Chapter 8 - Waiting for you

4.1K 571 13
                                    

Lian tidak mengira dirinya akan terdampar di rumah seorang dokter yang baru 2 hari ia kenal. Sekarang nasibnya serasa tidak terlalu buruk. Entah siapa Gwen dan dari mana asalnya, kenapa dia baik padanya sampai memberinya tempat tinggal. Tapi berkat kehadiran wanita itu, hidupnya jadi lebih baik.

“Lian, apa kamu sedang tidur? Makan malam sudah siap.” Pintu diketuk kemudian terdengar suara Gwen berbicara.

“Aku akan menyusul!” sahut Lian sedikit berteriak.

“Jangan lama-lama, keburu makanannya dingin.” Setelah itu terdengar langkah kaki menjauh.

Matanya tertutup, Lian menghela napas lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Barusan, dia tidak salah dengar. Kalimat itu seperti ajakan Mamanya setiap hari. Setelah 3 tahun lebih, dia mendengar kalimat itu lagi. Tapi bukan ibunya yang mengucapkannya, melainkan seorang Gwen Winter.

Entah harus senang atau tidak dirinya mendapat perhatian seperti itu lagi, disaat bersamaan hatinya terasa sesak. Bayangan sosok sang ibu kembali memenuhi pikirannya.

Bangkit dari tidurnya, Lian berjalan meninggalkan kamarnya. Kamarnya yang sekarang jauh lebih luas, lebih rapi, bersih dan wangi. Tidak ada lagi cat hijau yang mengelupas. AC juga membuat kamarnya dingin, tidak panas dan pengap seperti sebelumnya.

Di meja makan sudah ada Gwen menunggunya. Wanita itu tersenyum begitu melihat kedatangannya. Lian masih diam bahkan ketika sudah menduduki kursi di depan Gwen, di balik meja makan.

“Aku tidak tau makanan kesukaanmu, jadi malam ini aku hanya bikin nasi goreng.”

“Ini sudah cukup.” Lian menatap nasi goreng nya sejenak sebelum mengambil sendok dan menyantapnya. Ia menyendok nya sedikit supaya tidak terlalu kepanasan lalu memakannya. “Enak,” puji Lian. Sebagai warga asing, Gwen cukup jago membuat hidangan lokal.

Tersenyum lebar, Gwen lalu berterima kasih.

“Dokter sepertinya bukan asli orang sini.” Baru Lian perhatikan sepertinya Gwen tidak memiliki darah campuran Indonesia. Jikapun iya, parasnya tidak seperti artis kondang keturunan Jerman yang menjadi kebanggaan masyarakat. Meski keturunan bule, wanita itu masih terlihat Indonesia sekali.

“Aku memang bukan keturunan murni, tapi buyut ku,” Gwen berhenti mengunyah, berpikir sejenak. “atau nenek moyang ku? Mereka orang Sunda. Mom itu ada keturunan Indonesia, dia blasteran. Sedangkan Dad, dia murni American, a white people.”

Lian mengangguk mengerti. “Dokter bisa bahasa Sunda?”

Gwen tersenyum dan menggeleng. “Tidak sama sekali.”

“Aku juga, keturunan Batak tapi tidak bisa bahasa Batak.”

Mereka berdua lalu tertawa.

“Bagaimana denganmu? Actually, you look Chinese.” Sekarang Gwen yang ganti bertanya, sambil menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

“Itu karena Papa orang China-Malay, sebelumnya beliau tinggal di Malaysia.”

Gwen mengangguk. “Kamu punya saudara di sana?”

“Ada.” Lian mengangguk. “Tapi aku tidak terlalu mengenal mereka, hubungan kami tidak yang—akrab banget.”

Mengangguk lagi, Gwen meminum air putih di gelasnya kemudian menatap perempuan di depannya. “Maaf kalau ini terdengar sensitif, tapi kalau boleh aku tanya, bagaimana kehidupanmu setelah ditinggal orangtuamu? Dari segi finansial dan pendidikan. Bagaimana kamu mengatasi itu semua?”

Lian terdiam agak lama sebelum menceritakannya. “Sebelumnya, aku masih tinggal di rumah orangtuaku. Tentu saja untuk memenuhi kebutuhanku, aku memakai uang mereka. Tapi setelah Om dan Tante ku tiba-tiba datang dan mengusirku, aku tidak punya apa-apa lagi selain tabungan ku sendiri. Lalu aku mencari kost yang murah untuk aku tempati.”

AfeksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang