Lembayung senja mulai menggantung di langit. Pria dengan kemeja biru mematikan mesin motornya ketika sampai pada pelataran rumah minimalis berlantai dua dengan cat biru.
Berjalan menuju teras lantas mengetuk pintu kayu yang sedikit terbuka. Ulukan salamnya samar berbalas dibarengi suara langkah kian mendekat. Wanita dengan hijab dan tunik warna pastel membeku melihat sosok pria yang berdiri di hadapannya.
"Assalamualaikum, Dek." Mata wanita itu memanas, meraih tangan pria di depannya dengan isak lalu mencium punggung tangannya sebagai bentuk takdzim.
"Wa'alaikumussalam, Mas Faruq. Adek rindu." Mendengar balasan sang adik, sontak pria itu langsung menarik tubuh mungil di depannya dalam pelukan. Mengusap punggung yang bergetar karena tangisan.
"Kok jadi cengeng sekarang, ndak malu sama status?" Wanita itu menggeleng, mendekap erat tubuh pria dalam kungkungan tangannya. Tidak ingin kembali di tinggalkan olehnya.
Melihat reaksi sang adik mata pria itu ikut memanas, mengecup puncak kepalanya. Membiarkan pelukan hangat itu dirasakan lebih lama oleh Ira.
Hatinya seperti tersayat, sadar bagaimana luka Ira yang selama ini dipendam. Dia tidak bisa berbuat banyak karena jarak. Tapi, kali ini dia akan melakukan tanggung jawabnya sebagai kakak, menuntaskan perkara yang tidak bisa diabaikan terus-menerus. Ada hati wanita dalam dekapannya yang terluka jika masih diperlakukan buruk oleh pria dengan label suami.
"Dimana Kamal?" Ira tersentak, rasa rindu pada Mas Faruq seketika menguap berganti cemas. Mengurai perlahan kehangatan dekapan Mas Faruq.
"Dek, dimana Kamal? Kalian baik-baik saja, kan." Ira mengangguk pasti, berusaha menutup kebenaran. Faruq tidak boleh tahu, hanya dia yang boleh menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Mas Kamal sedang keluar," balasnya lirih. Ira mengait tangan Mas Faruq, menggiringnya masuk ke dalam rumah.
"Tadi Ira buat puding coklat, Ira ambilkan sebentar di dapur, ya." Ucapnya yang sebenarnya untuk mengalihkan.
Faruq memandang punggung Ira, mendesah berat. Sangat pandai Ira menyembunyikan keadaan sebenarnya. "Mas sudah tahu semuanya, Dek. Jika Kamal tidak bisa membahagiakanmu, biarkan Mas mengambilmu kembali. Memilihkan pria yang tepat untukmu."
Flashback on
"Assalamualaikum, Bro. Kaifa haluk?" Tanya Faruq dengan nada suara yang dibuat sesantai mungkin.
"Alhamdulillah, Khair. Ada apa gerangan ini, Bro. Tak biasanya sampean berkali-kali menghubungiku." Tanpa basa-basi, sepertinya Hafidz ingin segera mengetahui sebab keanehan yang Faruq lakukan.
"Apa kamu tahu ada masalah yang menimpa Ira?"
Hafid bungkam cukup lama hingga terdengar Faruq menghirup udara dalam-dalam, mengatur napas sebaik mungkin sebelum menanyakan kebenaranan pada Hafidz. "Kenapa tidak memberitahu yang sebenarnya, Bro?"
"Perasaanku ternyata tidak keliru," sambungnya lagi.
Faruq mendesah berat. Sosok yang biasanya tenang dan bijaksana tiba-tiba kehilangan sikap bijaknya, seakan terhempas begitu saja oleh kecewa.
Kembali cukup lama suasana hening mengisi hingga Hafidz akhirnya membuka suara. "Maaf, bukan bermaksud menyembunyikan. Karena aku tidak berhak memberitahu perihal itu, hanya Ira yang paling berhak memberitahu pada sampean." Sahabatnya ini memang benar sudah tahu kemana arah pembicaraan ini akhirnya.
"Aku tidak menyangka melepas adik semata wayangnku pada pria itu akan membuatnya harus menelan pahit karena pilihan itu."
"Dari mana sampean tahu?" tanya Hafidz.
"Aku datang ke rumah Ira. Sampean tahu, hal yang tidak pernah terpikir olehku menjadi pemandangan pertama kali saat aku sampai sana." Lagi-lagi helaan napas dari Faruq terdengar.
"Kamal menolak adikku, tidak menganggap kehadirannya. Membuat air mata Ira yang berharga terbuang tanpa makna," lanjutnya.
Sisi hati Hafidz merasa bersalah, tapi disisi lain dia memang bukan orang yang tepat mengabarkan kebenaran itu. "Bukan bermaksud menyembunyikan kebenaran itu darimu, Ruq. Sekali lagi aku minta maaf."
"Karena sampean memikirkan sesuatu, Fidz?"
Andai Faruq tahu, saat mendengar pertanyaan barusan, Hafidz membeku.
"Entahlah. Maaf, aku tidak bisa berbuat banyak mengenai masalah itu, Ruq." Semenjak pulang ke Jombang, Hafidz tidak bisa fokus dengan masalah Ira karena dia sendiri baru saja dirundung masalah.
"Fidz, tapi bisakah sampean kembali menolongku? Hanya ketika aku di Mesir."
"Menjaga Ira untukku. Aku hanya di sini selama lima hari. Menyelesaikan masalah mereka," ucap Faruq yang diangguki oleh Hafizd meski tidak terlihat.
Inilah yang ditakutkan Hafidz jika Faruq ikut turun tangan. Semoga tidak berujung kabar buruk bagi Ira.
"Baiklah. Ingat baik-baik ucapanku, Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Selesaikan dengan kepala dingin. Jangan gunakan emosi, Ruq."
"Akan kuingat ucapanmu itu, Bro. Assalamualaikum." Faruq memutus sambungan telepon dengan sahabatnya.
Flashback off
Faruq sama sekali tidak menyinggung mengenai rumah tangga Ira. Dia murni datang untuk adiknya, melepas rindu meski sebenarnya banyak hal yang ingin dia pastikan dengan menanyakan langsung pada Ira. Memilih bercanda, mengenang setiap peristiwa yang mereka lewati bersama. Melakukan banyak hal, melupakan masalah rumah tangga Ira.
Tepat pukul delapan malam Faruq memutuskan pulang. "Dek, Mas pulang ya. Jaga diri baik-baik, selalu kabari Mas." Faruq memeluk tubuh adiknya, mengecup puncak kepala Ira tanpa penghalang hijab. lantas mengacak rambutnya lembut.
"Assalamualaikum."
Setelah pintu kayu rumah Ira benar-benar tertutup, Faruq merogoh gawai dalam saku celananya. Mendial nomor seseorang, menunggu cukup lama hingga tersambung.
"Assalamualaikum, Mas temui kamu di kantor sekarang juga. Ada hal yang ingin Mas bicarakan."
🍂🍂🍂🍂
Semarang
Malam ١٧ رمضان ١٤٤١ ه
9 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Akad [On Going]
SpiritualitéFollow sebelum baca Sebuah keadaan membuatku terjerat ikatan pernikahan yang tak kuinginkan. Ketika perlahan hati mulai ikhlas dengan takdir, dia tega menyisihkanku. Membangun kebahagiaan sendiri dengan wanitanya tanpa peduli lukaku. Haruskah aku...