23 - SARA

728 85 0
                                    

Aku merebahkan tubuh di tempat tidur. Rasanya menenangkan bisa pulang ke suatu tempat yang familier bagimu setelah melalui hal sulit dan menyakitkan. Kutarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan dengan sisa-sisa luka yang kuharap ikut pergi bersama CO2. Hmm, bau seprai ini sudah apak. Waktunya diganti.

Aku sudah berada di apartemen. Malam itu tampaknya Dewa Keberuntungan ada di pihakku, karena aku langsung menemukan bus yang tepat begitu sampai di terminal. Meski perjalanan pulang ke Jakarta ditemani uraian air mata, tapi rasanya lega mengingat aku sudah lepas dari Damar.

Pandanganku menerawang ke langit-langit kamar. Aku mengernyit. Sudah berapa lama ya, apartemen ini tidak kusentuh? Lihat saja, langit-langitnya bahkan sudah dipenuhi sarang laba-laba. Seperti apartemen tidak berpenghuni saja. Kemudian, pandanganku menangkap pintu geser kaca yang memisahkan antara kamar dan balkon. Kondisinya sama memprihatinkannya. Kotor dan penuh debu.

Tiba-tiba, perkataan keji Damar terulang-ulang kembali. Dia bilang aku bau, kucel. Apa memang semua itu benar? Kalau melihat betapa tak terawatnya apartemen ini, mungkin Damar memang berkata jujur. Sebagai manusia biasa, aku memang jarang mengoreksi kekurangan diri sendiri. Kupikir, Damar tidak masalah dengan semua itu. Toh, bukannya kami sudah terbiasa dengan ke-apa-adaan satu sama lain?

Namun, lelaki memang lelaki. Mereka paling bisa membuat wanita insecure saat menunjukkan apa adanya kita. Memangnya kalau aku bau dan kucel kenapa? Selama ini toh dia diam saja, kenapa baru protes kemarin malam? Bah, paling-paling itu cuma akal-akalan Damar untuk menyudutkanku saja. Yang penting, aku sudah minta cerai dari suami terkutuk itu. Masalah selesai.

*

Hatiku sakit, itu memang benar. Namun, ada kepuasan tersendiri saat aku bisa melampiaskan semua uneg-unegku pada Damar. Biar saja dia tahu bahwa diamku selama ini bukannya tidak punya satu kekesalan pun terhadapnya.

Setidaknya, soal perselingkuhan yang selama beberapa hari terakhir jadi ganjalan di hatiku, sudah terlampiaskan. Jadi perempuan itu Lisa, pimred di kantor Damar. Aku pernah bertemu dengannya sekali, saat kantor Damar membuat acara gathering bersama keluarga para pegawainya.

Lisa sangat cantik dan sempurna. Tapi, bukannya dia sudah berkeluarga? Dari perkataan Damar, dia mengungkapkan bahwa mereka bisa saja bermain affair. Siapa yang akan memulai? Aku tidak mengharapkan hal ini, karena rasa-rasanya aku masih peduli pada Damar jika aku terpengaruh. Maksudku, terserah dia mau selingkuh atau tidak, dengan wanita mana pun. Silakan. Namun anehnya, mendengar pengakuan Damar bahwa dia telah resign dari perusahaannya, membuatku lega. Berarti setidaknya, bukan Damar yang ingin memulai hubungan gelap itu.

Banyak sekali informasi yang kudapat dari cacian Damar. Terutama tentang kekurangan-kekuranganku sebagai istri yang selama ini tidak pernah dia katakan. Begitu dikatakan, sakitnya terasa bagai dihujam sembilu. Apa benar aku seburuk itu? Lalu bagaimana dengannya? Apa menurutnya dia adalah suami sempurna?

Tentu saja tidak. Buktinya, dia menyembunyikan sesuatu maha penting selama beberapa hari terakhir. Jujur saja aku kaget mendapat pengakuan bahwa dia sudah resign. Aku tahu betul bagaimana Damar mencintai pekerjaannya. Hatinya dia letakkan di balik jepretan kamera dan setiap berita yang disusunnya. Kenapa dia memutuskan resign secepat itu, bahkan tanpa memberitahuku lebih dulu? Benarkah dia sudah terpanggil untuk pulang dan mengelola warisan berupa kebun cokelat, yang dia bilang bukan passionnya sama sekali?

Rupanya selama ini aku telah salah sangka. Kupikir, empat tahun hidup bersama sudah membuatku cukup mengenal Damar. Tapi ternyata, mungkin aku hanya baru melihat permukaannya yang tenang. Empat tahun tidak pernah membuat Damar berpikir bahwa keluarganya adalah aku, sama seperti yang aku pikirkan selama ini.

Dia masih punya keluarga, dalam arti sebenarnya, di kampung halamannya. Dan ketika Damar memutuskan kembali, aku tahu posisiku di hatinya tidak akan sama lagi. Keluarganya, terutama ibunya, ada lebih dulu dalam kehidupan Damar sebelum aku. Jadi, jika akhirnya dia lebih memilih itu, tentu hal tersebut sangatlah wajar. Aku tidak bisa memosisikan Damar seperti diriku yang sebatang kara.

*

Baru saja mataku sayup-sayup tertutup karena kantuk, aku dikagetkan dengan bunyi panggilan masuk dari ponsel. Ogah-ogahan, kulihat siapa orang yang menghubungiku. Apakah orang kerjaan? Atau Damar?

Bukan dua-duanya. Alih-alih prasangkaku, aku melihat nama yang jarang sekali muncul. Aku bahkan sudah lupa masih menyimpan nomor miliknya. Fara, sepupuku di Bandung, anak dari adik ibuku. Dulu, semasa kecil, kami bagaikan kakak adik yang tak terpisahkan lantaran usia kami hanya berpaut tiga tahun. Dia lebih muda dariku. Sara-Fara, ke mana-mana selalu bersama.

Sekarang, dia jadi pengusaha kain sukses di Bandung dengan keluarga dua anak yang harmonis. Lalu, sekarang ada apa sampai dia meneleponku? Kupikir, sejak nenek meninggal, tidak ada lagi hal penting yang dapat dijadikan alasan untuk menyambung tali keluarga dengan mereka. Toh, selama aku di Jakarta, tidak ada satu pun dari mereka yang pernah bertanya kabar, apalagi berkunjung.

Kubiarkan sejenak panggilan dari Fara tanpa menghiraukannya. Biar saja, mungkin ini hanya sekadar kepencet atau apa. Namun, begitu nada dering berhenti, Fara memanggil lagi. Di panggilan ketiga, lebih karena kegelisahan hatiku daripada niat menyambung silaturahmi, akhirnya aku mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, Sara?" Suara di seberang terdengar memburu.

"Ya, ada apa, Far?" Aku bertanya tanpa basa-basi.

Fara kemudian bertanya-tanya kabarku, kabar suamiku, apakah aku sudah punya anak atau belum, dan sebagainya. Setelah obrolan membosankan itu selesai, baru dia masuk ke informasi inti. Aku sudah memutar otak untuk memikirkan jawaban kalau-kalau dia hendak meminjam uang. Ya, apalagi memangnya, saat orang yang bahkan sudah kamu lupakan dan seakan melupakanmu, tiba-tiba menghubungimu?

"Sar, ini soal bapakmu."

Aku menelan ludah. Demi apa aku harus mendengar istilah 'bapakmu' setelah sekian purnama aku berjuang hidup-mati sendiri?

"Sar, minggu lalu bapakmu kemari. Ke rumah Nenek," lanjutnya.

"Oh, masih hidup dia?" Aku menjawab sinis.

"Denger, Sar. Masalahnya, sekarang dia masih di situ. Kamu tahu kan, rumah Nenek kosong dan masih dalam proses jual. Bapakmu tidur di sana. Dia bilang mau nunggu kamu pulang."

"Wah, wah, kalau gitu aku minta tolong sama kamu ya, Far, bilang ke orangtua busuk itu kalau aku gak akan pernah pulang ke rumah Nenek. Terus kalau dia ganggu kalian, usir saja. Lagipula mau apa dia? Ke mana istrinya?" Meski di bibir aku bilang tidak peduli, nyatanya aku masih kepo.

"Itu dia, Sar. Bapakmu bilang, dia diusir dari rumah istrinya. Dia jadi gelandangan sekarang."

Aku sebisa mungkin menahan diri agar tidak tersenyum. Lelaki itu pantas mendapatkannya.

"Fara, aku gak peduli lagi. Jadi salah kalau kamu menghubungiku biar aku ke sana dan mengajak dia bersamaku atau apa."

Kudengar Fara mengembuskan napas berat. "Sar, ke sinilah dulu. Lihat dulu kondisinya. Kalau sudah lihat, kamu pasti gak akan tega ninggalin bapakmu sendirian," katanya.

"Gak akan, Fara. Sudah, kalian usir saja dia dari situ."

Aku menutup telepon cepat-cepat sebelum Fara berkelit lagi.

==&==

Xoxo,

Ayu



Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang