24 - SARA

741 85 0
                                    

Aku sering bertanya-tanya, kenapa hidup suka sekali menempatkanku dalam hal-hal buruk? Seolah belum cukup dengan semua kelakuan busuknya terhadapku, di akhir kisah hidupnya, aku masih harus menemui lelaki brengsek itu. Untuk apa? Kalau bukan karena Fara yang setelah telepon pertamanya jadi menghubungiku terus setiap hari, aku enggan pulang ke Bandung.

Begitu pula jika Damar tidak berkata bahwa aku dan lelaki busuk itu sama, si terkutuk pembawa malapetaka, aku tak akan repot-repot pergi. Tujuanku kembali ke rumah Nenek adalah untuk membuktikan, setidaknya pada diriku sendiri, kalau aku dan bapakku berbeda. Aku bukan manusia tanpa belas kasih seperti dia yang tega meninggalkan keluarganya. Aku, Sara yang berbesar hati mau memberikan maaf pada si bapak jahat dan laknat itu di sisa-sisa terakhir kehidupannya.

Sejujurnya, aku tidak tersentuh sama sekali begitu melihat keadaan Bapak. Tubuh yang dulu tambun dan perkasa itu kini tinggal tulang belulang. Apa selingkuhannya tidak pernah memberinya makan? Selain itu, jalannya juga pincang entah karena apa. Paling parah, dia mengaku mengidap penyakit raja singa yang seketika membuatku berjingkat menjauh.

"Bapak ke sini cuma mau minta maaf, Sara," ucapnya dengan suara parau. "Bapak gak tahu kamu ada di Jakarta, jadi Bapak ke sini. Setelah kamu mau menemui Bapak, Bapak akan pergi."

Baguslah. Aku tidak menjawab sepatah kata pun. Bagiku, berhadapan dengan lelaki ini masih seperti mimpi. Seharusnya sekarang aku bisa melampiaskan seluruh kemarahanku. Lelaki busuk inilah yang membuatku hancur. Dia membuat Ibu nyaris gila dan bunuh diri. Membuatku tidak bisa percaya lagi pada lelaki. Membuatku tidak mau punya anak karena ketakutan akan karma darinya yang akan menimpaku serta anak-anakku.

"Bapak tahu, Bapak tidak pantas minta maaf sama kamu. Tapi cuma itu yang bisa Bapak lakukan sekarang agar Bapak tenang pergi dari dunia ini."

Cih! Aku mendesis.

"Kalau kamu gak dibuang sama istri mudamu itu, kamu gak akan mungkin mau repot-repot mencariku, kan?" cecarku tanpa mau menyebutnya bapak.

"Tidak, Sara." Lelaki itu memasang wajah memelas. "Sudah sejak beberapa tahun terakhir Bapak ingin bicara soal ini sama kamu, tapi baru sekarang Bapak punya keberanian. Mungkin karena umur Bapak sudah tidak lama lagi," lanjutnya.

Tidak ada satu patah kata-katanya yang bisa melunakkan hatiku. Memaafkan, mungkin aku bisa, tapi semua rasa sakitnya jelas tidak bisa kulupakan. Orangtua ini harus tahu bahwa dunia punya hukumnya sendiri. Keji dibalas keji, baik dibalas baik. Kalau tidak begitu, bagaimana orang yang selalu bersikap keji bisa belajar?

"Semua yang saat ini menimpa Bapak adalah karma dari perbuatan Bapak terhadapmu dan ibumu. Tolong maafkan Bapak, Sara."

Pertemuan bapak-anak yang serba canggung. Tanpa perlu memberi perhatian lebih, aku segera mengabulkan apa yang dia mau. Mendengar kata maaf dariku, kan?

"Iya. Aku sudah maafkan. Tapi kalau melupakan, beda lagi ceritanya."

Dan si bapak tersenyum lebar, hingga kulihat matanya berbinar. Aku pun kembali ke Jakarta, hanya untuk mendapatkan kabar bahwa keesokan harinya mayat Bapak ditemukan mengambang di sungai dekat rumah Nenek. Aku tak peduli apakah dia dirampok, bunuh diri, atau apa pun. Yang pasti, ada satu yang sedikit membuatku lega. Bahwa Bapak telah menanggung karmanya sendiri dalam hidupnya. Jadi, masih adakah sisa karmanya yang akan menimpaku?

*

Banyak hal yang datang dalam hidup di waktu yang kurang tepat. Seperti serentet keyakinanku pada karma ini. Coba saja lelaki itu datang dua atau tiga tahun yang lalu dengan segala penderitaannya. Mungkin aku tidak akan selalu menyimpan rasa curiga pada Damar. Mungkin saat ini aku sudah punya anak yang lucu-lucu karena tidak perlu ketakutan pada karma sialan itu.

Sayangnya, Bapak hadir justru di saat pernikahanku sudah di ujung tanduk. Yang mana, meski keyakinanku pada karma telah luntur, tidak akan berpengaruh pada membaiknya hubungan kami. Aku dan Damar sudah saling menorehkan luka satu sama lain yang sulit sekali diobati.

Aku, seperti katanya, telah menjadi penyebab kematian ibunya. Sementara dia, dia telah meninggalkan perkataan tajam yang merobek-robek pertahanan hatiku. Antara aku dan Damar tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Tidak ada lagi harapan. Karena, harapan itu sudah dibawa bersama jasad ibu ke kuburnya.

Lebih baik, sekarang aku harus mulai mencoba menata hati untuk hidup sendiri. Seperti yang dulu aku mau, tidak ada lelaki apalagi pernikahan. Aku akan kembali jadi Sara. Hanya Sara.

==&==

Xoxo,

Ayu

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang