💮18. Pertanyaan di malam hari

40 31 1
                                    

Lewat sehari dari kemarin walau jujur aja rasanya waktu nggak cepat berlalu kalau soal Mashiho. Sekarang udah malam, malah ngechat aku kalau dia mau ketemu. Jam tujuh malam di depan rumah orang, mau ngapain dia?

"Hai!" sapaku sambil ngebuka pagar. Ada Mashiho yang berdiri sambil masih pakai helmnya. Dia ketawa dari balik helmnya, dilepas dan sekarang berhadapan denganku.

"Mau ngobrol disini? Atau di teras?" tanyaku.

"Dimana aja sih asal ngobrol," katanya. Aku ngangguk dan kemudian nyuruh Mashiho parkirin motornya di halaman rumahku ku. Udah itu aku persilahkan dia duduk di kursi rotan yang ada di teras, sedangkan aku masuk dulu buat ngambil minum.

"Tadi ada suara motor, ada tamu?" tanya mama yang lagi beresin meja makan. Aku yang lagi ngambil minuman kaleng di kulkas ngangguk, membuat mama ngelirik ke depan rumah.

"Siapa? Temanmu?" tanyanya lagi.

"Mashiho," jawabku singkat yang membuat mama sumringah. Baru aja mau ke depan, ku tarik tangannya.

"Eh jangan, Mashihonya mau ketemu aku bukannya ketemu mama," cegah ku.

"Ya nggak apa-apa, kamu kan anak mama," jawab mama nggak mau kalah.

"Mashiho mau bahas sosiologi, bukannya ngomongin model mobil terbaru," kataku dan langsung ngabrit. Padahal aku asal, tapi nggak apa-apa deh yang penting mama nggak jadi nyamperin Mashiho.
Tahu sendiri kan mama kalau udah ketemu Mashiho?

Sebenarnya aku mulai terbiasa. Terbiasa kalau misalkan Mashiho sering ke rumahku. Atau bahkan terbiasa lihat nama Mashiho ada di antara chat orang yang nanyain tugas ke aku. Kalau kalian mau nanya, boleh kok. Salah satunya soal—aku, apa mau begini terus?
Nggak usah aku jelasin soal Mashiho lagi sama kalian, takut bosan. Dan semua adalah haknya—salah satunya adalah memilih berteman dekat sama aku. Aku enjoy, dia juga. Aku nggak harus  protes kan?

Seenggaknya, Mashiho emang baik. Dia cowok baik yang belakangan ini banyak ngebantu aku. Banyak kasih kejutan singkat yang efeknya bikin senyum seharian. Atau cerita konyol yang buat aku tertawa nggak berhenti di atas motor.
Tuh kan malah curhat, kasihan orangnya nunggu di depan.

"Nih, minum dulu," aku nyodorin minuman kaleng ku ke Mashiho yang lagi natap pekarangan rumahku dengan mata sayunya. Nggak aku sodorin sih—aku tempelin ke pipinya, biar segar. Mashiho noleh sambil nyengir, lalu minumannya malah dia simpan di atas meja.

"Tumben jam segini bukan hari libur mampir," kataku setelah duduk di kursi yang ada di sebelahnya. Mashiho noleh ke aku, ketawa pelan sambil sedikit nunduk.

"Maunya sih tiap hari, tapi nanti ditanyain mulu," jawabnya.

"Kok gitu?"

"Nanti ditanyain kenapa nggak sekalian aja tinggal disini?" lalu aku ketawa.

"Ji," panggil Mashiho pelan. Aku yang nggak tahu harus ngapain malah mainin kuku, berdehem sebagai jawaban.

"Eunji," panggil Mashiho lagi.

"Apa Mashi," jawabku biar jelas. Mashiho ketawa, mainin jarinya. Ini dia mau ngapain sih?

"Kenapa sih? Mau ngobrol kok pakai intro," kataku.

"Salah tingkah..." gumamnya.

"Hah?"

"Nggak jadi deng, dibajak tadi," katanya cepat. Aku geleng-geleng, kenapa sih dia.

Lima menit hening. Kalau dia nyebelin bakal aku usir karena buang-buang waktu banget. Tapi nggak jadi, takutnya marah he-he-he.

"Kalau aku nanya sesuatu, boleh nggak?" katanya tiba-tiba. Aku ngangkat alisku, noleh  ke arahnya.

Good Bye [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang