Chapter 12 - Fall in love with someone else

4.4K 583 29
                                    

“Jadi kamu sekarang tinggal sama dokter itu? Di rumahnya? Apa nggak bahaya kamu tinggal dengan orang lain?”

“Enggak, kok. Dokter orang yang baik.” Lian menutup lokernya. Menenteng tiga buku paket ditangannya. Matematika, Sejarah dan Sains.

Adell mengekor di belakangnya menuju kelas mereka. “Jadi kamu udah nggak tinggal di kost itu lagi, ya. Terus gimana dong kalau nanti kita ngerjain tugas bareng?” Mereka berjalan beriringan menaiki tangga.

“Ya nggak gimana-gimana, aku bakal ijin ke Dokter Gwen kalau kamu mau main ke rumahnya,” jawab Lian.

“Dia baik kok. Kamu nggak perlu cemas,” ujar Lian lagi melihat keraguan di wajah sahabatnya.

“Yah ... kalau kamu yang ngomong mah aku percaya.” Adell tersenyum. Mereka masuk ke dalam kelas, duduk di bangkunya masing-masing.

Tiba-tiba seorang lelaki masuk ke kelasnya saat Lian membuka-buka buku paket Sejarahnya. Pria bertubuh tinggi tegap serta kulit kecoklatan duduk di depan bangku Lian yang kebetulan kosong. Pasti pemilik bangku tersebut sedang ke kantin.

Adell memperhatikan dalam diam. Pria tersebut tersenyum menatap Lian yang saking fokusnya sampai tak menyadari keberadaannya. Sebuah deheman kecil membuat gadis itu mendongak dan terkejut.

“Reksa?!” Mata Lian membulat terkejut.

Reksa terkekeh. “Sibuk banget ya sampai nggak sadar aku ke sini.” Lelaki itu menopang dagu memperhatikan Lian dengan seksama.

“Ah, enggak. Aku cuma baca-baca aja, soalnya ada tugas dari guru.” Lian menjawab dengan tersenyum.

“Pulang nanti mau jalan-jalan dulu denganku?” ajak Reksa langsung pada intinya.

Reksa Rahardian, pria yang menjadi dambaan hati Lian. Lelaki berbadan tegap, tinggi menjulang jauh di atasnya, memiliki wajah menawan nan tampan. Senyumnya sangat manis membuat Lian kepincut saat pertama kali melihatnya. Kedekatan mereka disambut hangat oleh Adell, tapi tetap ada pihak yang tidak menyukainya. Bagaimana tidak, dua tahun Lian menahan perasaannya. Beberapa bulan lalu dia memberanikan diri menyatakan ketertarikannya langsung kepada Reksa.

Reksa tak langsung memberi jawaban, namun setelah berbulan-bulan, sekarang pria itu mendekat kepadanya. Lian bingung, bagaimana dia harus bersikap di hadapan pria itu. Pasalnya, dia sudah tidak pernah memikirkannya lagi. Perasaan Lian mungkin sudah berubah. Seharusnya dia senang karena Reksa mau dekat dengannya, tapi kemana hilangnya debaran itu.

“Pergi ke mana?”

“Hanya berkeliling sebelum aku antar kamu pulang. Mau, 'kan?” Reksa tampak memohon.

Lian mengangguk. “Boleh.”

***

Gwen berdiri, menatap ponselnya dengan cemas. Dia akan berlari keluar rumah jika tidak mendengar langkah kaki Lian.

“Kamu dari mana saja jam segini baru pulang?!” Gwen menghampirinya dengan cepat lalu mencecarnya dengan pertanyaan. Dia tampak kesal karena menunggu Lian lama. Teleponnya tidak ada yang diangkat. Gwen mencemaskan nya karena gadis itu tak kunjung pulang padahal seharusnya gadis itu sudah ada di rumah sejak satu jam lalu. Dari jam pulang setengah tiga, sekarang sudah hampir jam empat sore.

Menghela napas. Gwen menyilangkan kedua tangannya menatap Lian yang juga menatapnya dengan tatapan terkejut. “Jangan membuatku khawatir,” ucapnya sama seperti ketika Lian pulang dari makam kakaknya.

“Dokter kok di rumah? Nggak kerja?” Untungnya Lian cepat menyuruh Reksa mengantarnya pulang. Dia tidak nyaman berlama-lama dengan pria itu, hatinya mendadak gelisah. Benar saja, saat Reksa menurunkannya di depan, dia melihat mobil Gwen terparkir. Dia segera masuk ke rumah dan mendapati Gwen ternyata menunggunya sambil menahan kesal.

“Jangan mengalihkan pembicaraan.”

“Maaf.” Lian menunduk merasa menyesal. “Janji besok-besok nggak diulangi lagi.”

Gwen menghela napas lagi. Tidak ada gunanya dia memarahi gadis itu. Toh ternyata Lian pulang dengan selamat.

“Seharusnya aku sekarang bekerja, tapi karena kamu nggak pulang-pulang jadi aku menunggu di sini.”

Lian semakin dibuat bersalah. “Maaf.”

“Sudah lupakan saja.” Gwen menggerakkan tangannya untuk menganggap ucapannya tadi sebagai angin lalu. “Sebaiknya kamu lihat kamarmu sekarang.”

Lian menatap heran. Yang ditatap justru tersenyum seolah kemarahannya tadi langsung hilang entah kemana.

Ada apa dengan kamarnya, perasaan tadi pagi tidak ada yang aneh. Lian membuka kamarnya dan seketika dibuat takjub melihat perubahan di dalamnya. “Dokter yang melakukannya?”

“Pertanyaan bodoh. Ya siapa lagi?” Dengan santai Gwen menggendong Kylo yang menggerakkan ekornya di kaki Lian kemudian duduk di atas tempat tidur.

Tadi pagi Gwen sengaja mendekor ulang kamar tersebut. Menambahkan meja belajar serta laptop di atasnya, rak buku dengan isian novel baru yang dia beli, lalu dia juga menambahkan lampu manik-manik dan hiasan-hiasan kecil sebagai pelengkap untuk memperindah kamar Lian.

“Aku sengaja pulang untuk memberimu kejutan, tapi justru aku yang terkejut karena kamu tak kunjung pulang. Seharusnya tadi aku menjemputmu,” ucap Gwen merebut perhatian Lian.

Lagi, lagi dan lagi, Gwen melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan. “Kenapa?” kata itu meluncur begitu saja mempertanyakan kenapa Gwen melakukan itu semua kepadanya.

Gwen mengangkat bahunya ringan. “Aku merasa kamu membutuhkannya.” Dia mengisyarakatkan Lian untuk mendekat. Tangan kirinya menarik tangan Lian ketika gadis itu sudah mendekat ke arahnya, menyuruhnya duduk di sampingnya.

“Aku merasa semua ini berlebihan.”

“Tidak ada yang berlebihan.” Gwen menaruh Kylo di pangkuan Lian. “Aku juga membeli tempat tidur khusus untuk anjing. Dia temanmu, dia harus tidur bersamamu.” Gwen menunjuk kasur kecil berwarna ungu di sebelah tempat tidur.

“Aku masih tidak mengerti kenapa Dokter melakukan semua ini untukku.” Lian menatap masih meminta penjelasan.

“Aku pikir kamu akan tinggal lama bersamaku.” Gwen balas menatapnya. Lian sulit mendeskripsikan perasaan apa yang disampaikan oleh Gwen kepadanya. Namun dimata itu dia melihat sebuah permohonan serta harapan. “Makanya aku mendekor ulang kamarmu. Aku sengaja membeli laptop untuk kamu belajar, dan buku untuk kamu baca supaya kamu tidak bosan. Aku ingin kamu merasa lebih nyaman di rumah ini.”

Lian terenyuh. Gwen mengatakannya dengan suara lembut serta tatapannya yang dalam. Sarat akan perhatian dan kasih sayang. Perkataannya sukses membuat mata Lian berkaca-kaca.

“Jangan menangis.” Gwen bergerak panik. “Aku melakukannya karena ingin melihatmu tersenyum bukan menangis.”

Lian bergerak mengusap air matanya. “Aku senang. Dari kemarin Dokter membuatku terus bahagia,” ucapnya dengan tersenyum.

“Kalau aku membuatmu senang, maka jangan tunjukkan air matamu.” Gwen mengusap tangan Lian sejenak kemudian lantas berdiri. “Sebaiknya aku kembali ke klinik sekarang. Masih ada sisa waktu satu jam untukku bekerja. Kamu tata kamarmu sendiri jika ada yang salah. Aku pergi dulu.”

“Tunggu, Dokter!”

Gwen berdiri di ambang pintu. Lian menaruh Kylo lalu berjalan menghampirinya dan berdiri di hadapannya. “Terima kasih.” Tanpa diduga Lian berjinjit mengecup bibir Gwen sepersekian detik kemudian menutup pintunya dengan kencang.

Kejadian itu berlangsung cepat membuat Gwen termenung.

Dibalik pintu, jantung Lian berdebar kencang dan keras seakan ingin meledak. Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya. Dengan tangan gemetar dia mengetik deretan kalimat dengan cepat lalu mengirimkannya kepada seseorang.

“Maaf Reksa, aku tidak bisa berpacaran denganmu. Kupikir aku jatuh cinta dengan orang lain.”

AfeksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang