Berakhir

1.8K 229 16
                                    

“Huft! Huft! Huft!”

Suara Andin mengontrol nafasnya.

Andin masih tertegun dengan tangan yang tidak berpindah dari dadanya.

“Lemah banget sih Ndin. Gitu aja udah mleyot.”

Andin menengokkan kepala menatap pintu yang barusan dia tutup. Lalu... dia menggelengkan kepalanya cepat dan berlari masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Dengan gerakan kasar, Andin mendudukkan dirinya di kasur. Senyuman yang baru pertama kali dia lihat terbit di wajah Al benar-benar membuatnya tak karuan.

“Baru di senyumin gitu doang rasanya udah kek meninggal. Apa lagi kalau di cium.” Ucapnya tanpa sadar dengan mata yang tak berkedip.

Andin memukuli pelan kepalanya dengan kedua tangan. “ No, no, no, no. Jangan  mikir aneh-aneh Ndin.” Sadarnya.

“Udah-udah ayok siap-siap. Entar telat semenit bisa kena damprat.”

Dengan gerak cepat, Andin menyambar handuk yang masih terlipat rapi. Lalu masuk kamar mandi.

Dan tepat jam 7 pagi. Andin sudah rapi dengan pakaian formalnya. Dia menatap cermin, kembali menelisik penampilannya. Dirinya tidak mau memberi kesan buruk pada pertemuan yang sangat penting untuk perusahaannya ini. Di samping juga, dia tidak mau membuat bosnya itu malu karenanya.

Saat di rasa penampilannya sudah oke. Dia mengambil laptop dan tasnya lalu beranjak keluar.

“Kring! Kring! Kring!”

Baru saja tangannya akan memutar gagang pintu, tapi urung karena telefon kamarnya berbunyi.

“Halo.”

“Kamu gak bawa hp apa gimana sih Ndin. Dari tadi di telefon gak aktif.” Cerocos seseorang di seberang sana.

Andin menjauhkan telefon dari telinganya, ketika suara nyaring itu terasa pengang masuk ke dalam gendang telinganya.

“Andin. Saya lagi ngomong ya. Dengar apa enggak!”

Saking kencangnya, bahkan Andin dapat mendengar walau gagang telefon itu tidak dia tempelkan ke telinganya.

“Ini orang suka banget sih marah-marah.” Kesalnya.

“Saya tunggu di lobi. Lima menit gak sampai, saya tinggal.”

“Iya pak iya. Saya turun ini.” Jawabnya cepat.

“Cepat!”

“Iy...”

“Tut! Tut! Tut!” sambungan itu terputus.

Dengan gerakan sedikit kasar, Andin menutup telefon kemudian keluar dari kamar hotel. Sampai depan pintu, Andin berhenti sejenak. Dia menatap kesal pintu kamar yang berada tepat di depannya.

“Sabar Ndin. Sabar.” Ucapnya lalu berjalan menuju lift.

Di lobi, Al duduk di sofa. Berkali-kali dia menatap jam tangannya. Sudah sejak lima menit yang lalu dia berada di sini. Tapi, Andin tak kunjung turun.

“Ke mana sih itu orang.” Ucapnya gelisah.

“Pak.” Panggil Andin yang baru saja sampai.

Al menatap sepatu pantofel hitam yang berhenti di hadapannya. Dan suara yang sangat dia hafal.

“Kamu tidur lagi apa gimana sih Ndin? Di tungguin dari tadi juga!” Omelnya tanpa melihat lawan bicaranya.

“Gak usah ngomel-gomel gitu juga kali.” Gumam Andin lirih.

Sincerity Of Love (END)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang