💮21. Ulah Sumin

40 31 2
                                    

Aku jalan menuju kelasku dengan langkah ceria, nggak bisa berhenti senyum dari rumah tadi. Gimana ya mood aku lagi bagus banget karena kemarin aku bisa habisin waktu aku sama Mashiho. Emang ya cuma Mashiho doang kayaknya yang bisa bikin mood aku naik turun.

Emang pada dasarnya pengaruh Mashiho di hidupku untuk sekarang adalah sebesar itu, sampai-sampai jam setengah tujuh secara aku udah ada di sekolah. Tumben banget nih, karena biasanya jam tujuh aku baru aja sampai gerbang tapi kali ini aku terlalu semangat kayaknya.

Lorong dan kelas masih lenggang, pas aku masuk kelas pun cuma ada Sieun yang datangnya nggak lama setelah aku. Sieun cuma naruh tasnya, kemudian bilang ke aku katanya mau ke wc.

"Eh Eunji!" panggil Sieun dari ambang pintu. Aku menoleh, mengangkat alisku. Pergerakan tangan Sieun nyuruh aku mendekatinya, dan aku langsung lihat cewek di balik pintu bersama Sieun tersenyum singkat ke arahku.

"Ini Sumin nanyain lo katanya," kata Sieun. Kemudian dia pamit ke wc, menyisakan aku berdua sama Sumin.

"Halo Eunji," sapanya, ramah banget. Aku nggak tahu harus bersikap apa tapi aku cuma bisa ngebalas dengan senyum tipis. Nggak tahu maksud Sumin apa tapi dia malah ngajak aku duduk di bangku depan kelas. Aku turutin, aku duduk di sebelah dia.

Ini pertama kalinya aku berinteraksi sama Sumin. Dia cantik, rambut panjangnya berwarna coklat dan menambah kesan manis. Wah bahkan aku sebagai cewek aja muji dia, kebangetan cantiknya berarti.

"Lo pacarnya Mashiho kan?" tanyanya. Aku mengangguk, membuat dia terkekeh.

"Gue sering dengar nama lo, katanya pacar Mashiho pacar Mashiho terus makanya gue penasaran," katanya kemudian yang membuat aku mengangguk-ngangguk paham.

Mungkin cuma segitu. Aku nggak ngerti maksud dia apa sok kenal dengan aku walau sebenarnya ya ... nggak apa-apa sih. Tapi mengingat fakta dimana dia juga dekat sama Mashiho—ntah teman atau apapun, aku agak risih. Akhirnya aku cuma bisa membalas dengan senyum pas dia pamit. Dan—oh, dia bilang begini sebelum pergi.

"Nanti sore bisa ketemuan nggak? Di taman belakang sekolah. Gue tunggu ya jam lima," katanya yang lagi-lagi aku angguki.

✶⊶⊷⊶⊷❍ - ❍⊶⊷⊶⊷✶

Ternyata janji Sumin beneran. Dia beneran ada di taman belakang sekolah bahkan kurang dari jam lima. Dia nyapa aku dengan lambaian tangan begitu aku sampai. Dan aku dengan langkah ringan menghampiri dia yang duduk di salah satu beton sisa-sisa material bangunan.

"Ini kita mau ngapain?" tanyaku. Sumin nggak jawab, malah mainin hpnya. Aku tungguin, sampai dia berdiri dan nyodorin hpnya ke arahku.

"Lo tahu nggak sih dia ganteng banget?" tanya Sumin. Aku mengerutkan dahi, agak nggak ngerti. Jelas banget ini photo Mashiho dan yang nggak aku ngerti adalah—maksud dia bicara itu apaan.

"Maksud lo? gue tahu dia ganteng, tapi kenapa emangnya?" tanyaku. Dia ketawa, pandangannya masih ramah tapi agak nyeremin menurut aku.

"Masih tanya kenapa? lo nggak sebaik itu ternyata," jawabnya, sambil membereskan roknya yang sedikit kena debu dari beton yang dia dudukin.
Aku berjalan mundur, mau pergi tadinya karena topik pembicaraan ini nggak penting. Tapi aku nabrak sesuatu.

"Nggak usah nabrak-nabrak!" aku di dorong, dan begitu aku noleh—itu temannya Sumin. Aku menelan ludah, mungkin aku nggak aman sekarang karena temannya Sumin bawa sebuah balok kayu. Sumin ketawa, kemudian seseorang nendang kakiku—membuat aku jatuh tersungkur.

"Perlu gue jelasin mau gue apa?" tanya Sumin. Aku nanggah, meringis karena lututku jelas berdarah. Sumin mendecih, menangkup pipiku dengan tangan kanannya.

"Pacar lo ganteng. Nggak bakal lo kasih ke gue gitu?" tanyanya. Aku beneran marah, dasar seenaknya! aku mau berdiri tapi badanku di tahan, kurang ajar!

"Oh oke kalau nggak boleh. Nggak masalah kok, tapi gue tetap bakal dapatin pacar lo. Gimana?" tanyanya lagi. Aku mengepalkan tanganku, ku jambak rambutnya spontan.

"KURANG AJAR LO—LEPAS NGGAK?!" Sumin teriak, kemudian temannya narik—ngejambak rambutku. Aku meringis, kemudian tatapanku melirik ke sudut dinding sekolah.

Ada cctv. Jelas banget mengarah kesini. Aku ngelirik Sumin yang mukanya beneran kesal, dan memilih untuk nggak akan meladeni dia lagi. Seenggaknya bakal ada bukti kalau dia yang nyerang duluan—dasar bodoh.

"Kalian bawa dia, gue malas emosi sama cewek sok kecantikan ini," suruh Sumin. Teman-temannya langsung ngebawa aku ke sebuah ruangan—ruang olahraga alias gudang. Kemudian mereka dorong aku masuk, lalu pintu ditutup.

"SUMIN SIALAN!" teriakku. Aku terus gedor-gedor pintunya, tapi nggak ada jawaban. Aku melirik kakiku yang berdarah parah. Parah, kepala aku rasanya pusing banget. Aku berusaha ngeluarin hpku dari tas, mengetik sebuah nama yang aku butuhin untuk sekarang.

"Mashiho—"

"Kesini Mashi ... cepetan."

"Sakit..."

Dan aku nangis. Gampang banget, padahal panggilan masih terhubung.

"Kamu dimana? sekolah?"

"Diam disitu, sharelock."

Bisa aku dengar suara Mashiho mengumpat karena aku nangis dan meringis.

"Aku dikunciin di gudang sekolah," kataku, sebelum akhirnya panggilan terputus.

Dunia nggak adil. Banyak orang jahat.

✶⊶⊷⊶⊷❍ - ❍⊶⊷⊶⊷✶

Aku tersenyum padahal kaki aku luar biasa perihnya begitu langkah kaki yang berlari mendekati pintu gudang. Aku bisa dengar Mashiho manggil aku sambil berusaha cari cara buat ngebuka pintu gudang. Aku yang nyender ke pintu cuma bisa tersenyum, saat Mashiho ngorek-ngorek pintu sambil manggil terus namaku.

"Eunji! bentar ya bentar, susah ini dibukanya."

Lalu sedikit mengumpat, aku memutuskan untuk mendekat ke pintu.

"Aku nggak apa-apa..." jawabku. Mashiho masih ngorek-ngorek pintu, kemudian terbuka.

Dan nggak ada kalimat lain dari dia selain meluk aku. Erat, eraat banget.

"Kamu kenapa bisa gini?"  Mashiho memegang bahuku, melirik aku yang sekarang bisa di bilang jauh dari kata nggak apa-apa. Aku meringis, Mashiho natap aku serius.

"Siapa?" tanyanya. Aku memilih diam, kembali memeluk dia.

"Siapa, Ji?!" tanyanya lagi. Aku masih hening, aku usap punggungnya.

"Ayo pulang," ajak dia. Aku melepas pelukan, mengangguk.

Mashiho nggak bicara lagi, dia langsung gendong aku menuju motornya yang ada di warung belakang sekolah. Jam setengah enam sore, sepi banget.

"Bisa nahan?" tanyanya saat aku naik motornya. Aku mengangguk, kemudian dia pakein aku helm.

"Pegangan ya," katanya. Aku diam, tapi tanganku langsung memeluk dia erat. Lukaku perih banget, tapi Mashiho halangin pakai jaketnya.

"Aku nggak suka kamu nggak baik-baik aja, Ji," katanya. Pelan tapi aku bisa dengar apa yang dia bilang, walau nggak ada lagi yang bisa aku lakuin selain menenggelamkan kepalaku di punggungnya.

Maaf ya, Mashiho.









————————

Happy 1K yeorobun~
Makasih ya untuk yang udah baca dan untuk yang udah vote juga komen. Wow ga nyangka kayaknya ini adalah cerita pertama ku yang bisa bertahan sampai sekarang apalagi udah 1K gini😭
Thanks for everything guys💖💖

Good Bye [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang