“Woy!” Bram membuka pintu kemudian berjongkok menepuk pipi Lian lalu menggoyang-goyangkan pundaknya. Memaksa gadis itu untuk bangun. Lian yang sudah terduduk lemas, sampai tak sanggup mengangkat kepalanya pun membuka mata.
“Pu-pulang-kan ... aku,” ujar Lian dengan susah payah. Matanya tampak sayu dan wajahnya sangat pucat. Dia benar-benar dibuat tak berdaya di ruangan itu. Untungnya dia tidak sampai mati dikurung tanpa oksigen tempat itu.
“Katakan kamu setuju dengan permintaanku.”
Mau tak mau Lian akhirnya mengangguk mengiyakan.
“Bagus!” Bram tersenyum puas lantas pergi mengambil segelas air. Lian pikir air itu akan diberikan padanya tapi ternyata Bram menyiramkannya tepat di wajahnya. Seketika ia menutup matanya supaya air itu tidak sampai masuk ke mata.
“Bangun! Jangan manja!”
Lian menatapnya kesal sepersekian detik sebelum tangannya bertumpu pada tembok, berusaha berdiri dengan susah payah. Kedua kakinya gemetaran karena minimnya tenaga yang dia punya. Bram sedikit menuntunnya—dengan kasar—membawa Lian kemudian mendudukkannya di sebuah sofa. Di sampingnya sudah ada Santi dengan segelas air. Bram bergerak duduk di samping istrinya.
“Minum ini.” Santi menyerahkan air putih tersebut pada Lian. “Sebentar lagi Pak William akan datang. Kamu harus tanda-tangani dokumen yang dia berikan. Paham?”
Sambil minum, Lian mengangguk mengiyakan. Dia hanya ingin penderitaannya sekarang cepat berakhir lalu dia bisa pulang. Pikirannya dipenuhi oleh Gwen. Bagaimana kalau wanita itu mencarinya. Lian sangat cemas.
“Halo, tuan William!” Lian menatap melalui ekor matanya. Bram tengah berbicara dengan seseorang yang bernama William di telepon. Menyuruh pria tersebut untuk segera datang ke rumah.
“Beliau bilang akan datang sepuluh menit lagi,” ucap Bram tersenyum.
“Bagus! Kita tunggu uang itu datang kemari.” Santi tertawa girang membayangkan seberapa banyak uang yang akan dia terima nanti. Pasti sangat banyak mengingat status Lian sebagai anak semata wayang. Ronald pasti sudah menyiapkan segudang uang untuk masa depan putrinya.
Dad memasukkan alat perekam berukuran kecil ke dalam saku kemeja tuan William. Gwen menengadah menatap langit yang hampir petang. Dad melihat anaknya itu tampak begitu cemas memikirkan kekasihnya.
“Apa Lian baik-baik saja ya?” gumam Gwen ragu.
“Dia pasti baik-baik saja.” Dad mencoba menenangkan.
“Bagaimana kalau ternyata dia tidak ada di dalam?” timpal Daniel. Di belakang punggung pemuda itu berdiri 2 polisi lengkap dengan senjatanya. Siap menggerebek rumah itu jika benar Lian ada di dalamnya.
“Pasti ada. Hanya tanda-tangan pewaris sah yang dapat mengambil harta peninggalan tuan Ronald,” sahut William. Ia membuka dokumen yang dia bawa lalu menunjukkannya kepada Daniel. “Di sini disebutkan bahwa putri Ronald Sydney yang bernama Lian Sydney, satu-satunya orang yang berhak atas seluruh harta yang ia simpan.”
“Begitu ya...” Daniel mengangguk mengerti setelah membaca cepat seluruh isi dokumen tersebut.
“Kalau begitu silahkan, Pak. Anda sudah ditunggu mereka.” Dad mempersilahkan tuan William untuk segera menemui Santi dan Bram. Gwen menggigit kuku jari telunjuknya. Cemas tak berkesudahan.
“Kami akan menunggu di sini, jika gadis itu benar ada di dalam baru kami langsung ke sana untuk mengeksekusi,” jelas Dad dibalas anggukan William. “Kalian sudah siap?” Dad menatap kedua polisi di sana.
“Siap!” Polisi tersebut menjawab serentak.
“Bagus. Silahkan dimulai, Pak.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi
RomansaAfeksi, dimana kasih sayang serta kenyamanan membuatku tidak menyadari dengan siapa aku jatuh cinta. *** Bagi Lian, tidak ada yang lebih menyakitkan dari kematian orangtuanya. Tidak setelah sang kakak meninggalkan dunia 5 tahun lalu. Dalam sekejap d...