Jam lima pagi, alarm handphone Lian berdering.
Sebelum bangun dari tidurnya ia menggeliat dan menguap lebar. Keningnya berkerut merasakan tubuhnya yang kurang mengenakkan. Badannya terasa pegal. Dia menyentuh kening dan leher jenjangnya. Panas, gumamnya. Dirinya juga merasa sedikit pusing.
Ah, masa bodoh.
Lian mengulas senyum lembut begitu melihat Kylo, anjing kecil berwarna coklat—yang dia temukan lima hari lalu di pinggir selokan—masih terlelap di sebelah kepalanya. Lian mengecup kepala Kylo pelan dan lembut. Sekarang anjing kecil itu menjadi penyemangat untuknya.
Tiba-tiba ia mencium bau yang tidak sedap. Bau amis. Sontak dia mengernyit menutup hidungnya. Lian kenal bau ini.
Dia segera melihat ke sekelilingnya mencari sumber dari bau tersebut, dan benar saja, di pojokan sebelah tempat sampah ada muntahan Kylo.
Hati Lian mencelos. Lagi-lagi anjing itu muntah-muntah.
Lian segera membersihkannya. Menahan napasnya, ia meraih kain kotor. Sambil menutup hidungnya, Lian terus mengelap menggunakan kain kotor tersebut lalu menuangkan pengharum lantai untuk menghilangkan baunya yang tidak sedap.
Selesai mengelap, dia memasukkan kain kotor tersebut ke dalam kantung kresek. Dia akan mencucinya nanti. Atau membuangnya jika dirinya tidak sanggup dengan baunya yang terlalu tidak enak dan menyengat.
Sekarang dia harus segera mandi sebelum kamar mandinya dipakai orang lain. Diambilnya celana dalam dari lemari kecilnya, handuk serta sekotak peralatan mandi sebelum keluar dari kamar kost.
Beginilah kehidupan Lian setelah ditinggal pergi kedua orangtuanya tiga tahun silam karena kecelakaan maut. Lian yang dulunya hidup mewah—diperlakukan bak seorang putri raja oleh kedua orangtuanya—sekarang harus bertahan hidup sendiri merasakan kejamnya dunia.
Tidak ada lagi putri raja. Tidak ada lagi kemewahan.
Hidupnya telah berubah.
Sekarang hanya ada Lian Sydney, yang miskin dan hidup terlunta-lunta. Mau tidak mau, dia harus mandiri dipaksa oleh keadaan.
Dua tahun pertama, ia masih tinggal di rumah orangtuanya. Saat memasuki tahun ketiga, tiba-tiba Tante dan Om nya datang mengakuisisi rumah tersebut dan menyuruh Lian keluar.
Lian menolak. Dia marah dan menentang keras keinginan mereka yang ingin mengusirnya. Bagaimanapun juga rumah itu adalah harta peninggalan orangtua Lian, salah satu kenangan-kenangan dari mereka. Tapi dirinya bisa apa. Karena tak dapat melawan, akhirnya Lian berhasil keluar dari rumah tersebut. Dan ke-dua orang itu berhasil menikmati kekayaan orangtua Lian seorang diri.
Beruntungnya, Lian yang sekarang berusia 18 tahun dapat bertahan hidup sendiri. Meski ia merasa bertahan hidup sendiri sangatlah berat. Dengan sisa tabungannya, Lian tinggal di kost-an murah yang kecil di gang-gang perkampungan. Kamar bercat hijau yang catnya sudah mengelupas dengan ukuran 3x4m, sudah empat bulan Lian tinggal di sana.
Sepuluh menit kemudian, Lian sudah selesai mandi. Dia masuk kembali ke kamarnya kemudian mengganti pakaiannya serta memakai seragam SMA abu-abu putih. Setelah memakai seragamnya dengan rapi, ia duduk di kasur tanpa dipan. Dielusnya kepala Kylo, dia masih terlihat sangat lemah. Anjing itu menjilati jarinya, ia merasakan panas di kulitnya disebabkan oleh jilatan tersebut.
Lian bisa saja mengabaikan keberadaan anjing itu ketika ia tanpa sengaja melihatnya meringik—mengeluarkan suara yang menyedihkan—di pojok selokan dengan tubuh yang basah, kotor dan bau. Tapi sisi kemanusiaan menjerit. Dirinya melihat kesamaan nasib dengan anjing itu. Maka dengan perasaan ragu—apakah dia bisa merawatnya atau tidak—Lian memungutnya lalu membawanya pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi
RomanceAfeksi, dimana kasih sayang serta kenyamanan membuatku tidak menyadari dengan siapa aku jatuh cinta. *** Bagi Lian, tidak ada yang lebih menyakitkan dari kematian orangtuanya. Tidak setelah sang kakak meninggalkan dunia 5 tahun lalu. Dalam sekejap d...