3. Sabar

2.6K 234 16
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

'Jika sudah memilih mendua, jangan pernah abaikan salah satu di antara keduanya. Berlaku adil lah'

~Dua Akad~


_____________

Sebuah gedung pencakar langit berdiri kokoh, tempat ini adalah bukti kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Pria dengan kemeja warna coklat itu tersenyum simpul ketika mendapati wanita berambut panjang sudah duduk pada sofa ruangannya.

"Sudah lama, Sayang?" suara lembut dari pria itu membuat wanita yang duduk pada sofa terlonjak kaget. Dia tersenyum ketika mendapati sosok dengan kemeja coklat mendekat, membelai rambutnya lalu mengecup keningnya cukup lama.

"Tidak, hanya setengah jam," jawabnya. Tangan wanita itu mulai bergerak, menyiapkan makanan yang dia bawa untuk pria yang telah duduk di kursi kebesarannya.

"Tadi, Ira tidak masak, kan? Aku tidak enak jika dia masak untuk Mas, tapi Mas tidak menghargai usahanya."

Pria itu berdecak, menyungging senyum sinis. Mengingat Ira, moodnya menjadi buruk. Haruskah di tempat ini dia kembali membahas hal tidak penting itu. "Sudahlah, tidak usah memikirkan dia. Sekarang hanya boleh berpikir tentang kita. Jangan membicarakan dia saat kita bersama."

Ayu yang mendengar jawaban Kamal mendengus panjang. "Jika sudah memilih mendua, jangan pernah abaikan salah satu di antara keduanya. Berlaku adil lah, Mas." Wanita itu tahu betul, tidak semua perempuan sanggup menerima kenyataan dimadu. Bila pun poligami itu tidak di larang agama, tapi syaratnya adalah adil.

Wanita bernama Ayu itu lebih dari tahu, dilain tempat ada hati yang menangis dalam diam karena tidak memiliki kesempatan bersuara, dan hati itu milik Ira, istri pertama suaminya.

****

Suasana kelas masih tampak lenggang, hanya aku dan beberapa mahasiswa lain di sana. Melupakan kejadian tadi pagi, aku kembali menata hati untuk terlihat bahagia.
Melawan kenyataan tidak mungkin, hanya sabar dan sabar. Meski hati dan pikiran masih saja memutar ulang setiap kalimat yang Mas Kamal ucapkan. Sakit, benar-benar sakit jika kilasan itu terus saja melintas dalam benak.

"Assalamualaikum, lama sekali kamu ambil libur. Beruntung hanya satu pekan, jadi aku tidak bingung memberi alasan pada Mbak Jihan kamu tidak masuk untuk siaran radio."

Kepalaku menoleh, melihat wanita berhijab maron dengan rentetan kalimat panjang sudah duduk manis di sampingku. Aku tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja di hadapannya. Semoga dia tidak curiga. "Wa'alaikumussalam. Hanya sedikit ada masalah, tapi semuanya sudah selesai. Dan terimakasih sudah mengizinkanku pada Mbak Jihan," balasku. Bersyukur, masih ada orang baik seperti wanita di sampingku.

Anin menatapku, seperti mencari suatu kebenaran yang ada pada kedua mataku. "Jangan bohong, dibalik sepasang mata milikmu tersirat luka cukup dalam." Tangan Anin mengusap punggungku, memasang raut penuh tanya. Semudah itukah dia mengetahui perasaanku?

Aku tak bergeming, berusaha mengalihkan dengan membuka lembaran buku. "Ira, cobalah sedikit saja kembali terbuka. Jangan coba menipuku dengan senyum palsu. Bagilah sedikit bebanmu padaku, aku pasti akan membantu jika mampu," sambungnya. Aku tahu hanya dia sahabatku. Hanya dia yang tahu bagaimana sifatku.

Dulu semua permasalahan selalu kubagi dengannya. Namun, kali ini semua sudah berbeda. Ada ikatan yang harus kupertahankan, dan tidak ada yang boleh tahu jika sejak awal ikatan itu memang tidak pernah kuat. Mungkin jika dirasa hati tidak lagi sanggup, baru akan sedikit kubagi beban itu. Sekarang aku masih mampu menanggungnya sendiri.

Melihatku yang masih terdiam, Anin melayangkan raut datar. Mendesah berat. "Baiklah, jika kamu sudah mau terbuka, datanglah padaku. Aku selalu membuka pintu lebar-lebar untukmu." Aku mengangguk, tersenyum simpul.

Suara uluk salam terdengar. Pria dengan kemeja batik serta celana bahan hitam telah berdiri di depan kelas memulai materi kuliah. Pak Hafidz, dosen mata kuliah psikologi pendidikan. Pria tertutup yang terkesan dingin tak tersentuh. Entahlah, bagaimana hati ini dulu sempat berlabuh padanya.

Tapi ternyata sekarang hati ini tak lagi terusik tatkal melihat rupanya. Pria dengan nama lengkap Naufal Maulana Al hafidz, dialah pemenang hatiku awalnya. Dulu dalam semogaku pria di depan kelas itulah namanya yang tersemat dalam doaku. Tapi takdir Allah berkehendak lain.

Allah hadirkan Mas Kamal sebagai Imamku. Awalnya aku tidak bisa menerima, tapi perlahan melihat perangainya pada Mas Faruq membuatku luluh hingga akhirnya menerima pinangannya. Ketika ikrar ijab qobul usai terdengar, saat itulah kujatuhkan segenap rasa cintaku pada kaum Adam yang telah Allah anugerahkan, kepadanya. Pada pria yang baru saja kukenal.

Sungguh, hati bagai dihujani bunga-bunga. Tuturnya lembut membuatku terpesona, perawakan yang tidak bisa kucela serta pemahaman agama yang bagus menjadi nilai tambah. Tapi ternyata itu hanya tipu daya, entah apa yang membuatnya tega menjeratku dalam ikatan pernikahan tanpa cinta.

Senyumku pudar, tangis pecahku terdengar. Aku dimadu pada malam pertama, dia mengakad wanita lain saat rangkaian masa depan sudah kususun sempurna. Saat takdir telah kuterima lapang dada, tapi malah dia menghempas cintaku yang baru tumbuh hingga tak berbekas. 

Aku termenung, hingga jam pelajaran usai aku tak sedikit pun berniat meninggalkan kelas. Anin sudah keluar lebih dahulu, ada mata kuliah lain setelah jam Pak Hafidz.

"Zahira, bisa ikut saya sebentar," suara Pak Hafidz memecah lamunanku. Aku menoleh ke kanan dan kiri ternyata hanya tinggal aku seorang diri dengan Pak Hafidz.

Aku menunduk, berusaha menahan embun pada mata yang tanpa sadar sudah terkumpul. Ternyata mengingat kejadian tadi pagi cukup berimbas pada perasaanku saat ini. "Iya, Pak bisa," balasku sembari mengangguk. 

Tanpa suara, Pak Hafidz memberi isyarat agar aku mengikutinya. Tepat di depan perpustakaan langkahnya berhenti, kembali memberiku isyarat untuk masuk bersamanya. Aku hanya diam dan mengikuti hingga tubuh tegapnya berhenti pada jajaran buku-buku Islam.

Mataku menangkap gerakannya meraih sebuah buku berbalut sampul biru. Dia berjalan mendekatiku, menyerahkan buku itu padaku kemudian berlalu begitu saja tanpa penjelasan.

Aku terpaku, melihat punggungnya menghilang dibalik pintu kaca. Buku dengan judul La Tahzan sudah ada dalam genggamanku. Aku tidak mengerti maksudnya, apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya. Apakah mungkin dia tahu aku sedang menghadapi masalah?

Ya Allah, apa ini? Ketika hatiku sudah dimiliki, mengapa dia sekarang datang seolah memberi perhatian lebih.

*****

Terlihat pria berkemeja batik duduk pada shaf masjid paling depan, dengan tangan menggenggam mushaf tampak berhenti melantunkan hafalannya. Matanya terpejam cukup lama sebelum akhirnya sebuah pernyataan keluar dari bibirnya.

"Aku terlambat, tapi setidaknya aku bisa melindungimu dari jauh. Dari niat buruk orang yang membencimu."

🍂🍂🍂

Masih adakah yang minat cerita ini lanjut?

Semarang, 23 Maret 2020

Dua Akad [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang