Rintik gerimis yang tiba-tiba turun dan menjadi lebih deras setelahnya bikin gua nggak bisa denger apa yang dibicarakan di ruangan dokter Irene lagi karena ruangan dokter Irene ada di sebelah ruangan terbuka. Taman kecil dengan kolam ikan yang nggak begitu besar juga. Padahal tinggal nunggu gimana jawaban Mama, apa Mama setuju atau Mama memberontak, tapi gua nggak pernah tau gimana jawabannya.
"Sar, balik aja ya, ujan." Kata Soobin tepat di telinga gua. Dia ngebungkukin badannya. Gua nunduk sambil ngangguk. Hati gua nggak karu-karuan sedihnya dan cuaca hari ini seolah mendukung buat gua berlarut-larut dalam perasaan itu.
Soobin dorong kursi roda gua dengan kecepatan yang lumayan ngebut. Kita kecipratan air hujan dari samping, lantai juga mulai basah. Tapi itu nggak jadi kendala besar buat kita kembali ke ruangan gua.
Kita sampai setelah jalan sekitar empat menitan.
Soobin ambil tissue, ngelap pipi dan rambut gua yang sedikit basah. Dia juga lepas jaketnya, ngejemur jaket itu di jemuran depan kamar mandi yang ada di ruangan gua terus bantuin gua pindah ke ranjang lagi.
"Kamu kenapa sih? Kenapa tadi Mama kamu dibilangi kaya gitu sama Dokter itu? Kalian ada hubungan apa?"
"Aku pengen sendiri dulu boleh nggak, Bin?"
"Kamu kan udah janji mau cerita, Sar."
"Tapi aku lagi nggak bisa cerita sekarang." Kata gua dengan nada yang semakin rendah dan bergetar. Keinget ucapan Dokter Irene ke Mama tadi bener-bener nyakitin gua banget. Gua langsung ngusap air mata pakai tangan kanan.
"Kenapa nggak bisa cerita sekarang? Aku harus jadi orang ke berapa yang tau masalah masalah kamu sih, sebenernya? Jangan sedih sendiri, aku bingung harus gimana. Aku gatau harus nenangin atau kasih solusi apa. Aku nggak bisa cuman diem liat kamu kayak gini, Sar."
"Kamu ada kelas, kan? Pergi dulu gih."
"Udah telat."
"Lebih baik telat daripada nggak masuk sama sekali. Jangan dibiasin bolos."
Soobin memalingkan muka. Dia ngeliat ke arah jendela sebentae dan natap gua lagi. "Karena orang terpenting buat aku nyuruh aku pergi. Oke, aku pergi. Diluar juga cuman ujan. Belum ada badai gede atau bencana parah lainnya kan? Kalo kamu udah mutusin buat pengen sendiri, ada aku disini malah cuman bikin kamu risih kan?"
"Maaf, aku nggak nyadar ujannya segede ini." Gua nahan tangan Soobin. Pakai tangan kiri yang terpaksa gua gerakin walau itu sakit banget. Genggaman gua nggak kuat kuat banget, tapi cukup untuk menahan Soobin supaya berhenti sejenak.
"Jangankan ujan yang baru sebentar. Aku yang udah bertahun-tahun di sisi kamu aja kamu jarang nyadarnya, Sar."
"Bin tolonglah, jangan mulai. Kamu tau aku sayang kamu. Kamu tau aku ada masalah, kamu tau aku nggak bermaksud ngusir atau apapun itu yang kamu pikirin."
"Kok kamu bisa nyimpulin semua itu sih, Sar? Kok kamu bisa nyimpulin aku tau itu semua kalo kamu sendiri bahkan nggak pernah cerita? Kamu pikir aku tau dari mana? Udah kamu sendiri aja dulu. Kamu lagi butuh waktu sendiri kan? Aku sekarang juga butuh waktu sendiri."
"Ck, Bin, nggak semua masalah yang lagi aku alami bisa kamu beresin dengan solusi kamu. Kamu harusnya tau kenapa aku nggak cerita. Jangankan ke orang lain, kalo ke kamu aja aku nggak cerita, berarti itu masalah besar yang mungkin nggak berujung. Aku aja nggak merasa mampu ngadepinnya, apa lagi kamu?!"
"Gitu? Oke deh. Maaf udah ikut campur."
"Terserah kamu deh! Nggak usah balik ke sini lagi aja sekalian."
"Oke."
Setelah Soobin keluar, gua ngeraih HP dan langsung telfon Kak Arin. Cuman dia yang paham sama kepribadian Soobin dan dia yang bisa bantu gua. Gua nggak pengen marahan, tapi gua juga nggak lagi di suasana hati yang baik buat bisa sabar. Gua muak sama yang namanya sabar dan ikhlas. Perlahan, kedua kata itu pengen gua hapus dari hidup gua.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Feelings but Fake Relationships | Sungchan [✓]
Fiksi PenggemarBener nih cuman pacaran pura-pura aja untuk mempertahankan harga diri di depan mantan pacar? Serius yakin? tapi kok Sungchan cemburuan ya?