15. Menjadi nyata

3.1K 214 71
                                    

ختم الله شهركم بالرحمة والغفران وتقبل صيامكم وقيامكم وصالح أعمالكم وجعلنا وإياكم من عتقائه من النار وجعل ختام صومكم عبادة والعيد لكم فرحة وسعادة.
تقبل الله منا ومنكم وكل عام وأنتم بخير

عيد الفطر مبارك

Mohon maaf lahir dan batin. Apabila ada salah baik sengaja maupun tidak saya mohon maaf sebesar-besarnya. 🙏

Ramaikan vote dan komentar, aku mau kasih kejutan di part selanjutnya 😊
__________________

Tak ada kata kasar, semua berjalan semestinya. Layaknya suami istri pada umumnya. Semenjak malam itu semuanya berubah. Dia yang kuanggap semu sudah menjadi nyata. Menarik sadar sebenarnya, tanpa ragu aku menyambut dengan suka cita atas kehadirannya dengan sikap berbeda.

Pukul tiga pagi tubuhku sudah dipaksa beranjak dari ranjang. Mengerjap mata menilik sisi ranjang. Tidak ada yang berubah, Mas Kamal masih tetap tidur di kamar sebelah. Hanya saja tadi malam dia sempat duduk di sisi kosong ranjang di sampingku. Berbagi kisah, sedikit mengusir canggung.

Kuambil wudhu, menunaikan sholat malam di sambung muraja'ah. Hanyut dalam buaian ayat Al-Quran tak terasa waktu beranjak subuh. Kuselesaikan muraja'ah dilanjut menunaikan sholat subuh.

"Assalamualaikum." Sayup terdengar suara bariton berat disusul munculnya sosok pria dengan baju Koko dan sarung berjalan perlahan menuju arahku yang ada di dapur.

Tubuhku menegang, merasa sentuhan pada kedua pipiku oleh sepasang telapak tangan kokohnya. Menipis jarak wajah kami. "Salam saya belum kamu jawab, Ira," ucapnya lembut.

Pipiku memanas, tubuhku meremang merasakan deru nafas hangatnya menimpa wajahku. "Wa'alaikumussalam, Mas." Lirih kubalas, menekan gelenjar aneh pada seluruh tubuhku.

Hatiku berbunga-bunga, rasaku mekar sempurna. Jarum jam bergerak menunjukkan pukul enam pagi. Semua kewajiban sebagai istri sudah selesai kutunaikan. Kupandang sekilas wajah sosok pria yang tengah menyendokkan nasi pada mulutnya, sesekali aku menunduk ketika dia balas menatapku.

"Saya baru tahu kalau kamu tidak berani menatap wajah saya."

Masih menunduk, wajahku belum berani terangkat. Suara itu terdengar lebih lembut seperti malam itu.

Ada rasa tak percaya dia berubah seketika. Takut jika ini hanya sementara, tapi hatiku sangat yakin dia telah membuka hatinya entah apa sebabnya.

Mas Kamal sudah beranjak dari meja makan, meraih tas kerja serta kunci mobil di atas meja di ruang tamu. Kususul langkahnya menuju teras. Mengantarnya sekaligus meminta ijin berangkat ke kampus serta pergi ke toko buku membeli buku pegangan wajib mata kuliah Pak Hafidz.

Tak ada uluran tangan yang terabai, bahkan Mas Kamal sendiri yang mengangsurkan tangannya untuk kucium. Mengecup keningku sekilas lantas menuju mobilnya.

Semoga kamu tidak lagi membuat hatiku layu, Mas. Cukup sekali, aku tidak yakin jika kamu kembali menyakiti, hatiku sanggup menerima.

*****

"Boleh saya meminta waktu menjawab? Saya merasa semua terjadi terlalu mendadak." Ucap lembut dari sosok wanita dengan gamis biru disusul senyuman tipis tanpa ada satupun yang melihat. Wajahnya tampak menunduk, menghalau gugup.

Beberapa pasang mata menatapnya maklum. Mengangguk, paham akan situasi yang serba mendadak menurut wanita itu. Pria dengan rahang tegas pun memaklumi, tidak tergesa-gesa mendengar balasan. Biarlah semua mengalir begitu saja, lagi pula baru beberapa hari ini saling mengenal.

"Apakah dua Minggu cukup?"

"Insyaallah saya akan beri balasan dua Minggu lagi, Gus Hafidz."

Senyum wanita setengah baya mengembang. Putra semata wayangnya telah resmi mengajukan lamaran. Rasa khawatir mulai mereda, kabar tidak benar yang telah menimpa pun mulai pudar. Semua orang tahu, pria dari dzurriyah Kiai alim itu sekarang telah menentukan pilihannya. Meminta kesediaan wanita yang tak lain santri di pondok Kakeknya.

Satu hari sudah lamaran itu berlangsung. Tidak ada yang berubah, pria itu telah kembali pada rutinitas seperti biasa, mengajar mahasiswa di kampus. Namun rasanya ada yang sedikit berbeda ketika Hafidz berpapasan dengan Ira. Rona wajah wanita itu tampak berbeda, senyum mengembang tak segan diumbarnya.

Duduk dengan tenang sesekali memutar cincin yang melingkar di jari manisnya. Layaknya dimabuk asmara, Ira tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya ketika sebuah pesan masuk. Membuatnya menarik sudut bibirnya membentuk bulan sabit.

Hafidz menghembuskan nafasnya, merasa amanah Faruq padanya akan tidak berlaku lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hafidz menghembuskan nafasnya, merasa amanah Faruq padanya akan tidak berlaku lagi. Suami Ira telah menerimanya, terlihat dari chat yang tanpa sengaja terlihat olehnya ketika handphone Ira tergeletak di bangkunya menampakkan layar chat dari Kamal berada diurutan teratas saat Hafidz berjalan mengelilingi kelas kala mengajar kelas Ira.

Mungkin ini jalan terbaik untuknya. Dia dengan pilihannya dan Ira dengan suaminya. Semoga suami Ira bukan sedang bersandiwara, jika itu terjadi Hafidz pastikan Faruq akan tahu semua perlakuannya selama ini pada Ira.

🍂🍂🍂

Adakah yang masih curiga dengan Kamal?

Team Hafidz - Ira?
Team Kamal - Ira?
Atau Hafidz & ?...

Semarang
28 Mei 2020

Dua Akad [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang