💮23. Senja kita

30 30 2
                                    

Ternyata Mashiho yang cari aku. Dan Yoshi, Haruto juga Jeongwoo yang nungguin di dekat tangga kelas ku. Aku mengangkat alis begitu ketemu mereka.

"Kenapa?" tanyaku. Mashiho cuma senyum, kemudian sedikit memberi kode ke Yoshi dan mereka bertiga pergi duluan.

"Naon sih?" tanyaku lagi.

"Ada yang mau aku tunjukkin ke kamu," katanya. Aku belum sempat ngejawab, tapi Mashiho narik aku ke sebuah tempat.

Aku dibawa ke lorong sekolah yang paling sepi dan jarang dilewati sama penghuni sekolah. Baru aja aku mau nanya kenapa bawa aku kesini, Yoshi, Haruto dan Jeongwoo datang bawa seorang cewek dan dua temannya.

Itu Sumin, sama temannya yang nyerang aku kemarin!

Nafasku tertahan. Yang bisa aku lakuin cuma pegangan ke tangan Mashiho yang sedikit senyum ke aku walau aku tahu dari sudut matanya dia beneran marah ke Sumin. Sumin nangis, temannya juga. Kemudian mereka berlutut di depan aku dan Mashiho.

"Ho, maafin gue. Gue janji nggak bakal ganggu lo atau pacar lo, tapi jangan lakuin itu," katanya. Aku melirik Mashiho yang cuma memasang muka datar.

"Kamu mau ngapain emangnya?" tanyaku. Mashiho ngebalikin badanku, kemudian berbisik.

"Rekaman cctv dia nyerang kamu kemarin ada di aku, aku mau sebarin biar sekolah tahu," katanya. Aku melotot, menggeleng.

"Jangan Mashi, jangan sejahat itu."

"Dia udah jahat sama kamu!"

"Iya tahu tapi nggak gitu caranya!" aku memohon. Mengangguk ke Mashiho. Mashiho awalnya nggak mau, tapi akhirnya dia menghela nafas, melirik Yoshi dan yang lain kemudian Sumin dan teman-temannya.

"Minta maaf," itu kata Mashiho akhirnya. Sumin nanggah, masih menangis.

"Ho, gue min—"

"Bukan sama gue!" Mashiho ngelirik aku. Kemudian Sumin dan dua temannya langsung menghadap aku, megang kaki ku.

"Eunji gue minta maaf sama lo. Gue nggak mau di keluarin cuma karena ini. Gue tahu gue salah dan gue nyesel Ji, gue janji nggak bakal macam-macam lagi sama lo," katanya, nangis kencang banget. Aku marah kemarin, dan menangis kayak mereka. Tapi hari ini aku kasihan, akhirnya aku jongkok sambil menarik nafas dalam-dalam.

"Gue maafin. Gue tahu kenapa lo lakuin itu, tapi itu salah, Min. Hidup lebih baik ya, gue maafin lo kok," kataku, kemudian tersenyum. Dan Sumin langsung meluk aku, sambil nangis dan masih minta maaf.

Aku tahu dia nggak sejahat itu. Dia cuma mau dapatin apa yang dia mau dengan segala cara. Mungkin, manusia kan begitu tabiatnya. Aku mengelus punggung Sumin, bilang kalau semuanya nggak apa-apa. Karena aku juga nggak apa-apa, semua karena Mashiho.

✶⊶⊷⊶⊷❍ - ❍⊶⊷⊶⊷✶

Setelah itu semua selesai. Semua berjalan baik sampai hari esok walau Mashiho masih nggak habis fikir dengan aku. Begitu juga dengan Yoshi, Jeongwoo dan bahkan Haruto yang malah marahin aku. Katanya aku terlalu baik, nanti gampang di celakain lagi.

Ya emang. Kalau aku mau aku bisa aduin ke guru atau bahkan polisi. Atau aku minta tolong ke om ku yang kerjanya jadi wartawan buat ngebahas ini sampai berita. Atau nggak aku minta tolong ke tante ku yang kerjanya jadi pengacara buat bahas ini di pengadilan. Tapi nggak, aku nggak mau jadi jahat walau aku korbannya.

Memaafkan lebih baik bukan?

Sore ini, Mashiho ngajak aku ke sebuah tempat. Nggak jauh sih tapi kita mutar-mutar dulu sampai jam lima sore kita baru sampai di tempat itu. Cuma taman biasa, tapi jauh dari ramainya jalanan.

"Sini deh," Mashiho ngulurin tangannya, nyuruh aku ikutin dia. Aku dengan otomatis menyambut uluran tangannya, membuat kita berjalan berdua sambil gandengan alias APAAN SIH INI TUH.

Taman ini sepi, sangat sepi. Malah mirip hamparan padang rumput yang agak tinggi. Aku nggak tahu kenapa Mashiho tahu serta bawa aku ke tempat ini, tapi di temenin langit yang lagi bagus-bagusnya—wow, aku akuin ini keren banget!

"Wih kece!" kataku antusias. Mashiho ketawa, nyuruh aku duduk di atas rumput—dibawah pohon yang paling rimbun disini dan dari sini kita bisa ngelihat dengan jelas dan puas keadaan langit, di temani angin sore yang sepoi-sepoi serta burung-burung yang berkicauan terbang menuju sarang mereka. Berapa kali ya aku udah cengo karena takjub melihat pemandangan di depan ku ini yang keren banget ya ampun. Yang membuat Mashiho tertawa ketika melirik aku.

"Kamu kayak orang desa baru di ajak ke kota aja tahu nggak,"  becandanya. Aku nggak noleh, masih fokus ngelihatin sekitar.

"Keren banget ini mah! kok baru ajak aku kesini sih?" tanyaku. Mashiho terkekeh, kemudian berbaring di sebelahku. Aku menghirup nafas panjang, segar bangettt!

"Kamu hebat ya," kata Mashiho. Kali ini aku memilih untuk menoleh, ngelihatin dia yang lagi berbaring.

"Hebat apanya?"

"Kemarin sore kamu nangis pas aku datangin. Berdarah lututnya, terus puasa ngomong. Sekarang udah ketawa, senang lihat yang begini," katanya. Aku terkekeh, benar juga.

Tapi serius sih, aku jadi makin rileks disini. Kayaknya alasan aku nangis dan sakit tuh udah hilang, tergantikan. Khususnya dengan adanya Mashiho disini.

"Kamu juga hebat," kataku kemudian.

"Aku hebat apanya?"

"Udah ajak aku ke tempat ini, udah nemanin aku, rela aku tangisin dari sore sampai malam," kataku. Mashiho geleng-geleng, kemudian mengubah posisi jadi duduk.

"Ya udah, kita sama-sama hebat," katanya sambil ngebenerin anak rambut ku yang berantakan ketiup angin. Aku mengangguk, setuju.

Kemudian hening. Aku dan Mashiho sibut dengan pikiran masing-masing. Nggak sibuk juga sih—aku lebih bingung mau bicara apa lagi kalau udah begini. Tenang, damai dan ada Mashiho.

"Jangan kayak gitu lagi ya," kata Mashiho. Aku noleh, mengangkat alis ku.

"Kayak gitu gimana?"

"Jangan luka lagi kayak kemarin. Jangan nangis lagi kayak kemarin juga. Cukup kemarin aja kamu gitu," jawabnya. Aku tersenyum, mengangguk.

"Maaf juga ya," kataku kemudian.

"Maaf kenapa?"

"Maaf udah bikin kamu ngebut kamarin. Maaf juga udah bikin kamu cape gara-gara bolak-balik nganterin aku," jawabku. Nggak ada jawaban—sama seperti aku, Mashiho cuma senyum.

"Aku sayang kamu," itu katanya beberapa menit kemudian. Tiga kata yang membuat aku noleh dan lega disaat bersamaan. Tiga kata yang kaget dan senang aku dengar disaat yang bersamaan.

Aku tersenyum, sangat senang. Aku merasa ada yang beterbangan di perut ku. Dan yang aku bisa lakuin cuma menghamburkan badanku ke pelukan Mashiho. Untuk pertama kalinya dalam hidup aku, tolong catat kalau aku nggak takut apapun mulai sekarang.

Ada Mashiho. Mashiho yang sekarang berperan banyak di hidupku. Mashiho yang mau ikut campur soalku, dan yang jadi apapun yang aku mau sekarang. Kalian boleh protes kalau aku berlebihan, tapi itu Mashiho bagi aku sekarang.

Angin bertiup damai. Pun aku yang masih memeluk Mashiho dan diiringi banyak kecupan di puncak kepala ku darinya. Dari Mashiho, yang mungkin seumur hidup mau aku simpan sebagai memori.

Langit jingga mulai menggelap pertanda hari sudah menjelang malam. Mashiho melepaskan pelukannya, kemudian menatap aku dengan senyuman khasnya.

"Jangan kemana-mana," katanya. Aku mengangguk, membuat dia terkekeh. Dan dengan lancang aku pegang rahangnya, medekatkan kepalanya dengan kepala ku untuk mempertemukan sesuatu.

"Aku sayang kamu," kataku di ujung kecupan. Mashiho masih diam, tapi kemudian dia mendekatkan bibirnya lagi ke bibirku.

Terimakasih ya. Mungkin kamu bosan dengarnya, atau mungkin mau dengar lagi kalau aku nggak mau kamu kemana-mana.








________________

TJIAAHHKKK....
Btw Happy Independence Day Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 76>!!!♥️🤍🇲🇨🇲🇨
Sukses selalu buat Indonesia tercinta

Good Bye [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang