Follow sebelum baca
Sebuah keadaan membuatku terjerat ikatan pernikahan yang tak kuinginkan. Ketika perlahan hati mulai ikhlas dengan takdir, dia tega menyisihkanku. Membangun kebahagiaan sendiri dengan wanitanya tanpa peduli lukaku.
Haruskah aku...
بسم الله الرحمن الرحيم اللهم صل على سيدنا محمد JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
****
Selamat menunaikan ibadah puasa, jangan lupa dibaca Alquranya, tarawih, dan lakukan banyak hal baik.
Cukup tantangan 60 vote dan 20 komentar untuk lanjut 😁
Ndak janji cepetdan sering update bulan ini ya
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
_______________________
Terhitung sudah tiga hari aku menjaga dan merawat Mbak Ayu. Memang benar, terkadang dzon atau prasangka kita pada seseorang itu sering keliru hanya karena perasaan tak terima dengan keadaan. Maka benar kita dilarang berprasangka karena sebagian dari prasangka adalah dosa.
Awalnya aku mengira Mbak Ayu sama seperti Mas Kamal, tapi ternyata tidak. Mbak Ayu sangat baik, bahkan beberapa hari ini dia berusaha mendekatkanku pada Mas Kamal meski berakhir sia-sia.
Mbak Ayu sekarang tidak lagi mengenakan kursi roda, karena kondisinya benar-benar sudah pulih. Hal yang membuatku senang adalah ketika senyumnya kembali mengembang sempurna. Meridhoi takdir Allah yang telah berlaku.
"Ra, Mas Kamal ambilkan sup ayamnya." Pinta Mbak Ayu. Aku tahu itu caranya mendekatkan Mas Kamal padaku.
Aku terdiam sesaat sebelum melakukan permintaan Mbak Ayu. Melihat ekspresi tak suka Mas Kamal akan perkataan Mbak Ayu membuat nyaliku menciut. Tapi, dengan isyarat Mbak Ayu tetap memaksaku melakukannya. Ketika tanganku hendak menyendokkan sup di atas mangkuk Mas Kamal, dia langsung mengambil alih sendok sup yang kupegang. Aku yang awalnya menunduk makin tertunduk kian dalam. Sarapan kami yang pertama dalam satu meja dan menjadi bagian dari rentetan sikap tidak suka Mas Kamal padaku secara terang-terangan.
Segera kuhabiskan makanan di atas piring. Ingin secepatnya pergi dari situasi serba tak nyaman, karena lagi-lagi Mas Kamal memperlihatkan perhatiannya pada Mbak Ayu di depan mataku. Membuatku kian merasa tak ada artinya bagi Mas Kamal.
Hari ini Mbak Ayu pamit, dia kembali tinggal di rumahnya beserta Mas Kamal tentunya. Awalnya Mbak Ayu meminta Mas Kamal untuk tetap tinggal bersamaku, tapi dengan tegas dia menolak, dengan alasan menjaga Mbak Ayu karena takut sesuatu terjadi padanya.
Sarapan sudah usai, aku bahkan sudah siap untuk menuju kampus. Melakukan bimbingan dengan Pak Mustafa yang sempat tertunda beberapa hari lalu.
Mbak Ayu menawarkan mengantarkanku ke kampus bersama Mas Kamal menggunakan mobil, namun kutolak secara halus. Jujur saja aku tahu maksud baiknya, berusaha kembali mendekatkanku dengan Mas Kamal. Kalau Mas Kamal memperbolehkan, tentu aku dengan senang hati mau. Tapi sekali lagi aku belum siap diabaikan, cukup dengan tatapan tak suka aku sudah tahu jika Mas Kamal tidak menyetujui hal itu.
"Aku berangkat dulu ya, Mbak." Kupasang wajah dengan senyuman. Berjalan keluar rumah. Seperti biasa, tanpa ada Mas Kamal yang bisa kupamiti.
Mataku terbelalak, suara seseorang tiba-tiba menginstruksi kakiku untuk berhenti melangkah. "Terlihat semangat sekali, ingin bertemu dosen istimewa itu sepertinya."
Terlihat pria dengan penampilan rapi yang berdiri di samping mobil hitam itu mengusikku. Aku berusaha tetap tenang meski hati kembali dicubit oleh ucapannya. "Maksud Mas Kamal apa? Aku tidak mengerti."
Dia berjalan mendekat, menatap tajam dengan sorot tak suka. "Hebat! Saat kami tertimpa musibah kehilangan janin, kamu dengan enaknya malah dekat dengan pria lain."
Ya Allah, lapangan hatiku. Berilah aku kesabaran. "Aku dan Pak Hafidz tidak memiliki hubungan apa-apa, Mas. Kalau itu yang Mas maksud." Jelasku padanya.
"Jangan berbohong! Tidak mungkin dosen biasa memiliki perhatian lebih padamu jika kalian tidak ada hubungan." Mas Kamal berdecak, menyungging senyum sinis.
"Ya Allah, Mas. Hubungan kami hanya sebatas dosen dan mahasiswa. Tidak lebih." Balasku, menghembuskan napas, menengadahkan wajah menahan embun mata. Apa seburuk itu penilaiannya terhadapku?
Mas Kamal mengedikkan bahu. "Terserah, kalaupun kalian memiliki hubungan itu malah bagus. Bisa dengan mudah aku melayangkan kata talak' karena kamu sudah memiliki yang lain, bukan." Embun sudah kian menjadi menggerayangi dua mataku. Tetes-tetes berjatuhan hingga makin lama berubah deras. Hatiku dirundung hujan yang bahkan sudah menjelma menjadi badai.
"Apa sedikit saja tidak ada kesempatan untukku hadir di ruang terkecil hatimu, Mas?"
Tak ada balasan, dia pergi begitu saja bersama hatiku yang masih mengharap balasan. Mengabaikan pertanyaan yang jawabannya sangat penting bagiku.
**** "Ra, ada apa? Cerita padaku."
Anin terkejut ketika sebuah pelukan tiba-tiba kulayangkan padanya. Kembali aku terlihat lemah di hadapan manusia. Ampuni aku ya Allah.
"Mbak Ayu memintaku tetap berjuang, tapi hatiku semakin merasa tak keruan ketika berada di antara mereka. Aku tidak bisa berbohong pada hatiku jika aku benar-benar terluka." Aku ku pada Anin.
Dulu ada Mas Faruq yang selalu menjadi kakak sekaligus orang tua bagiku saat tidak ada lagi orang tua. Tapi sekarang tidak bisa, tidak mungkin aku mengatakan semua yang telah terjadi dengan rumah tanggaku pada Mas Faruq.
"Apa aku yang paling pantas disalahkan dalam hubungan ini? Aku merasa menjadi penghalang antara Mbak Ayu dan Mas Kamal. Tapi disisi lain aku masih ingin berjuang untuk mendapatkan hati Mas Kamal, mempertahankan rumah tanggaku." Ingin sekali aku menjerit, menumpahkan segala rasa yang menghimpit dada hingga sesak kembali menyergap ketika hatiku menolak melakukan itu.
"Allah Maha tahu, Ra. Allah tahu kamu tidak bersalah. Lapangkan hatimu lebih lagi, Ra. Aku yakin kamu wanita yang hebat, tekatmu sudah kuat untuk mempertahankan rumah tanggamu."
"Meski akhirnya harus menerima kenyataan hati Mas Kamal memang tidak bisa menerimaku." Anin mengangguk mantab.
"Takdir Allah akan menjawab semua ikhtiar yang telah kamu perjuangkan. Allah tahu hasil terbaik yang patut diberikan pada hamba yang kuat sepertimu, Ra." Sambungnya masih dengan posisi mendekap erat tubuhku.
Allah, yang Maha dari segala Maha. Bukan hamba tidak menerima ujian ini, tapi hamba ingin Engkau beri kekuatan hamba melaluinya. Melalui sahabat hamba yang terus memberi dukungan.
Tanpa diketahui, Sepasang mata seorang pria menatap mereka dari jauh dengan tangan terkepal sempurna. Mengembuskan napas berkali-kali untuk menetralkan hati yang telah tersulut amarah.
"Bukan seperti ini caranya menempuh jalan menuju bahagia. Allah tahu niat baikmu, Ra. Kenapa akhirnya harus mengorbankan hatimu." Ucap lirih pria itu.
🍂🍂🍂
Hayo Siapa pria itu? Pemeran baru atau..... Tebak sendiri mawon lah😄