7. Tega

2.4K 193 22
                                    

JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

'Ketika Allah hadirkan ujian, itu pertanda Allah sayang'
~Dua Akad~

****

Tangisku belum sepenuhnya terhenti. semua ucapan Mas Kamal yang menyakitkan tadi benar-benar terpatri dalam pikiranku. Benarkah aku yang menjadi penyebab keguguran Mbak Ayu?

Tangan Anin memapahku menuju taman yang tampak lenggang. Dengan telaten dia mengobati tanganku yang berdarah dengan obat yang diberikan Radit. Tidak tahu kapan, tiba-tiba Radit sudah berdiri di sampingku, mengulurkan obat merah serta kapas pada Anin. Bahkan aku sendiri tidak menyadari  ternyata Pak Hafidz juga berada di hadapan kami.

Pikiranku masih berkecamuk, sesak di dada kian menumpuk tak bisa kututupi begitu saja. Tetes demi tetes air mata kembali luruh juga pada akhirnya.

"Hei, jangan bersedih. Kami ada buat kamu. Kamu bisa berbagi apapun pada kami." Tubuhku langsung berhambur ke dalam pelukan Anin. Lagi-lagi menumpahkan air mata. 

"Aku harusnya tidak menangis seperti ini. Ini sudah menjadi pilihanku, ini takdirku, Nin." Perlahan melepas pelukanku pada Anin. Aku tidak boleh terlihat lemah, aku kuat menghadapi ujian ini. Aku yakin, Allah tidak akan menguji hamba di luar batas kemampuan.

Tidak akan memberi penyakit tanpa obat, tidak akan memberi bahagia tanpa nestapa. Karena segala yang diciptakan Allah pasti memiliki dua sisi. Entah pada sisi mana yang dianggap baik untukku nantinya.

Anin sudah selesai mengobati lukaku. Cukup sakit awalnya karena ternyata luka itu lumayan dalam. Hatiku sedikit teriris menerima kenyataan bahwa bukan hanya sakit hati yang kuterima, tapi sakit fisik juga kudapat dari Mas Kamal.

Aku kembali bersikap biasa, seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Tersenyum pada Pak Hafidz dan Radit lalu menggandeng Anin untuk pulang setelah pamit pada dua pria beda usia itu.

Tak ada pertanyaan akan tindakanku tadi, karena aku tahu Anin tengah memberiku ruang untuk menenangkan diri dengan berdiam. Kami sudah berada di depan gerbang. Sekelebat ingatanku akan kejadian tadi tiba-tiba muncul. Rasa sesak di dada kembali menyergap. Mungkin tahu dengan kondisiku, Anin mengusap tanganku serta memberi senyum menengangkan.

Sudah cukup lama kami menunggu taksi online yang kami pesan tapi tak kunjung datang hingga suara klakson mobil membuat kami terkejut. Pemilik mobil tersebut menurunkan kaca mobilnya.

"Kalian pulang bersama kami saja." Pemilik mobil itu ternyata Pak Hafidz, dia meminta kami pulang bersamanya. Ada sedikit ragu, tapi bertepatan dengan itu, kaca mobil bagian belakang kemudi terbuka memperlihatkan Radit yang duduk di sana lantas membuka pintu mobil, pindah pada kursi depan, membuat kami setuju.

Tidak ada percakapan, suasana di dalam mobil benar-benar hening. Setelah tiba pada pertigaan depan kompleks perumahan yang kutempati, aku memutuskan turun lalu mengucapkan terima kasih.

Ternyata tidak sampai disini hatiku dilukai Mas Kamal. Kembali dia membawa luka baru yang lebih menyakitkan. Ketika sampai di rumah aku dibuat mematung dengan pemandangan di depanku, seorang wanita yang duduk di kursi roda dengan pria yang masih setia mencium keningnya tanpa peduli kehadiranku.

Di dalam rumah yang dijanjikan Mama Mas Kamal untukku dan Mas Kamal disana terdapat maduku. Suara pintu berderit yang sengaja kututup membuat mereka menoleh. Dengan wajah bersalahnya Mbak Ayu mendorong tubuh Mas Kamal, mendekatiku dengan mata berkaca-kaca.

"Maaf kan, Mbak. Mbak menjadi penghalang kebahagiaan kalian." Dengan tangan sedikit gemetar, Mbak Ayu mendorong pelan kursi rodanya mendekatiku yang masih mematung di ambang pintu ruang tamu.

"Mbak, nggak salah. Kita hanya hamba yang tidak memiliki kuasa apa-apa akan ketetapan Allah yang telah berlaku." Aku menunduk, menyejajarkan tubuhku dengan kursi rodanya.

"Tapi mbak tidak, ...." Ucapan Mbak Ayu terhenti ketika tiba-tiba pria yang berdiri tak jauh dari kami bersuara lantang.

"Untuk apa kamu minta maaf, Ayu. Dialah penyebab bayi kita mati." Ucapan itu lebih tajam dari belati. Matanya menyiratkan amarah padaku.

"Mas, aku bukan...." Kembali Mas Kamal memutus ucapan, dan kali ini ucapanku yang dipotong lalu diganti dengan tuduhan.

"Bukan apa? Kamu jelas tidak ingin kami bahagia. Kamu telah memanfaatkan Ayu. Membuatnya banyak pikiran hingga anak kami yang menjadi korban."

Mbak Ayu tampak kasihan padaku, mendekati Mas Kamal lalu membelaku. "Semua yang Mas Kamal tuduh itu salah. Ira tidak melakukan itu padaku, Mas."

Tak ada tanggapan Mas Kamal atas pembelaan Mbak Ayu untukku. Malah terlihat jelas rahangnya mengeras melihat Mbak Ayu membelaku.

Hatiku bergemuruh keras, melihat sosok Mas Kamal berjalan mendekat. Dengan mata tajam, berselimut amarah. Sepasang matanya menatap wajahku, wajahnya memangkas sedikit jarak ketika sudah berada di depanku. Membisikkan sesuatu yang membuatku benar-benar hancur.

"Kamu harus merawat Ayu saat dia ada di sini," ujarnya lirih namun membuat tubuhku lemas seketika.

Dia tega menekanku dengan membuat Mbak Ayu tinggal bersama kami, memerintahkanku merawat Mbak Ayu. Sebegitu tak berarti diriku dihadapan Mas Kamal hingga dia tega membuatku sesak setiap saat ketika melihat perhatiannya ada Mbak Ayu.

Bahkan dia berlalu begitu saja, mendorong kursi roda Mbak Ayu masuk dalam kamar yang tepat berada di samping kamarku. Aku hanya bisa mengusap dada, menyeka air mata yang siap mengucur, berharap agar siapapun yang melihatku tidak merasa iba.

 Aku hanya bisa mengusap dada, menyeka air mata yang siap mengucur, berharap agar siapapun yang melihatku tidak merasa iba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍂🍂🍂

Semarang 19, April 2020

Dua Akad [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang