26 - SARA

795 82 0
                                    

Dua belas hari tanpa Damar di hidupku, dan semua terasa abu-abu. Maksudnya, biasanya setiap pagi aku tidak bisa sesantai ini. Paling tidak, aku harus menyiapkan kopi dan roti bakar supaya Damar bisa sarapan. Aku kadang juga akan sibuk menyeterika bajunya jika belum disetrika, atau mencari pasangan kaus kakinya yang selalu hilang. Namun, sudah dua belas hari ini rutinitas tersebut kuhentikan. Rasanya terlalu lega. Pagiku jadi kurang menantang dan tidak ada gairah. Tapi, baiklah. Inilah yang akan kulalui, hari-hari ke depan tanpa suami. Tanpa Damar. Welcome back, Sara!

Kupikir di apartemen sendirian saja bisa melegakan otakku yang berjejalan oleh potongan kejadian hari-hari terakhir. Seperti, entah apa maksud Tuhan membuatku super pusing begini. Perselingkuhan Damar, pertengkaran kami, ibunya sakit, meninggal, lalu bapakku yang datang tiba-tiba dan ikut meninggal. Semuanya terasa tidak masuk akal karena datang bertubi-tubi. Bersamaan. Jika saja aku sama seperti orang normal pada umumnya, entah depresi macam apa yang sudah kuderita sekarang. Beruntung sejak awal aku sudah tidak normal, jadi rentetan kejadian ini paling banter hanya membuatku pusing. Eemm, juga mimpi buruk sekali-kali.

Aku memutuskan untuk kembali menemui psikiaterku, meminta persediaan obat. Cuma itu kan, yang bisa kuandalkan saat tidak ada lagi Damar di apartemen? Namun, begitu melihat wajahku di depan pintu praktiknya, dia tersenyum lebar. Sara, katanya. Kamu belum mau sembuh juga?

Aku cuma bisa mengembuskan napas, seolah dengan itu pertanyaan Pak Tua tersebut terjawab.

"Apa lagi yang membebanimu sekarang? Kamu bilang, kamu sudah punya Damar dan itu cukup untukmu." Dia mempersilakanku duduk di kursi pasiennya yang empuk.

"Apa Damar benar-benar membuktikan karma yang selama ini kamu takuti?"

Aku menggeleng. "Aku sendiri yang menuduh dia berselingkuh. Padahal dia tidak melakukan itu."

"Saya sudah pernah bilang, ketakutan akan membuat tubuhmu memberi sinyal yang berujung pada asumsimu sendiri. Parahnya, belum tentu asumsi itu adalah kebenaran." Suara parau psikiaterku seolah membawaku ke dunia lain. "Ada lagi?" katanya.

"Aku ... aku minta cerai. Bapakku datang, dia minta maaf dan kemudian dia ... meninggal."

Entah bagaimana proses pendidikan menjadi seorang psikiater atau psikolog. Maksudku, entah apa yang bisa membuat gestur wajah mereka tetap tenang meski pasien-pasiennya membawa kabar yang seharusnya, menurut ukuranku mengejutkan. Tapi, raut wajah lelaki tua ini bahkan tidak berubah sama sekali. Dia masih saja tersenyum lebar. Menjengkelkan.

"Jadi, kabar baik dan buruk. Kamu merasa lebih baik dengan meninggalnya ayahmu? Dan merasa buruk karena minta pisah dari Damar?"

Aku mengangguk pelan.

"Sara, biar saya tebak. Karma yang kamu yakini pasti sudah berangsur luntur karena kepergian ayahmu. Apa kamu benar-benar sudah memaafkannya?"

"Aku gak ak---!"

"Sstt!" Perkataanku disela. "Itu akan membuat perubahan besar. Bebanmu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Sekarang, yang perlu kamu lakukan adalah membiarkan dia pergi atau justru menahannya. Mengingat terus luka yang ditimbulkan oleh ayahmu yang sekarang sudah tiada akan semakin membuatmu sesak. Kalau kamu coba lupakan, maafkan, beban itu akan sepenuhnya terangkat."

Baru saja aku hendak menjawab, lelaki berkacamata ini sudah meneruskan orasinya. "Saya sudah bilang, Sara, maafkan dirimu sendiri dulu. Jangan salahkan dirimu. Setelah itu, kamu baru akan bisa melupakan rasa sakitnya."

Akhir sesi pertemuan kali ini bukan resep obat. "Kamu tidak butuh obat. Kamu hanya butuh melepaskan beban ini pelan-pelan."

Baiklah. Aku akan mencoba.

*

Film adaptasi novelku sudah resmi dirilis. Besok filmnya akan mulai tayang di bioskop yang buka, tapi bisa juga ditonton di aplikasi-aplikasi nonton film legal berbayar. Malam ini, kami akan mengadakan gala premier virtual melalui Zoom dengan para penonton, pemain, juga segenap kru film. Aku diwajibkan hadir untuk menjawab satu dua pertanyaan. Sebelum pandemi, premier film adalah hal yang paling kunanti-nanti. Selain seru karena tour keliling kota bersama para pemain, dengan itu aku juga bisa melihat antusiasme pembacaku.

Mereka yang hadir di premier bukan hanya fans para artis, tapi banyak juga yang datang untuk minta tanda tanganku di novel-novel kepunyaan mereka. Jujur saja, itu membuat gairahku meletup-letup. Premier kali ini sebenarnya juga sudah aku nantikan, karena pemain filmnya adalah aktor muda favoritku, Angga Yunanda. Aku bahkan sudah girang sekali, melonjak-lonjak pada Damar---yang ditanggapinya dengan wajah manyun---waktu produser bilang akan menggaet aktor muda tersebut untuk filmnya. Sayang, malam ini aku harus puas bertemu dengannya via Zoom saja.

Tak apalah. Lagi pula, aku sedang tak enak hati dan moodku naik turun. Terlalu capai atau banyak pikiran mungkin, atau mungkin saja hatiku terlalu kesepian karena tidak ada Damar di sini. Sambil menunggu premiernya dimulai, aku iseng membuka-buka WA. Kubuka riwayat chat dengan Damar, yang terakhir kami lakukan di hari anniversary kami.

Ah, aku baru ingat kalau kontaknya kublokir. Mungkin saja Damar mengirim chat atau berusaha meneleponku beberapa hari belakangan? Hatiku ingin sekali membuka blokiran kontaknya, tapi logikaku melarang keras. Intinya, kalau Damar memang sepeduli itu padaku, dia pasti akan menyusulku ke sini begitu ponselku tidak bisa dia hubungi. Dia akan berjuang, ya kan?

Namun, mengingat serentetan kekuranganku sebagai istri yang telah dia jabarkan keras-keras kemarin, aku tidak yakin. Mungkin, sekarang Damar bahkan sudah mengurus surat perceraian kami. Dia tidak butuh istri kucel dan bau dan gila sepertiku yang tidak pernah mengurusnya. Katanya lagi, dia sudah lelah karena seperti berjuang mempertahankan pernikahan ini seorang diri. Ah, benarkah begitu? Benarkah aku sebegitu tidak becusnya menjadi istri?

Suara moderator, pembawa acara kenamaan tanah air menggema di telingaku yang tersumpal headset. Acara sudah dimulai. Sederet wajah artis-artis dan kru film sudah muncul di layar laptopku. Wah! Itu dia, Angga Yunanda! Agak norak memang, tapi aku sungguh deg-degan. Aku merapikan tatanan rambutku, melirik kaca kecil yang kuletakkan di samping laptop. Demi acara malam ini aku rela menghabiskan sesiangan tadi di salon. Semoga film ini sukses! Aku terus menerus berdoa.

Saat Angga Yunanda sedang memberikan kesannya membawakan peran di film tersebut, bel pintu apartemenku berbunyi. Duh, siapa sih, malam-malam begini bertamu. Di momen yang gak pas pula, gerutuku. Sengaja tidak kugubris dering bel itu, tapi si tamu kelihatannya tidak pernah diajari sopan santun. Bukannya kalau sudah tiga kali dan tidak ada jawaban, kita harusnya pulang? Artinya, di rumah tersebut tidak ada orang atau orang yang ada di dalam sedang tidak ingin menerima tamu.

Bel ketujuh berbunyi. Aku pun terpaksa beranjak dari balkon dengan kesal. Kusentakkan pintu dengan kasar, yang kemudian membuatku dan si tamu sama-sama melongo.

"Damar?" Mulutku berkata refleks.

Lelaki yang selintas lalu baru lewat di pikiranku itu tersenyum. Dagunya penuh dengan jenggot dan kumisnya tidak dicukur. Rambutnya awut-awutan. Ya, Damar, kamu memang tidak bisa hidup tanpaku walau cuma dua belas hari. Aku tersenyum penuh kemenangan.

==&==

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang