10 - SARA

555 67 0
                                    

Hubungan kami tidak bernama, tapi kami tidak pernah mengungkitnya. Kami cuma menikmatinya. Sejauh ini, semuanya baik-baik saja. Meski, seperti yang kalian tebak, malam Minggu di apartemen itu bagaikan candu. Jangan tanya malam-malam setelahnya. Apartemenku semakin panas membara saat Damar bertandang, seperti terbakar api asmara yang berkobar di antara kami.

Kami sepakat tidak menamai hubungan ini. Namun, kenapa aku menyebutnya api asmara? Terus terang, aku rela memberikan tubuhku pada Damar bukan tanpa alasan. Sialnya, alasan tersebut adalah hal yang paling tidak bisa kuterima. Ya, aku jatuh cinta pada psikopat itu.

Di sisi lain, aku mengkhawatirkan banyak hal. Grebekan Komo dan tim Katakan Putusnya sudah jadi kekhawatiran terakhir. Aku tidak peduli seandainya Damar sudah punya tambatan hati. Toh, aku juga harus mengakhiri semua ini secepatnya. Aku tidak ingin terperosok semakin dalam pada angan semu bernama cinta. Karena aku tahu, jika aku jatuh cinta, di depan sana sudah menunggu luka menganga yang siap tidak siap harus aku tanggung.

Sinar matahari Minggu pagi menerobos kisi-kisi jendela apartemenku. Biasnya jatuh tepat mengenai wajah Damar yang sedang tertidur pulas. Kupandangi wajah tampan itu lekat-lekat. Bulu matanya yang lentik, hidungnya yang bangir, bibirnya yang lembut... napasnya yang hangat. Aku harus bisa menghentikan candu ini secepatnya!

Baru saja menyusun kata demi kata yang akan kusampaikan, si psikopat itu membuka mata.

"Hei, good morning," sapaku, memberinya senyuman.

"Hei." Damar balas tersenyum dan mendaratkan kecupan mesra di kening, hidung, bibirku.

"Sara, aku baru aja mimpi indah."

"Oh, ya? Apa?"

Tangan Damar terentang memelukku, dengan kepalaku bersandar di dadanya yang bidang. Selimut tebal melindungi tubuh kami yang tak ada bedanya dengan bayi baru lahir.

"Aku dan kamu. Kita nikah." Dia tersenyum sangat lebar. "Tapi, aku gak mau itu cuma jadi mimpi. So, will you marry me, my sweet psycho?" sambungnya.

Otakku membeku. Sulit sekali mencerna kalimat Damar. Aku yakin dia sedang bercanda.

"Hei? Kok kamu diem aja? Sara, kamu gak cinta sama aku ... setelah semua ini?" cecarnya, sambil mengedarkan pandangan pada helai-helai pakaian kami yang berserakan.

Otakku semakin kebas. Apa dia serius?

"A-aku ... aku bikinin kamu kopi, ya." Aku segera beringsut dari tempat tidur, mengenakan kimono, dan melesat ke dapur, meninggalkan Damar dengan penuh tanda tanya.

Aku butuh berpikir.

Baru saja aku ingin menyampaikan salam perpisahan, justru Damar menginginkan komitmen di atas komitmen. Lelucon bernama pernikahan. Lalu, jika aku mengatakan bahwa aku ingin mengakhiri semua ini, apakah dia akan marah? Sakit hati? Apakah dia benar-benar menganggap serius hubungan aneh ini?

Aku memang telah jatuh cinta---sepertinya, karena aku pun tidak begitu yakin---tapi aku tidak berpikir Damar juga mengalami hal yang sama. Kupikir, dia seperti cowok lain yang cuma mau cari untung, kemudian pergi. Yang mana, itu lebih baik bagiku daripada diajak menikah.

"Sara ..." Damar memelukku dari belakang sementara aku mengaduk kopi. Kecupannya mendarat di tengkukku. "Kukira kamu bikin kopi di Arab. Lama banget, sih?"

Aku cuma tertawa garing, lalu melepas pelukannya dan melangkah ke balkon sambil membawa cangkir kopi kami. Di balkon ada sofa empuk dan meja minimalis tempatku biasa mengetik.

"Hei. Kamu gak perlu jawab pertanyaanku tadi sekarang juga. Kenapa wajahnya jadi kaya orang bingung gitu, sih?" Damar duduk di sampingku, menyeruput kopinya.

"Jadi ... jadi yang tadi itu serius?"

Alis Damar terangkat. "Maksudnya? Kamu pikir aku bercanda tentang kita? Maksudku, kamu pikir apa yang kita lakukan ini cuma sebatas main-main? Sara, kita berdua bahkan udah ketuaan untuk standar nikah orang Indonesia," jawabnya dengan raut wajah serius.

Tak hanya otakku, kini seluruh persendianku terasa kebas. Permainan sudah dimulai. Aku harus mengakhirinya sekarang jika tidak ingin berlarut-larut.

"A-aku ... aku baru saja ingin bilang ke kamu kalau ..."

"Kalau apa, Sara?" Damar mendesak.

Aku menarik napas panjang dan menyeruput kopiku sebelum menjawab.

"Kalau, kalau kayanya kita cukup sampai di sini."

Akhirnya.

Damar meletakkan cangkir kopinya, mengalihkan pandang kepadaku tanpa berkedip. "Maksud kamu? Tolong bicara yang jelas."

"Ya ... ya aku mau kita udahan sampai di sini aja. Maksudku, gak usah kaya gini. Maksudku, kita berteman kaya pertama kita kenal."

Sudah kubilang. Aku memang tidak pandai berbincang.

"Gak usah kaya gini?" Suara Damar meninggi. "Sara, setelah semua udah kaya gini kamu bilang gak usah kaya gini? Kenapa sih, kamu? Kenapa tiba-tiba begini?"

"Dan kenapa kamu tiba-tiba ngajak nikah? Memangnya kita pernah ngobrolin soal itu? Memangnya kita pernah ngomongin perasaan? Damar, kita cuma have fun!" Aku tidak mau kalah. Biar bagaimanapun, semua ini harus berakhir.

Damar menghela napas berat. Dia kemudian menggenggam erat tanganku.

"Aku cinta sama kamu, Sara! Gini yang kamu mau? Ngobrolin perasaan kaya anak SMP? Kamu mau denger? Aku cinta kamu! Aku mau kita hidup sama-sama. Aku gak bisa kehilangan kamu."

"Kenapa mesti nikah? Kita bisa kan, kaya gini aja."

Dan aku segera merutuki mulut jalang ini. Tolol, tolol, tolol!

Damar tertawa. "Kamu pikir aku cowok serendah itu? Yang cuma mau nidurin kamu terus pergi kalau udah bosen? Aku bukan pengecut, Sara! Aku mau kita terikat secara sah oleh agama dan negara. Bukan kumpul kebo kaya gini!" Dia melepas genggamannya.

"Kamu emang aneh, Sar. Di mana-mana cewek pasti minta dinikahin. Kamu malah sebaliknya," cecar Damar lagi. "Gimana kalau kamu hamil? Kamu mau bunuh janinmu kaya di novel yang kamu tulis?"

Aku mencengkeram cangkir kopi semakin erat. Emosi bercampur aduk di dalam dada. Aku harus mengatakannya.

"Damar, aku gak mau nikah. Aku gak bisa," ucapku singkat. "Dan satu hal lagi. Aku minum pil kontrasepsi."

Kutatap wajah Damar, memperhatikan betul-betul ekspresinya. Selama ini dia tidak tahu hal itu. Yah, meski kami tetap pakai kondom.

"Aku gak akan mau hamil, Damar. Apalagi punya anak."

Mungkin ini yang dirasakan kucing saat memuntahkan bulu-bulu dari dalam perutnya. Lega.

Namun, tidak dengan Damar. Air mukanya tidak bisa dijabarkan. Antara terkejut, heran, marah karena penolakanku, atau apa?

"Kamu main tinder, kamu kenalan sama cowok, tidur bareng dia, dan setelah diajak nikah kamu nolak terus bilang kamu gak mau nikah? Sara, kamu emang penuh plot twist!"

Rahang si psikopat itu mengeras. Jujur saja, aku gentar melihatnya. Aku takut dia hilang kendali. Tapi, tidak. Alih-alih memukul, mencekik, atau memperkosaku seperti ide yang selalu terlintas saat aku menulis novel, Damar justru ingin terus melanjutkan obrolan tak berujung ini.

"Kenapa, Sara? Kenapa kamu gak mau nikah?" tanyanya.

Ya. Baiklah. Mungkin sudah saatnya membuka kartu. Tak masalah. Aku percaya Damar hanya akan menertawakanku.

"Aku takut karma, Damar."

==&==

Jangan lupa vote dan komennya, ya! 😍

Xoxo,

Ayu

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang