Di atas jalan raya, dua pengemudi motor sport saling salip-menyalip sambil menghindari kendaraan lain di depan mereka. Tindakan berbahaya memang, jika itu orang lain yang melihat. Tapi tidak bagi dua pemuda tersebut. Bisa dibilang balapan liar sudah menjadi santapannya sehari-hari karena seringnya mereka melakukannya.
Ditambah jika ada polisi yang mengejar, hal itu justru menjadi tantangan tersendiri. Memacu adrenalin katanya. Kecepatan motor dinas aparat pun tidak dapat menjangkau. Sehingga sangat mudah bagi mereka untuk menghindar dari kejaran polisi.
Di tempat lain, seorang perempuan mengangkat ponsel yang dia genggam setelah ponsel itu bergetar. Ada panggilan masuk. Wanita itu menjawabnya.
“Halo?”
“Bos? Di mana?”
“Gue bukan Gwen, dia lagi balapan,” jawab perempuan itu dengan mata yang terus mengawasi, menunggu wanita yang namanya baru saja dia sebut terlihat di kejauhan, menjadi pemenang.
“APA?! BALAPAN? SIANG-SIANG BEGINI?! YA TUHANNNNN!” pria di ujung sana mengerang kesal.
Vanessa memutar matanya jengah. “Nggak usah marah begitu.”
“GIMANA GUE NGGAK MARAH! DIA IJIN PERGI BELI MAKAN SIANG TAPI SAMPAI SEKARANG NGGAK BALIK DAN—” Arya, nama pria itu, kembali mengerang kesal. “TERNYATA MALAH BALAPAN! GIMANA GUE NGGAK MARAH?!” Lelaki itu masih terus meluapkan emosinya pada Vanessa. Membentak wanita itu.
“Heh! Kalo lo mau marah-marah jangan ke gue, dong! Marahin noh bos lo!” Emosi Vanessa ikut tersulut mendengar bentakan Arya. “Lagian bukan salah gue juga, kenapa gue yang dimarahi!”
“ENGGAK! GUE YAKIN INI ULAH ELO!”
Mendecak kesal, Arya benar-benar membuatnya jengkel. Saat ingin membalas perkataan laki-laki tersebut, matanya melihat siluet motor yang dia kenal. Senyumnya langsung merekah.
“Halo? Nes! Suruh bos balik sekarang karena ini urgent banget! Ada pasien yang harus di operasi!” Arya kembali berteriak lantaran tak mendengar balasan dari lawan bicaranya.
“Ya ya ya ya ya, ini dia udah mau sampai.” Tak terlalu memperdulikannya, Vanessa mematikan panggilannya tanpa memberi jawaban yang memuaskan.
Sorak kemenangan terdengar sesaat setelah motor yang dikendarai Gwen berhenti di depan garis finish. Wanita itu membuka helmnya dan seketika rambut panjangnya yang kecoklatan bergerak-gerak diterpa angin. Senyum Vanessa semakin lebar melihat pemandangan yang memukau di hadapannya.
Gwen turun dari motornya setelah menerima amplop coklat berisi uang taruhan. Ia berjalan menghampiri Vanessa kemudian menyerahkan uang tersebut.
“Arya tadi menelepon mu.” Sambil menerima uang tersebut, Vanessa menyerahkan ponsel Gwen.
“Ada apa?” Sorot mata Gwen menatapnya sejenak sebelum memainkan ponselnya.
Wanita itu hanya mengangkat bahu ringan.
Gwen memutuskan menelepon Arya—assisten nya—untuk menanyakan ada perihal apa mendadak pria itu meneleponnya.
Baru juga mengucapkan sepatah kata dirinya langsung menjauhkan teleponnya karena lelaki di seberang sana berteriak lantang padanya.
“Hah? Operasi? Ah, iya iya aku segera ke sana. Iya! Kalau perlu nanti aku ngebut. Kamu tangani dulu selagi aku tidak ada di sana.” Gwen mematikan teleponnya.
Mata birunya menatap manik kecoklatan milik Vanessa sembari tersenyum lembut. “Aku balik dulu, ya.” Kemudian ia memegang dagu perempuan itu lalu memberinya ciuman lembut di bibirnya. “Jangan terlalu boros,” nasehatnya.
Sambil mengangguk, Vanessa tersenyum manis. Kemudian matanya mengikuti kepergian kekasihnya. Sejujurnya memang dirinyalah yang meminta Gwen mengikuti balapan yang diadakan oleh teman-temannya.
Alasannya simpel, dia butuh uang. Dan sebagai kekasih, Gwen sangat loyal kepadanya. Wanita itu bahkan mau menuruti keinginannya untuk mengikuti balapan liar, yang mana hal itu dapat membahayakan dirinya. Tapi Gwen tetaplah Gwen, wanita itu rela melakukan apapun untuk menyenangkan hati orang yang dia sayangi.
Memiliki nama lengkap Gwen Winter, seorang veterinarian atau sebutan lainnya adalah dokter hewan. Wanita keturunan kaukasia yang lahir di Los Angeles dan besar di Indonesia.
Di usianya yang masih terbilang muda, dirinya sudah mendirikan klinik hewan miliknya. Selain dibantu oleh orangtuanya untuk mewujudkan cita-citanya, keberhasilannya juga tak luput dari usaha serta kegigihannya sendiri. Lulus dengan predikat cumlaude di universitas terkemuka di Amerika, kemudian setelah selesai magang selama beberapa tahun ia memutuskan kembali ke Indonesia dan membangun klinik hewan di Jakarta.
Satu jam kemudian Gwen keluar dari ruang operasi. Sambil melepas maskernya ia berjalan lalu duduk di kursi di balik meja kerjanya. Untung anjing yang dia tangani dapat terselamatkan. Tumor pada anjing betina tersebut sangat mengerikan, membesar di beberapa bagian di perutnya. Disebabkan oleh kelalaian pemilik yang memberinya obat KB ilegal tanpa anjuran dokter. Begitulah manusia, makhluk yang egois. Mereka memang suka seenaknya sendiri.
Gwen membuka resleting jaket kulitnya dan melepasnya. Ia menyenderkan punggungnya di kursi ketika Arya datang menemuinya. Pria itu masih terlihat kesal. Padahal Gwen sudah memenuhi tanggungjawabnya sebagai dokter.
Alis Gwen terangkat. “Ada apa?”
Arya menghela napas sejenak. “Dengar, aku tidak peduli jika dirimu adalah seorang lesbian. Tapi untuk kali ini dengarkan aku, perempuan itu hanya memanfaatkan mu saja. Kamu harus sadar!” suaranya meninggi di akhir kalimat.
Gwen memiringkan kepalanya, kemudian tertawa membuat Arya mengernyit heran. “Aku tidak peduli, aku mencintainya,” jawabnya yang semakin menyulut emosi pria di hadapannya.
“Kamu harus peduli!” tanpa sadar Arya berteriak. Merasa frustasi tangannya mengusap wajahnya gusar. Meski menyebalkan tapi ia sangat peduli pada bos-nya. “Banyak sekali wanita di luar sana yang tergila-gila padamu, bos. Aku mohon jangan jadi wanita murahan untuk orang itu!”
Gwen diam menatap. Otaknya mencerna perkataan Arya barusan. Murahan, benarkah dirinya seburuk itu.
“Kamu harus mencari wanita lain yang benar-benar mencintaimu dan peduli padamu. Percaya padaku, Vanessa bukan wanita yang tepat untukmu. Dia terlalu picik!” Arya kembali menghela napas. “Jika dia benar sayang padamu, dia nggak mungkin memintamu melakukan tindakan yang berbahaya. Bos harus sadar, wanita itu hanya memanfaatkan mu. Pikirkan itu baik-baik.”
Setelah itu Arya pergi dari ruangan Gwen dan meninggalkan wanita itu yang diam termenung. Manik birunya menatap foto poraloid di meja kerjanya. Di sana memperlihatkan dirinya yang tengah tersenyum bahagia bersama Vanessa merayakan anniversary mereka yang ke 4 tahun di London.
Setelah 4 tahun berlalu, benarkan jika wanita itu ternyata tidak benar-benar tulus mencintainya?
Gwen menggelengkan kepalanya. Dia mencintai kekasihnya dan wanita itu selalu ada jika dirinya membutuhkannya. Harusnya itu sudah cukup.
Ah, tidak. Dia baru ingat pekan lalu Vanessa menolak ajakannya menginap di rumahnya. Dia menolak dengan alasan pergi pesta bersama teman-temannya. Padahal saat itu sudah 2 bulan mereka tidak menghabiskan waktu bersama.
Hati Gwen berdebar kencang. Sial, rasa sakit itu menjalar ke hatinya. Tiba-tiba perutnya berbunyi. Benar juga, dia belum sempat membeli makan karena lebih mementingkan keinginan kekasihnya.
Pintu terbuka, kepala Arya terlihat menyembul dibaliknya. “Aku tau kamu belum makan. Udah aku pesankan go-food, sana ambil.” Kemudian pintu kembali ditutup.
Senyum Gwen mereka. “Terima kasih!” teriaknya kencang.
Lebih baik dia segera mengisi perutnya, overthinking nya nanti-nanti saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi
RomanceAfeksi, dimana kasih sayang serta kenyamanan membuatku tidak menyadari dengan siapa aku jatuh cinta. *** Bagi Lian, tidak ada yang lebih menyakitkan dari kematian orangtuanya. Tidak setelah sang kakak meninggalkan dunia 5 tahun lalu. Dalam sekejap d...