5 - SARA

699 92 0
                                    

Damar marah. Aku tahu betul dari gestur tubuhnya, meski mataku tidak menatapnya sama sekali. Ya, biar saja. Biar dia berpikir kenapa sikapku jadi sedingin ini. Biar dia peka pada kesalahannya karena telah mengkhianati kami.

Aku selalu iri pada orang-orang yang bisa langsung mengungkapkan kemarahannya. Memaki orangnya langsung atau mungkin menyakiti secara fisik. Pasti hal itu sangatlah melegakan.

Aku tidak bisa berlaku demikian. Mati secara emosional, begitu kata dokter botak itu. Lagi-lagi ada kaitannya dengan PTSD-ku. Pengidap PTSD biasanya punya regulasi emosi yang tidak dapat dikontrol. Dalam satu waktu aku bisa merasakan amarah yang meledak-ledak, tapi saat ingin mengungkapkannya, ledakan itu sudah tidak bersisa entah ke mana.

Sebaliknya, semua rasa tersebut hanya mengeram di dada, yang akhirnya menyulut tangisan. Mungkin jika kelihatan, seluruh emosiku sudah semakin bertumpuk dan busuk, menunggu bom waktu yang akan meledakkannya. Barangkali ini juga ada hubungannya dengan kepribadianku yang cenderung introvert.

*

Aku akhirnya mengangguk setelah semalam Damar memohon-mohon supaya ikut ke Yogya. Ibunya tercinta tergolek di rumah sakit karena serangan jantung. Wanita malang itu, yang menghabiskan masa tuanya sendirian karena putera satu-satunya tertawan olehku.

Jika kamu berpikir yang namanya ibu mertua selalu kejam seperti yang ada di sinetron, nyatanya mertuaku tidak. Jika setiap menantu enggan tinggal di rumah mertua karena tidak mau dijahati, aku sebaliknya. Aku tidak mau menetap di Yogya karena mertuaku terlalu baik. Kamu akan lebih bingung bagaimana harus bersikap pada orang yang terlalu baik, dibanding bagaimana menyikapi orang jahat.

Pertemuanku dengan Lastri, ibu Damar, bisa dihitung jari. Kami jarang sekali mengunjunginya, paling-paling saat cuti di hari raya. Damar dan ibunya lebih sering video call, jika Damar sedang senggang.

Perjalanan berkereta ini baru berlalu tiga jam. Artinya, masih sekitar empat jam lagi kami sampai di Yogyakarta. Berangkat pukul setengah sepuluh dari Stasiun Gambir, harusnya perjalanan malam ini jadi perjalanan romantis mengingat masih terhitung hari jadi kami. Cuti panjang Damar pun sebenarnya bisa dijadikan sesi honeymoon jika ibunya sudah membaik. Namun, apa mau dikata, hubungan kami sedang tegang.

Aku mulai lelah menatap hamparan sawah yang dinaungi langit hitam. Bulan sabit bersinar redup di atas sana, ogah-ogahan menampakkan diri. Syukurlah, setelah seharian tadi aku tidur akibat minum obat tidur, malam ini nyeri kepalaku sudah tidak terasa.

Mataku mulai berat. Terakhir yang kuingat, Damar melangkah kembali ke tempat duduk kami sebelum mataku terpejam.

*

"Yang, bangun. Kita hampir sampai." Suara Damar membuat kedua mataku mau tak mau membuka.

Aku mengerjap-ngerjap, memandang ke arah jendela. Halimun mulai dihiasi semburat cahaya mentari pagi. Pesawahan yang menghampar terlihat hijau sejauh mata memandang, ditingkahi cericit burung pipit yang mencari rezeki dalam butir-butir padi. Pemandangan menakjubkan ini membuat senyumku merekah.

"Indah, ya?" Damar kembali bersuara.

Aku mengangguk setuju. Entah apa sebabnya, perasaanku jadi lebih ringan pagi ini. Amarah pada Damar tidak meletup-letup lagi seperti kemarin.

Mikrofon berbunyi, menyampaikan bahwa sebentar lagi kami akan memasuki pemberhentian terakhir. Laju kereta memelan secara ritmis. Kami akhirnya sampai di stasiun tujuan, Stasiun Yogyakarta. Orang-orang menyebutnya Stasiun Tugu.

Ini merupakan stasiun utama di Yogya, yang memiliki bangunan bergaya Indische Empire. Hanya saja, sekarang ornamen-ornamennya dibuat lebih Indonesia dengan nuansa art deco. Sudah berdiri sejak tahun 80-an, Stasiun Tugu tetap kokoh dan jadi simbol ikonik kota Yogya yang istimewa.

Kami turun dari kereta, dan segera disambut hiruk pikuk stasiun yang kutebak lebih lengang dari hari-hari sebelum pandemi. Covid membuat semua urusan jadi runyam, dengan syarat ribet bahkan hanya untuk naik kereta api.

Damar menggandeng tanganku, sementara tangannya yang bebas menyeret koper kami. Aku tidak menyangka dia akan mau repot-repot menggandengku. Bukannya dia masih marah?

Kami berjalan bergegas, mengabaikan para poter stasiun yang memaksa membawakan barang-barang, dan mengumpat sekenanya saat kami tolak dengan logat Yogya yang kental.

"Pak Lik!" Damar sedikit berteriak begitu kami sampai di parkiran, karena melihat Pak Lik yang tolah-toleh, mungkin mencari kami.

Orang tua itu yang berinisiatif sendiri untuk menjemput keponakannya. Rencananya, dari stasiun Damar akan langsung ke rumah sakit, sementara aku pulang dulu ke rumah diantar Pak Lik. Lagi-lagi karena covid, penunggu pasien hanya boleh satu orang.

"Kalian sudah lama sekali ndak pulang. Dua kali lebaran, kan? Kaya Bang Toyib saja!" Lelaki paruh baya itu berseloroh riang, ramah, sambil menyetir dengan lincah menembus jalanan Yogya.

"Lha, mau gimana lagi, Pak Lik, Jakarta lock down terus e, susah mau nerobosnya. Ini saja bisa sampai di sini sudah alhamdulillah, ngurus-ngurus berkasnya macem-macem," jawab Damar dengan logat Yogya yang otomatis muncul.

Aku cuma sibuk mendengarkan, sambil menikmati suasana Yogya pagi hari. Di sini, tidak ada kemacetan mengular seperti pemandangan tiap pagi di Jakarta. Langit masih cerah, tidak dipenuhi polusi dan jelaga pabrik seperti langit ibu kota.

Penglihatanku menangkap bapak-bapak yang tengah mengayuh sepeda ontel, membonceng anaknya yang memakai seragam merah putih, taat mengenakan masker. Ibu-ibu paruh baya memanggul dagangannya---setampah jajanan pasar beraneka warna di atas kepala---hendak menyeberang. Panorama indah yang membuatku tersenyum lagi, dan membuat Damar mengeluarkan kameranya untuk mengabadikan momen ini. Dalam beberapa hal, kami memang sehati.

"Kita pulang dulu saja, ya, Nang." Pak Lik kembali membuka percakapan. "Kamu kan, baru dari Jakarta. Bersih-bersih dulu di rumah, jangan langsung ke rumah sakit. Takutnya kamu bawa virus. Yo, rak?" sambungnya.

Damar manggut-manggut. "Terus sekarang yang nungguin Ibu di rumah sakit siapa, Pak Lik?"

"Noni," sahut Pak Lik singkat. Noni adalah anak bontot Pak Lik, sepupu Damar.

Dari Stasiun Yogya, kami masih harus menempuh perjalanan sekitar satu jam untuk sampai di kampung Damar, Kulon Progo. Sekarang, di daerah ini ada banyak destinasi wisata yang dikembangkan pemerintah setempat, seperti yang dikatakan Damar semalam.

Salah satunya adalah perkebunan cokelat, yang menjadi satu dari lima wilayah penyumbang cokelat terbesar di Nusantara. Kini, kakao dari Kulon Progo tak hanya didistribusikan ke penjuru Indonesia, tapi juga diproduksi sendiri menjadi produk rafinasi oleh warga setempat. Kakao jenis Lindak yang mayoritas ditanam oleh petani cokelat di sini memang punya kekhasan rasa tersendiri. Tidak heran, saat diolah menjadi cokelat batangan, rasanya dapat dengan mudah diterima lidah.

Hebatnya, salah satu petani kakao yang sukses dan terpandang di daerah ini adalah keluarga besar ibu mertuaku. Konon, kebun cokelat yang aku tidak pernah kepo berapa luasnya tersebut adalah warisan turun temurun dari kakek buyut Damar. Seluruh anggota keluarganya menjadi spesialisasi petani cokelat. Sekolahnya tidak jauh-jauh dari dunia pertanian.

Cuma aku yang melenceng, Yang. Udah gitu, melencengnya kejauhan. Yang lain nanam pohon cokelat, aku nyari mayat. Seloroh Damar---dulu---sambil nyengir.

"Wis tekan, Nduk." Pak Lik menoleh ke arahku yang duduk di jok belakang. Lamunanku soal kebun cokelat buyar.

Rumah joglo yang didominasi kayu jati, dengan pelataran---mungkin---seluas apartemen kami di Jakarta, menyambutku dengan damai. Aroma khasnya menyerbu indera olfaktoriku. Rumah itu bagaikan cerminan ibu Damar yang bijak bestari.

Aku menelan ludah. Damar turun dari mobil, sedikit tergesa memasuki rumah masa kecilnya---tempatnya pulang---tanpa memandangku sedikit pun.

==&==

Terima kasih yang masih setia membaca, semoga gak bosen, ya, hehe. 😅

Salam,

Ayu

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang