“Ndin!” teriak Al ketika hampir saja Andin hilang di balik pintu lift.
Andin memencet tombol lift tersebut. Dan lift itu kembali terbuka. “Bapak ngapain ngejar saya?” tanyanya.
“Maksud kata-kata kamu tadi apa?” tanya Al penasaran.
“Kata-kata yang mana?” tanya Andin pura-pura lupa.
“Ck! Gak usah pura-pura lupa!”
“Ya yang mana? Kan saya tadi nyerocos panjang lebar pak.” Ucap Andin masih kekeh dengan kejahilannya.
Al mengacak rambutnya kasar, lalu kedua tangannya mengepal kuat. “Udah lupakan!” ucap Al kesal lalu berbalik dan kembali ke ruang kerjanya.
“BRAK!” pintu itu di tutup dengan kasar.
Andin tertawa puas melihat kekesalan bosnya itu akibat ulahnya. “Ini nih baru bos gue. Aldemaung Al fahri. Bukan kayak tadi yang berubah jadi Aldegalau Al fahri.”
“Mana menyek-menyek gak jelas lagi.” Gumamnya sambil menggelengkan kepala.
Masih dengan sisa ketawanya, Andin kembali masuk ke lift dan turun kembali ke ruang kerjanya.
Di ruang kerjanya, Al tampak gelisah. Dengan dia yang mondar-mandir seperti setrikaan. Sesekali dia memijat kepalanya yang mendadak pening. Pening karena perkataan Andin tadi.
“coba pak Al tanyakan pada hati bapak sendiri.”
Kalimat itu benar-benar memenuhi otaknya. Pikirannya seakan di pacu keras, dengan kalimat sederhana tapi sama sekali dia tidak tahu jawabannya.
“Dasar ya perempuan. Emang saya harus gitu memahami kamus mereka!” kesal Al ketika dia benar-benar menyerah.
Sifat Al yang realistis. Yang selalu meyakini apa pun dengan fakta dan data, itulah yang membuatnya semakin tidak mengerti dengan bahasa perasaan dan hati.
Yang dia tahu, menjalin hubungan sepesial itu ketika dua orang itu menyatakan sama-sama suka, jalan bersama, saling perhatian, dan ketika sifat mereka memiliki kesamaan, besar kemungkinan mereka akan sejalan.
Selama ini, Al merasakan hal itu bersama Michelle. Nyaman ketika mereka berdua berargumen bersama hingga membuat mereka berdebat alot.“Lupakan Al. Buang-buang waktu lo aja!” Ucapnya tak menggubris lagi.
Dengan gerakan kasar, Al mendudukkan diri di kursi kebesarannya. Dan menyenderkan punggung kemudian memejamkan matanya dengan menumpukan kedua lengan di atas wajahnya.
Deringan ponsel yang dia simpan di meja membuat perhatiannya teralih. Al mengambil HP-nya dan nama mamanya tertera di sana. Buru-buru Al menggeser tanda hijau.
“Iya ma.” Sapanya.
“ Al, are you ok?” tanya mamanya tiba-tiba.
Al menghembuskan nafasnya pelan. “Aku baik-baik saja ma. Mama gak usah khawatiri Al.”
Didengar dari nada mamanya Al tahu, pasti mamanya sudah mengetahui tentang batalnya pertunangannya hari ini. Jika di tanya dia baik-baik saja atau tidak? Al tidak bisa mengelak, kalau dirinya saat ini benar-benar tidak baik-baik saja.
Begitulah Aldebaran. Laki-laki yang tumbuh dengan tempaan yang kuat. Yang dituntut hidup mandiri dan menjadi tumpuan untuk mama dan Roy, semenjak papanya meninggal 12 tahun yang lalu.
Itu sebabnya, dia selalu menyimpan masalahnya sendiri. Dia tidak ingin, membebani orang lain dengan berbagi masalahnya. Sekalipun itu mamanya. Apalagi di saat kondisi mamanya tidak sebaik dulu. Dia hanya tidak mau melihat mamanya banyak pikiran. Dia takut, jika nanti mamanya stres dan justru memicu depresinya kambuh. Al tidak mau itu terjadi. Cukup rasa sakitnya dia yang simpan, tidak untuk di bagikan pada mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity Of Love (END)✔
RomancePepatah Jawa mengatakan "Witing tresno jalaran soko kulino." (Cinta tumbuh karena terbiasa) Kisah yang menceritakan perjalanan cinta dua manusia. Rasa itu ada tanpa mereka sadari sebelumnya. Ketika takdir mempertemukan mereka dengan pertemuan yang b...