Gwen masih memeluk, mendekap kepala Lian dalam dadanya. Gadis itu terus menangis sesenggukan meski tak sekeras tadi. Namun ini sudah lewat 10 menit dan belum terlihat tanda-tanda gadis itu akan berhenti menangis. Gwen merasakan kausnya basah.
Semakin lama tubuh Lian semakin terasa berat. Sepertinya gadis itu menumpukan seluruh berat badannya ke pelukan Gwen.
“Are you okay?” Gwen menepuk pundak Lian pelan.
Masih tak ada respon.
Sejujurnya kepala Lian terasa sakit dan berat. Seperti ditimpa batu yang besar, pening di depan kepalanya sangat menyiksa. Salah satu efeknya membuat perut Lian bergejolak. Dia merasa mual. Badannya juga lemas. Jika tak ada Gwen, dirinya mungkin sudah ambruk.
Perlahan Lian melepaskan pelukannya dengan enggan, masih menundukkan kepalanya. Dia merasa masih membutuhkan pelukan tersebut. Sudah sangat lama dirinya tidak merasakan pelukan yang hangat dan begitu menenangkan. Tapi dirinya tidak boleh berlaku egois. Wanita itu pasti memiliki kepentingan lain, dari pada menemaninya menangis.
Lian mengusap pipi dan matanya, menghapus air mata yang masih tersisa. Kemudian ia mendongak, dengan mata sembab dan memerah, ia tertegun melihat sorot mata Gwen yang menatapnya teduh.
Untuk sesaat Lian lupa caranya bernapas. Dengan pancaran sinar dari lampu tamaran warna kuning di depan restoran, Lian dapat melihat manik sebiru samudera yang menyejukkan. Bagaimana bisa manusia memiliki mata seindah itu. Lian bahkan sampai tidak berkedip, benarkah wanita itu yang baru saja menolongnya? Semoga dia tidak berhalusinasi.
Senyum lembut Gwen membawa Lian kembali pada kenyataan. Dia langsung menunduk malu menyadari sikapnya barusan. Sebagai anak yang dibesarkan di keluarga yang menjunjung tata krama serta sopan santun, sejak kapan dia berani melakukan tindakan yang tidak sopan seperti tadi. Lain kali dia harus lebih menjaga pandangan matanya.
“Wajah kamu terlihat pucat.” Tangan Gwen menyentuh kening Lian, telapak tangannya langsung terasa panas. “Demam, kamu sakit.” Itu bukan pertanyaan.
“Sa-saya baik-baik saja.” Lian berjalan mundur menghindari sentuhan Gwen.
Gwen menghela napas. Matanya menatap sendu, mengaggap penolakan Lian sebagai bentuk rasa takut dari gadis itu. “Jangan takut.” Ia mendekat membawa Lian ke dalam pelukannya kembali.
Lian tertegun. Hatinya berdebar kencang. Aroma maskulin menusuk hidungnya ketika ia tanpa sengaja menghirup aroma pakaian yang dipakai Gwen.
“Sudah tidak apa-apa.” Gwen menepuk punggungnya pelan beberapa kali sebelum melepaskan pelukannya. Kemudian ia tersenyum. “Kamu sedang tidak sehat, sebaiknya aku antar pulang sekarang.”
Gwen berbalik membuka pintu penumpang di depan mempersilahkan Lian masuk. Sejenak Lian menatapnya ragu sebelum masuk ke dalam. Kemudian Gwen berjalan memutar lalu duduk di kursi kemudi.
“Pakai sabuk pengamannya.”
Lian menarik seat belt tersebut lalu memakainya, menuruti perintah Gwen. Ia menyenderkan kepalanya di jok mobil. Nyaman sekali dia dapat mengistirahatkan kepalanya yang terasa berat.
Gwen mengendarai mobilnya pelan, dia membuka percakapan kembali memecah keheningan.
“Kamu tampak masih muda, berapa usiamu?”
Lian meliriknya sekilas. “18 tahun,” jawabnya dengan suara pelan.
“Masih sekolah?”
Ia mengangguk. “Iya, kelas 3 SMA.”
Gwen menoleh, mendapati Lian mengerutkan keningnya menahan sakit sembari memegang kepalanya. “Apa yang kamu rasakan? Di dashboard ada stock obat darurat.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi
RomanceAfeksi, dimana kasih sayang serta kenyamanan membuatku tidak menyadari dengan siapa aku jatuh cinta. *** Bagi Lian, tidak ada yang lebih menyakitkan dari kematian orangtuanya. Tidak setelah sang kakak meninggalkan dunia 5 tahun lalu. Dalam sekejap d...