Dunia yang gua pijaki sekarang ... rasanya sangat berbeda.
Tapi nggak asing.
Gua berada di suatu persimpangan. Lingkungannya masih sangat asri dengan udara yang masih sangat bersih. Bangunan yang gua tau itu adalah TK masih berupa lahan kosong yang sepertinya bekas rumah.
Ini dimana?
Ini jalan menuju ke rumah lama gua, ya?
Kenapa gua ada disini?
Apa rumahnya nggak dijual?
Seekor kupu-kupu putih yang sayapnya mengeluarkan cahaya terang terbang di sekitaran gua. Ini udah malam, makanya cahaya kupu-kupu itu kelihatan dengan jelas. Cantik.
Cahaya itu bikin gua sadar kalau nggak apa-apa sesekali berada di kegelapan yang bikin kita seolah terjebak dan kesulitan. Karena, tanpa kegelapan, kita nggak akan pernah tau seberapa bersinarnya kita.
Kupu-kupu itu menarik perhatian gua supaya terus menatapnya. Gua tenggelam dalam keindahan itu. Begitu fokus. Sampai seseorang nabrak gua. Mungkin gua menghalangi jalan, ta-tapi... kenapa gua bisa di tembus?
Gua ngalihin seluruh atensi gua dari kupu-kupu tersebut ke sosok yang barusan nabrak gua. Dia perempuan. Kelihatannya baru umur dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun. Di punggungnya ada anak kecil dengan tas bergambar monokurobo.
"Sarah kenapa tanya gitu?" tanyanya. Sarah? Perempuan itu ngomong sama gua? lantas gua mengikuti mereka berdua. Jalan di samping mereka tanpa mereka sadari kalau gua ada.
"Karena tadi Guru Sarah tanya, kok Sarah cuman diam aja sih kalau ditanya nama Ayahnya. Yaudah Sarah jawab aja kalau Sarah belum kenal sama Papa. Sarah sebenernya udah kenal belum sih, Ma, sama Papa?"
"Udah dong. Papa Sarah sayaaaaaang banget sama Sarah. Dulu pas tau Sarah mau ada di dunia ini, Papa Sarah nyiapin nama buat Sarah. Cho Sarah. Bagus kan namanya? Pasti temen kamu nggak ada yang namanya sebagus nama kamu."
"Kalau sayang, kenapa Papa nggak pernah ketemu sama Sarah?"
"Kita nggak selalu bisa nemui orang yang kita sayang, dong."
"Emang kenapa nggak bisa?"
"Nanti kalau udah masuk SD, Mama kasih tau. Udah sampe rumah tuh, Sarah cuci tangan-cuci kaki, terus makan. Sama nonton kartun nggak makannya?"
"Mau! Tapi Mama kok beli makanannya cuman satu porsi. Sarah laper banget, Mama nggak laper?"
Perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Enggak. Mama kenyang banget, nih. Tadi udah makan sama atasan atasan Mama di kantor."
"Yaudah. Aku habisin semua ya, Ma."
"Iya. Makan yang banyak biar tumbuh jadi anak yang sehat!!"
Dua orang itu kini duduk berdampingan di sofa ruang TV dengan TV yang menyala. Menampilkan saluran kartun anak-anak yang lucu. Mereka cuman berdua. Hidupnya pas-pasan. Rumah nggak bagus-bagus amat. TV yang mereka tonton bahkan cuman TV tabung yang ukuran layarnya nggak lebar. Tapi semua itu nggak pernah jadi masalah besar buat mereka.
Dari kecil Sarah selalu di ajarin kalau bahagia itu nggak harus tentang uang. Nggak harus tentang selalu memiliki apa yang paling diinginkan. Tapi bahagia versi Sarah dan Mamanya adalah, bergantung ke satu sama lain. Menggenggam tangan satu sama lain dan bernafas untuk satu sama lain.
Gua sekarang berada di pojok ruangan. Menatap mereka yang tertawa lepas bikin hati gua hancur berkeping-keping dan semakin larut dalam kesedihan. Sejak kapan momen seperti ini nggak dirasakan lagi?

KAMU SEDANG MEMBACA
True Feelings but Fake Relationships | Sungchan [✓]
FanficBener nih cuman pacaran pura-pura aja untuk mempertahankan harga diri di depan mantan pacar? Serius yakin? tapi kok Sungchan cemburuan ya?