Chapter 10 - Hidden lie

3.7K 548 7
                                    

Sepasang kaki itu keluar dari mobil, kedua tangan wanita tersebut menenteng sebuah kotak kado berukuran besar berwarna merah serta terdapat hiasan pita di atasnya. Wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan senyumnya merekah melihat seorang gadis yang seminggu ini menjadi penghuni rumah nya.

Gadis tersebut tengah membersihkan karpet lantai menggunakan vacum cleaner. “Taruh itu sejenak,” perintah Gwen seraya menghampirinya. Ia menaruh kotak kado di atas karpet.

“Apa itu?” Lian ikut berjongkok setelah menyenderkan alat pembersih tersebut di sofa.

“Buka aja.” Gwen tak menjawab dan malah tersenyum misterius.

Lian menatap Gwen sejenak sebelum perlahan membuka kotaknya. “Oh my God!” Mulutnya menganga dengan mata berbinar melihat sesuatu yang berbulu menyembul dari dalam kotak tersebut.

“Lucu banget!” pekik Lian girang sambil membawa anakan anjing berjenis Golden Retriever itu ke dalam gendongannya. Dengan ekor yang bergerak cepat, anjing tersebut menjilati wajahnya sembari tersenyum lebar. Lian berusaha menghindar sambil tertawa kegelian.

Gwen ikut tertawa. Namun getaran di sakunya seketika menghentikan tawanya. Ia lantas berdiri mengambil ponselnya dari dalam saku celananya. Ada panggilan masuk dari Vanessa. Gwen sedikit menjauh dari Lian untuk menerima telepon tersebut.

“Ada apa?”

“Kok ada apa, sih?” keluh Vanessa di ujung sana. Bisa diperkirakan pasti kening kekasihnya tengah mengernyit karena tumben sekali Gwen tidak menyapanya dengan panggilan mesra ketika menerima teleponnya.

Baru menyadari ucapannya, Gwen segera meralatnya. “Enggak begitu, Sayang. Maafkan aku, aku—” Ah, sial. Gwen bingung harus memberi alasan apa. “aku sedang ada pekerjaan. Ada apa? Kenapa meneleponku?” Seumur mereka berpacaran, baru kali ini Gwen membohongi wanita itu. Kalau dipikir-pikir kenapa dia harus berbohong. Apa yang berusaha dia sembunyikan dari Vanessa.

“Malam ini ada birthday party nya temenku, temani aku belanja, ya? Sekalian nanti temani aku ke acaranya juga. Mau, 'kan?”

Tidak langsung menjawab, pandangan Gwen beralih melihat Lian dari kejauhan. Matanya menatap dalam gadis itu yang tengah duduk bersila, dijilati oleh anjingnya. Melihat senyum lebar serta gelak tawanya yang sesekali terdengar, entah kenapa hal itu menghantarkan kebahagiaan serta debaran menyenangkan ke dalam dadanya. “Aku tidak bisa.” Tanpa sadar Gwen menolak permintaan kekasihnya. Kalimat itu keluar dari bibirnya begitu saja.

“Kenapa?” Vanessa tak terdengar kecewa. Atau pendengar Gwen saja yang salah.

“Sudah aku bilang aku ada pekerjaan, nanti malam aku harus ke rumah klienku.” Gwen menunduk setelah mengatakannya. Kenapa dia mengatakan kebohongan tersebut seolah tanpa beban. Tanpa rasa takut jika Vanessa mengetahuinya.

“Baiklah, aku akan meminta orang lain saja. Tapi bisakah kamu memberiku sejumlah uang? Aku butuh—”

“Aku akan kasih.” Belum sempat menyelesaikan permintaannya, Gwen menyela. “Berapa? Apa 5 juta saja cukup?”

Itu lebih dari cukup.” Nada ucapan Vanessa terdengar senang.

“Aku akan transfer sekarang. Maafkan aku karena nggak bisa temani kamu.” Tanpa mendengar jawaban dari kekasihnya, Gwen memutuskan sambungan teleponnya. Menghela napas, kemudian dia mentransfer uang ke rekening Vanessa.

Gwen kembali menghampiri Lian, tersenyum singkat sambil memungut kotak kado. Dia duduk di sofa dan meletakkannya kotak tersebut di sisi kirinya.

“Bagaimana? Kamu senang?”

Lian mengangguk antusias. “Seneng banget!”

Gwen kembali tertawa. Lalu menyuruh Lian untuk duduk di samping kanannya. “Sudah memikirkan nama untuknya?”

“Dia belum punya nama?” Lian menatap Gwen heran.

“Belum.” Gwen menggeleng pelan. “Bagaimana kalau Kylo?” usulnya kemudian disambut tatapan termenung dari Lian.

“Kylo?” ujar Lian pelan. “Boleh.” Dia mengangguk lalu tersenyum lebar. “Itu nama yang bagus.” Kemudian ia tertawa mengangkat anjing Golden tersebut yang resmi dia beri nama Kylo.

Tiba-tiba dia terdiam mengingat sesuatu. “Tapi Dokter,” Lian menatap Gwen lagi.

“Ya?”

“Kenapa Dokter beli anjing ini?”

“Aku merasa egois.” Gwen kemudian tersenyum, tatapannya menunduk menatap anjing di pangkuan Lian. Lalu tangan kanannya mengelus kepalanya dengan lembut.

Lian menatap tidak mengerti.

“Aku menyuruhmu tinggal di rumahku supaya aku tidak kesepian. Tapi saat aku bekerja, justru kamu yang sendirian di rumah ini. Jadi aku putuskan untuk membeli anjing, supaya saat aku bekerja, aku tidak merasa bersalah karena meninggalkanmu sendiri.” Tatapan Gwen beralih menatapnya dengan lembut.

Lian terperangah, menatap mata biru Gwen yang juga menatapnya dalam. “Dokter membelinya untuk aku?” tanyanya karena masih tidak percaya.

“Iya.” Anggukan Gwen semakin membuat perasaan Lian tersentuh.

“Dokter sungguh sangat baik,” ungkap Lian tulus dengan tersenyum manis.

Gwen tertawa sejenak kemudian mengacak-acak rambut Lian. “Aku cuma tidak ingin kamu merasa kesepian di rumah. Jaga dia baik-baik, ya.”

Tersenyum lebar, Lian mengangguk. Gwen lantas berdiri. “Aku mau mandi dulu, pekerjaanmu dilanjutkan besok saja. Malam ini juga nggak perlu masak, nanti beli sushi aja untuk merayakan kedatangan Kylo di rumah ini.” Ia menenteng alat pembersih lantai dan membawanya pergi.

Lian menatap punggung Gwen yang semakin jauh. Lalu lagi-lagi dia tersenyum. Terlihat semburat merah samar di kedua pipinya. “Dokter Gwen benar-benar baik, 'kan? Dia orang yang lembut, sabar dan sangat perhatian. Kita beruntung bisa dipertemukan dengannya,” ucapnya kepada Kylo, kemudian mencium mulut anjing itu dan kembali tersenyum lebar.

Wanita itu melepaskan semua pakaiannya, kemudian berjalan pelan berdiri di bawah kucuran shower. Seketika rambutnya basah, dan air mulai membasahi seluruh tubuhnya. Kembali teringat percakapan singkatnya beberapa menit dengan Vanessa tadi, bukan tanpa sebab Gwen menolak ajakannya. Kemarin lalu, saat dirinya tengah mengunjungi pameran hewan di dalam mall. Dia melihat seorang wanita—yang sangat dia yakini adalah Vanessa—dia tidak mungkin salah mengenali kekasihnya. Gwen hafal lekuk tubuh Vanessa luar dalam. Namun saat itu kekasihnya tidak terlihat sendiri, dia bersama seorang pria, memasuki mall sambil menggandeng tangan pria tersebut. Gwen tidak tau siapa laki-laki itu. Vanessa tidak pernah memperkenalkan pria tersebut kepadanya.

Tidak tau harus bereaksi bagaimana. Gwen berpura-pura tidak pernah melihat kejadian tersebut. Dia terus menyusuri mall dengan perasaan yang tidak pasti. Terkejut, kecewa karena Vanessa tidak terbuka padanya, dan entah kenapa dia merasa sedih. Tapi dia tetap harus datang ke pameran hewan karena dirinya sudah berjanji untuk memberikan Lian teman, seekor anjing. Jika dia beruntung, dia dapat mengadopsi dari salah seorang peserta di tempat itu.

Tak terasa sudah seminggu Lian tinggal di rumahnya, pelan-pelan kecanggungan yang menyelimuti mereka mulai runtuh. Gwen senang, Lian tidak lagi menghindar ketika dia berada di dekatnya. Gadis itu mulai terlihat lebih santai. Kembali cerita, suka tersenyum dan tertawa.

Setelah keluar dari mall, Gwen tak langsung pulang. Dia mampir ke bar yang menjadi langganannya karena perasaannya setelah melihat Vanessa tak kunjung hilang. Dia minum bergelas-gelas alkohol. Lalu pulang dalam keadaan mabuk.

Ternyata malam itu Lian menunggunya. Duduk sendiri di sofa dengan TV menyala. Perasaan bersalah langsung menyelimuti dadanya. Apakah gadis itu sudah makan atau belum. Kenapa dia melupakan jika ada orang lain di rumahnya.

Di malam itu dengan setengah sadar, Gwen memeluknya. Kemudian dia mulai menangis. Lalu setelah itu entah apa yang terjadi, dia hanya ingat Lian terlihat sangat bingung sambil berusaha menenangkannya.

AfeksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang