petuah dari Uminya lewat sambungan telepon. Menggerakkan bolpen yang diapit oleh jarinya. Matanya fokus menatap ke depan hingga tak menyadari kehadiran Radit.

Meletakkan ponsel di atas meja ruangan dengan televisi ukuran 21 inci di depannya usai sambungan telepon berakhir. Menyandarkan punggung di sofa serta menutup matanya dengan satu lengan. Membuat Radit yang melihat tingkah lakunya menggeleng pelan.

"Bukannya sudah final keputusan njenengan, Cak. Harusnya sudah yakin dengan pilihan Umi njenengan."

Hafidz membuka matanya, menoleh ke samping menatap Radit yang tengah duduk di sebelahnya. "Tentu aku sudah ikhlas, tapi ada satu hal yang menganggu. Sudah ku cukupkan rasa itu, tapi masih saja ada yang mengganjal."

"Lalu bagaimana? Cak Hafidz Ingin kembali mundur?"

"Aku tidak seburuk itu. Semua akan tetap berjalan, sembari menata hati. Proses memudarkan rasa butuh waktu, kan. Tak enak jika masih menautkan rasa pada sosok masa lalu di saat ada rasa yang lain ditumbuhkan." Hafidz mengulas senyum, menepuk pundak Radit lalu berjalan menuju kamarnya.

Radit menatap tak percaya pada sosok Hafidz. Pria itu sangat membingungkan. Membuat kegamangan.

***

Semarang
24 Oktober 2020

Assalamu'alaikum, semoga terobati rindunya dengan Ira&Hafidz...atau Ira&Kamal nih??

Dua Akad [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang