1 - SARA

2.2K 132 9
                                    

Kadang malaikat kematian tidak selalu mewujud seram dan kelam. Bagi orang yang beruntung, mereka bisa menyaksikan malaikat kematiannya dalam sosok wanita cantik seperti Elle. Sebelum seluruh matanya memutih. Sebelum rohnya tercekat di kerongkongan.

Tamat.

*

Gosh!

Aku mengembuskan napas lasak dengan perasaan muak. Sudah berapa, tiga? Empat? Empat jam aku melotot di depan laptop hanya untuk menulis dua bab yang dirombak total oleh editorku. Tidak tanggung-tanggung, semuanya harus dikirim besok pagi, padahal dia baru mengirim email revisinya siang tadi.

Kupijat pelipis yang berdenyut-denyut. Kepalaku terasa sangat berat, seperti habis dipukul Mjolnir Thor. Lima mug kopiku berjajar rapi di meja, salah satunya masih mengepulkan asap tipis. Aku memang bisa segila ini jika sedang tertekan. Kopi adalah pelarian paling mujarab, meski tentu saja, tidak bisa menyelesaikan masalah.

Langit Jakarta sudah menyemburat merah saga. Sebentar lagi azan maghrib pasti akan bergaung di penjuru kota. Momen sekelebat yang selalu kunanti karena mampu mendamaikan hati: senja di balkon apartemen. Yah, seperti umumnya penulis, sinap-sinap otakku akan bekerja lebih taktis jika disuguhi panorama yang memanjakan mata. Well, sekalipun aku penulis novel thriller yang tidak butuh diksi berbunga-bunga, tapi senja selalu bisa mengalirkan ide-ide ajaib.

Dua bab sebenarnya adalah hal mudah untukku. Maksudnya, aku sudah sangat terbiasa mengerjakan yang lebih-lebih buruk dari ini. Mengubah premis, plot, dalam hitungan jam saja. Atau tiba-tiba editor tidak setuju sama sekali dengan alur novelku, sehingga dari A sampai Z harus diubah.

Hal yang wajar jika dia memberiku deadline satu hari untuk sedikit memberi bumbu di dua bab terakhir, meminjam istilahnya. Ya, wajar jika keadaanku sekarang tidak sedang seperti ini.

Inhale, exhale. Inhale, exhale. Inhale, exhale.

Please, Sara, jangan nangis lagi! Rajukku pada diri sendiri. Mataku sudah sembap dan perih sekali karena terus mengeluarkan air mata sembari mengetik. Dan ya, hasilnya percuma. Tuhan mungkin menciptakan air mata agar tak bisa habis supaya manusia bisa puas menangis. Mencurahkan sesak yang melesak.

Sepertinya aku harus mengucapkan terima kasih pada editorku, karena tugas dadakannya itu berhasil mengalihkan pikiranku dari Damar. Bayangkan saja jika selama empat jam aku cuma bengong sambil memikirkannya. Mungkin sekarang aku sudah terjun dari apartemenku yang terletak di lantai 13.

Apa kalian sudah menikah?

Jika iya, berapa lama pernikahanmu terasa seperti surga? Satu tahun? Dua tahun?

Orang-orang bilang, dua tahun pertama sebuah pernikahan adalah masa bulan madu. Semuanya terasa indah. Ibarat lautan luas, kamu masih berada di bibir pantainya. Meski ada banyak sekali celah kekurangan pasanganmu, kamu masih bisa maklum.

Kemudian, tiga tahun setelahnya disebut masa-masa ujian. Kamu mulai menyelam ke dasar laut dan menemukan fakta bahwa di dalam sana tidak seindah pantai. Katanya, jika lima tahun pertama itu sudah dilewati dan kalian baik-baik saja, maka tahun-tahun selanjutnya tidak akan begitu sulit. Lima tahun pertama adalah penentu. Bisa tidak kamu dan pasangan saling menerima, beradaptasi dengan kehidupan baru ini.

Pernikahanku dan Damar baru berjalan empat tahun. Tapi entahlah, rasanya seperti sudah empat abad. Semuanya terasa kering. Dingin. Membosankan. Kami seperti dua orang asing yang tinggal seatap. Saling sapa hanya jadi ritual ketika kebetulan kami bertemu di kamar. Itu pun terasa serba kaku.

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang