Menatap pantulannya di cermin, Lian tersenyum. Hari ini seragamnya terlihat lebih rapi. Pagi sekali dia sudah menyetrikanya. Merapikan letak dasinya agar tidak miring. Ia meraih tas nya kemudian keluar dari kamarnya. Sepertinya hari ini akan berjalan baik, suasana hatinya sangat cerah.
Sesampainya di dapur ingin membuat sarapan, dirinya dikejutkan oleh keberadaan Gwen di tempat itu. Sedang berkutat dengan peralatan masak. Bukannya harusnya sekarang memasak adalah tugasnya. Lian tidak mengerti. Ia juga melihat menu sarapan sudah tersaji di atas meja makan ketika menaruh tasnya di kursi.
“Dokter, bukankah seharusnya aku yang memasak?” tanya Lian sembari melihat ke arah Gwen.
“Tidak apa-apa, ini cuma sarapan. Aku tidak mau nanti kamu terlambat ke sekolah.” Gwen datang membawa kotak makanan, ia menaruh kotak tersebut di hadapan Lian. “Apa bekal ini cukup untukmu?” tanyanya kemudian.
Lian dibuat tertegun dengan perhatian Gwen. “Dokter seharusnya tidak melakukan ini,” ucapnya merasa tidak enak hati.
“Nggak apa-apa, kok. Aku seneng bisa memasak untuk orang lain.” Gwen menjawab sambil tersenyum manis. “Duduklah, ayo kita makan.”
“Mulai sekarang aku yang akan mengantarmu ke sekolah,” ucap Gwen disela kegiatan makannya. Lian dengan lahap menyantap roti bakar, telur orak-arik, potongan sosis serta salad di piringnya.
“Sebenarnya aku bisa jalan kaki sendiri,” tolak Lian halus.
Gwen terkekeh. “Kenapa menyusahkan diri jika kamu bisa membuat hidupmu lebih mudah. Jangan menolak, ini untuk kebaikanmu juga.” Ia menatap Lian sambil tangannya mengiris roti lalu menyuapkannya ke dalam mulut.
“Baiklah.” Lian mengangguk. Dia tidak perlu lagi berpanas-panasan menyusuri jalan.
“Ngomong-ngomong, untuk pekerjaanmu. Aku tidak bisa memberimu gaji secara full karena aku sudah memberimu tempat tinggal. Untuk makanan, kamu juga tidak perlu bayar, dan kamu bebas menggunakan semua fasilitas di rumah ini.”
Dengan mulut mengunyah Lian mengangguk. Itu sudah lebih cukup.
“Aku akan memberikan gaji mu setiap awal bulan.”
“Baik.” Mengangguk lagi, Lian kemudian mempercepat makannya.
***
“Jadi dia sekarang tinggal denganmu? Apa ini termasuk modus?”
“Apa maksudmu?”
Gwen membuka bulu-bulu kucing di mejanya lalu keningnya mengernyit melihat ribuan kutu yang tersebar di badan kucing tersebut.
“Mungkin bos menolongnya karena dia perempuan.”
“Kamu mau bilang aku memanfaatkannya? Menolongnya karena orientasi ku? Tentu saja tidak. Meski aku lesbian, aku tidak akan menjadi manusia rendahan semacam itu.”
Arya mengambil kursi, mendudukkan pantatnya di depan meja melihat Gwen mengambil satu-persatu kutu dari badan kucing kemudian menaruhnya di wadah berisi air.
“Kenapa orang-orang nekat memelihara binatang meski tak sanggup merawatnya dengan baik,” keluh Gwen kesal.
Sore ini seorang lelaki paruh baya datang membawa kucing peliharaannya yang terkena parasit. Seluruh badan dari kucing tersebut penuh dengan kutu. Tak hanya hama yang bersarang pada tubuhnya tapi juga luka yang sudah bernanah. Karena terlalu gatal pasti kucing itu menggaruknya sampai lecet lalu lukanya semakin melebar.
“Kupikir dia lebih baik dari Vanessa.”
“Jangan menyebut namanya, aku tidak suka membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain.” Celetukan Arya membuyarkan konsentrasinya. Hanya beberapa detik karena Gwen kembali berkutat mencari kutu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi
RomanceAfeksi, dimana kasih sayang serta kenyamanan membuatku tidak menyadari dengan siapa aku jatuh cinta. *** Bagi Lian, tidak ada yang lebih menyakitkan dari kematian orangtuanya. Tidak setelah sang kakak meninggalkan dunia 5 tahun lalu. Dalam sekejap d...