“Kalau masih kecil napasnya memang masih wangi,” celetuk Gwen membuat Lian menoleh menatapnya. Berhenti menciumi mulut Kylo.
Gwen duduk di sebelah kirinya, mengenakan tank top dan hot pants berwarna hitam. Lian sontak memalingkan wajahnya. Sejak kapan dirinya jadi deg-degan melihat Gwen dengan balutan pakaian minim. Seharusnya dia tidak merasakan perasaan seperti itu mengingat mereka sama-sama perempuan.
Hal itu membuat Lian akhirnya menjaga jarak, mengubah posisi duduknya sedikit lebih jauh.
“Kumat lagi,” ujar Gwen dengan candaan disertai tawa kecilnya.
Menundukkan kepalanya, Lian pura-pura memainkan telinga Kylo.
Gwen lalu memainkan ponselnya, mengirim pesan langsung kepada Alex untuk mengirimkan sushi ke rumahnya. Itulah enaknya memiliki sahabat seorang pemilik restoran. Dirinya tidak perlu harus mengantri atau datang ke tempatnya langsung untuk memesan. Tinggal hubungi owner restoran tersebut dan tak lama makanan diantarkan ke rumahnya.
Lian diam-diam menatap. Kalau boleh jujur, sebenarnya dia merasakan ketertarikan kepada dokter hewan tersebut. Maksudnya—hey! Siapa yang tidak kepincut dengan wanita bermata biru itu. Lihatlah surai panjangnya yang indah kecoklatan, mata biru sebening kristal, hidung mancung serta bibir berisi yang seksi. Dan tubuhnya, WOW! Untuk pertama kalinya Lian dibuat menelan ludah melihat perempuan. Dadanya bulat sempurna tidak terlalu besar, sangat pas di badan Gwen yang langsing. Dan ketika berjalan, wanita itu bergerak seperti seorang model. Tak hanya cantik, tapi juga baik hati. Dimata Lian, Gwen adalah sosok wanita yang sempurna.
“Ngomong-ngomong, kamu ingat orang yang ingin melecehkan mu waktu itu?” tiba-tiba Gwen menoleh menatapnya disaat dia tengah memperhatikan wanita itu.
Tanpa sadar Lian mengangguk cepat. Tidak mungkin dia tidak mengingat insiden menyebalkan tersebut. Sampai sekarang dia selalu bersyukur bertemu Gwen saat itu. Entah bagaimana nasibnya jika Gwen tidak menolongnya.
“Dia sudah dipecat. Alex bilang akan mengirim uang ganti rugi kepadamu. Kapan-kapan dia juga ingin bertemu untuk meminta maaf secara langsung.”
Baguslah. Lelaki seperti dia akan sangat membahayakan para pekerja jika menjadi atasan. Lebih baik dipecat, dengan begitu tidak akan ada lagi korban seperti Lian berikutnya.
“Kamu punya ATM?” tanya Gwen masih menatap Lian. Yang membuat Lian heran, kenapa wanita itu betah sekali melakukan kontak mata dengannya. Padahal yang ditatap langsung merasa gugup.
“Engga, Dok.” Lian menggeleng pelan.
“Kalau KTP?”
“Enggak juga.”
Gwen mengangguk, menatap layar televisi kemudian berujar pelan. “Kalau mau bikin ATM harus punya KTP, sedangkan bikin KTP harus bawa Kartu Keluarga. Karena sekarang kamu yatim piatu, kamu harus memperbarui Kartu Keluarga mu dulu karena sekarang status kamu sebagai kepala rumah tangga. Aduh ribet. Sementara pakai punya aku dulu aja, ya?” Gwen mendumel sendiri di akhir ucapannya.
Menahan diri untuk tidak tertawa, Lian mengangguk mengiyakan.
“Kamu menyimpan semua dokumennya atau masih di rumah?”
“Aku hanya bawa ijazah.” Waktu itu Lian tidak kepikiran untuk membawa dokumen-dokumen penting milik orangtuanya. Yang dia pikirkan dia harus membawa uang—untuk bertahan hidup—serta keperluan sekolahnya. Pikirannya saat itu benar-benar buntu.
“Kapan-kapan kita ambil ke rumah, ya. Bagaimanapun surat-surat itu sangat penting.”
Bel pintu berdenting, Gwen keluar untuk mengambil pesanannya. Lian menatap Kylo sejenak ditangannya. Dia masih merasa janggal dengan berpindahtangannya rumah orangtuanya—yang seharusnya menjadi miliknya—tapi malah jatuh ke tangan orang lain. Apa benar di jauh-jauh hari orangtuanya memindahkan kepemilikan rumah tersebut atas nama Om dan Tante nya. Jika iya, kenapa? sampai saat ini Lian masih terus berpikir tentang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi
RomanceAfeksi, dimana kasih sayang serta kenyamanan membuatku tidak menyadari dengan siapa aku jatuh cinta. *** Bagi Lian, tidak ada yang lebih menyakitkan dari kematian orangtuanya. Tidak setelah sang kakak meninggalkan dunia 5 tahun lalu. Dalam sekejap d...